30 - how did it end?

528 100 45
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[]

Juli menatap wajah Caka dengan seksama; mancung hidungnya, tegas rahangnya, kumis tipis yang tumbuh di atas bibirnya, juga rambut hitamnya yang beterbangan terkena semilir angin pantai.

Caka benar ada di dekatnya. Juli tidak sedang berhalusinasi. Dia sudah memastikannya juga pada Dokter Priska.

HE is real. REAL.

"Caka," panggil Juli dengan suara pelan. "Caka, Caka, Caka."

Laki-laki di sebelahnya terkekeh sebelum akhirnya menoleh. "Apa, Sayang?"

"Eh, beneran nyahut," sahut Juli, seperti sedang ngomong sendiri. "Beneran ada orang di sebelah aku."

Caka melingkarkan lengannya di bahu Juli, kemudian membawa perempuan itu merapat ke arahnya. Caka menenggelamkan wajahnya di sisi rambut Juli, menghela napas banyak-banyak dari sana.

"Caka, aku udah boleh ngomong belum?" tanya Juli.

Masih dengan posisi yang sama, Caka menyahut, yang terdengar sedikit samar karena suaranya terbungkam di rambut Juli. "If you're ready, it's okay. Dokter Priska tadi bilang untuk take it slow, kan? Nggak perlu buru-buru."

Juli menarik badannya mundur, membuatnya berjarak dengan Caka hingga kini tatapan keduanya bertemu. "Aku takut nggak punya waktu."

"Kenapa ngomongnya gitu?" kening Caka berkerut. Raut wajahnya jelas sekali menunjukkan raut tidak suka dengan pertanyaan Juli barusan.

"Nggak tau," sahut Juli, terdengar pasrah. "Kita nggak tau kapan bisa punya waktu berdua kayak gini lagi."

"Juanda."

"Maksudnya tuh," Juli segera menyela sewaktu mendengar Caka menyebut nama depannya. "Aku masih harus stay di sini sampai nggak tau kapan. Sedangkan kamu nggak mungkin ikutan stay juga. Kamu kerja, Caka."

Cakrawala Untuk Juli [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang