Keluarga Santoso baru saja pindah ke sebuah rumah tua di pinggir desa. Rumahnya gede, tapi udah jelas banget kalau bangunannya tua dan agak suram. Bu Santoso, yang biasa dipanggil Ibu, langsung jatuh cinta sama rumah itu. "Rumah ini punya karakter," katanya waktu pertama kali lihat. Pak Santoso setuju aja, apalagi harga rumah ini jauh di bawah pasaran. Di kota besar, mana bisa dapet rumah sebesar ini dengan harga segitu?
Anak-anak mereka, Dito dan Wulan, juga nggak terlalu protes. Meskipun rumah itu terasa agak menyeramkan, mereka senang bisa punya kamar sendiri-sendiri yang luas. "Mending daripada di kota yang sempit," kata Dito sambil memasukkan barang-barangnya ke kamar yang ada di lantai dua.
Hari pertama pindah berjalan lancar. Mereka semua sibuk mengatur perabotan, mengecat ulang beberapa dinding, dan membersihkan debu yang udah menumpuk di sudut-sudut ruangan. Tapi, sejak sore hari, mulai ada hal-hal yang bikin mereka merinding.
Sore itu, waktu Wulan lagi ngebuka kardus-kardus di ruang tamu, dia ngerasa ada yang aneh. Angin sejuk tiba-tiba masuk dari jendela yang seharusnya tertutup rapat. Gorden yang beratnya lumayan itu tiba-tiba berkibar, padahal nggak ada angin dari luar. Wulan berdiri, berjalan ke arah jendela, dan melihat keluar. Nggak ada apa-apa di luar, cuma pepohonan tua yang berdiri tegak di halaman belakang.
"Wulan, kamu udah selesai dengan barang-barang kamu?" suara Ibu memecah keheningan.
Wulan menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh tadi. "Belum, Bu. Ini masih banyak yang harus diberesin."
Sementara itu, di lantai dua, Dito lagi ngerapihin kamarnya. Dari sudut matanya, dia ngerasa ada bayangan yang bergerak cepat di lorong. Dia langsung nengok, tapi nggak ada apa-apa. "Paling cuma ilusi doang," pikirnya sambil tertawa kecil.
Malam pertama mereka di rumah itu, semuanya tampak tenang. Setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang keluarga untuk nonton TV. Tapi, tiba-tiba suara keras terdengar dari lantai atas, kayak ada sesuatu yang jatuh.
Pak Santoso berdiri, menoleh ke arah tangga. "Kamu denger itu?" tanyanya ke Ibu.
Ibu mengangguk, wajahnya terlihat tegang. "Itu suara apa ya?"
Mereka berdua naik ke lantai dua, diikuti oleh Dito dan Wulan. Ketika sampai di atas, mereka nggak menemukan apa-apa yang jatuh. Semua barang masih ada di tempatnya.
"Nggak ada apa-apa di sini," kata Dito sambil mencoba bersikap santai.
Mereka kembali turun, mencoba melanjutkan malam dengan tenang. Tapi, nggak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari atas, padahal mereka semua ada di ruang keluarga. Langkah itu berat, seperti ada seseorang yang sedang berjalan bolak-balik.
"Ada yang naik?" Wulan bertanya dengan suara gemetar.
"Nggak ada," jawab Ibu, suaranya juga udah mulai terdengar takut. "Semua di sini, kan?"
Pak Santoso mencoba bersikap tegas. "Mungkin cuma suara kayu yang kering. Rumah ini kan udah tua, wajar kalau ada suara-suara aneh."
Mereka semua berusaha setuju, walaupun dalam hati mereka mulai merasakan sesuatu yang nggak enak. Malam itu, mereka tidur dengan perasaan was-was, tapi nggak ada lagi kejadian aneh sampai pagi.
Hari berikutnya, suasana di rumah itu semakin aneh. Pintu-pintu sering terbuka sendiri, walaupun mereka yakin udah menutupnya. Bau busuk kadang-kadang tercium di beberapa sudut rumah, bau yang aneh, kayak bau sesuatu yang membusuk. Ibu mencoba menyemprotkan pengharum ruangan, tapi bau itu nggak hilang.
Wulan, yang biasanya suka berlama-lama di kamar, sekarang sering turun ke ruang tamu, merasa nggak nyaman sendirian di lantai dua. "Kamar di atas serem, Bu," keluhnya suatu malam. "Aku ngerasa kayak ada yang ngeliatin."
KAMU SEDANG MEMBACA
CHERI - Kumpulan Cerita Horor dan Misteri
HorrorMalam menyelimuti bumi di berbagai belahan dunia, membawa kegelapan yang tidak hanya menutupi langit, tetapi juga menyelimuti kisah-kisah yang tak terungkapkan. Di balik setiap benua, tersembunyi cerita-cerita yang tidak pernah diucapkan dengan kera...