Beberapa bulan setelah peristiwa di desa yang hilang, Dr. Hadi kembali ke kehidupan normalnya. Penelitian di universitas, seminar, dan kegiatan rutin lainnya kembali menjadi bagian dari kesehariannya. Namun, meskipun ia terlihat seperti pria yang sama, ada sesuatu yang berbeda dalam diri Dr. Hadi—sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa merasakannya.
Malam itu, Dr. Hadi duduk di ruang kerjanya, menatap jendela yang menghadap ke luar. Kota tampak tenang, diterangi cahaya lampu jalan yang memantul di permukaan basah setelah hujan sore tadi.
Namun, pikirannya berada jauh dari tempat ini, kembali ke desa yang pernah ia kunjungi, desa yang seolah telah lenyap bersama dengan semua misteri yang pernah menyelimutinya.
Ia masih ingat setiap detail dari perjalanannya: suara angin yang berbisik di antara pepohonan, keheningan yang mencekam, dan bayangan-bayangan yang mengintai dari kegelapan.
Ia ingat bagaimana ia berhasil menghancurkan patung kutukan itu, bagaimana desa itu seakan-akan lenyap dari dunia ini setelah malam yang mengerikan itu. Tapi ada sesuatu yang terus menghantuinya—sebuah pertanyaan yang tidak pernah terjawab.
Dr. Hadi membuka laci mejanya dan mengeluarkan gulungan kertas tua yang ia temukan di altar desa itu. Pesan terakhir dari pemimpin desa masih tertulis jelas, namun ada satu bagian dari pesan itu yang tidak pernah benar-benar ia pahami.
Kalimat terakhir yang tertulis di gulungan itu berbunyi: "Ketika bayangan terakhir hilang, hanya mereka yang mengerti akan bisa melihat terang yang sejati."
Ia telah merenungkan kalimat itu selama berbulan-bulan, mencoba mencari makna yang tersembunyi di baliknya. Apakah ada sesuatu yang belum ia temukan? Apakah desa itu benar-benar telah hilang, atau hanya bersembunyi di balik tirai waktu, menunggu untuk ditemukan kembali oleh seseorang yang lain?
Dr. Hadi menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Ia tahu bahwa sebagian dari dirinya ingin kembali ke desa itu, untuk memastikan bahwa semuanya telah berakhir. Tapi ia juga tahu bahwa ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi, rahasia-rahasia yang sebaiknya tidak pernah digali lagi.
Namun, meskipun ia mencoba melupakannya, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa desa itu belum benar-benar melepaskannya. Setiap malam, saat ia tertidur, ia bermimpi tentang desa itu—jalan-jalan yang berliku, rumah-rumah yang kosong, dan bayangan-bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Dalam mimpi-mimpinya, ia selalu kembali ke sana, berjalan tanpa henti mencari sesuatu yang tidak pernah bisa ia temukan.
Pada malam ini, mimpi itu kembali datang. Dr. Hadi berdiri di tengah-tengah desa yang gelap, sendirian. Namun, kali ini, desa itu tidak terasa kosong. Ada kehadiran lain yang menyertainya, sesuatu yang tak terlihat namun begitu nyata. Ia merasakan kehadiran itu semakin dekat, seolah-olah desa ini masih hidup, menunggu untuk mengungkapkan rahasia terakhirnya.
Saat ia berjalan melewati rumah-rumah yang sudah tidak berpenghuni, Dr. Hadi melihat sesuatu yang aneh. Di salah satu rumah, ada cahaya kecil yang berkelip, hampir tak terlihat di balik jendela yang tertutup debu. Dengan hati-hati, ia mendekati rumah itu dan membuka pintunya.
Di dalam, ia menemukan sebuah ruangan yang seolah-olah tidak tersentuh oleh waktu. Perabotan masih tertata rapi, dan di atas meja, ada sebuah buku yang terbuka, halaman-halamannya tampak baru meskipun usianya mungkin sudah ratusan tahun. Namun, yang paling mengejutkannya adalah lukisan di dinding ruangan itu—lukisan yang menggambarkan sosok yang sangat ia kenal. Itu adalah dirinya, Dr. Hadi, berdiri di tengah desa dengan peta kuno di tangannya.
Jantungnya berdegup kencang saat ia mendekati lukisan itu. Bagaimana mungkin lukisan ini ada di sini? Apakah ini semua hanyalah bagian dari mimpinya, ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak pernah ia sadari selama ini?
Tiba-tiba, suara berbisik terdengar di telinganya, suara yang familiar namun anehnya asing. "Kamu belum menemukan semuanya, Dr. Hadi," bisik suara itu. "Bayangan terakhir belum hilang."
Dr. Hadi terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia kembali ke kenyataan, duduk di ruang kerjanya yang diterangi cahaya lampu. Namun, mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar berada di desa itu lagi.
Dengan tangan gemetar, ia meraih buku harian yang selalu ia simpan di meja dan mulai menulis tentang mimpinya. Namun, saat ia menulis, ia menyadari sesuatu yang aneh—halaman terakhir dari buku hariannya kosong, meskipun ia yakin telah menulis di sana sebelumnya. Kata-kata yang ia tulis menghilang seiring dengan tinta yang perlahan memudar, meninggalkan halaman itu kembali kosong.
Dr. Hadi merasakan dingin yang menjalari tulang punggungnya. Ia menatap halaman kosong itu dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran. Apakah ini hanya permainan pikirannya, atau apakah ada sesuatu yang lebih gelap yang masih mengawasinya dari balik bayangan?
Malam semakin larut, dan Dr. Hadi menutup buku hariannya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu bahwa desa itu mungkin telah lenyap dari peta dunia, tetapi bayangannya masih ada, mengintai di sudut-sudut pikirannya. Sebuah misteri yang belum sepenuhnya terungkap, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.
Dengan perasaan yang tak menentu, Dr. Hadi menatap keluar jendela, ke arah kota yang kini tertutup kabut malam. Di kejauhan, di luar batas penglihatannya, ia bisa merasakan kehadiran desa itu—desa yang tidak pernah benar-benar hilang, tetapi hanya menunggu untuk ditemukan kembali, oleh seseorang yang cukup berani untuk menelusuri bayang-bayang yang abadi.
Dan di dalam keheningan malam itu, di balik kegelapan yang tak terjamah, bayangan-bayangan itu tetap bergerak, menunggu kedatangan mereka yang akan datang, siap untuk mengungkapkan rahasia yang tak pernah benar-benar terkubur.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHERI - Kumpulan Cerita Horor dan Misteri
HorrorMalam menyelimuti bumi di berbagai belahan dunia, membawa kegelapan yang tidak hanya menutupi langit, tetapi juga menyelimuti kisah-kisah yang tak terungkapkan. Di balik setiap benua, tersembunyi cerita-cerita yang tidak pernah diucapkan dengan kera...