Langkah kaki Dani, Sinta, dan Bimo semakin berat, seakan-akan tanah di bawah mereka berubah menjadi lumpur yang menelan sepatu mereka sedikit demi sedikit. Kegelapan yang menyelimuti taman bermain semakin pekat, menelan cahaya senter Dani yang kini hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan mereka. Napas mereka semakin terengah, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena rasa takut yang semakin menggigit.
"Rian! Dimana kamu?!" teriak Dani, suaranya pecah di udara malam yang dingin. Namun, hanya gema yang menjawabnya, memantul dari bayangan-bayangan yang tampak bergerak di sekitar mereka.
"Ini tidak benar... ini semua tidak benar!" bisik Sinta, memegang erat lengan Dani. Matanya terus mengawasi sekeliling, khawatir bayangan-bayangan itu akan mendekat dan menelan mereka hidup-hidup. Bimo, yang biasanya selalu berusaha tampil tenang, kini tampak ketakutan. Keringat dingin mengalir di dahinya, meski udara di sekitar mereka begitu dingin.
Mereka bertiga akhirnya sampai di tengah taman lagi, di mana ayunan itu masih berayun dengan sendirinya. Jungkat-jungkit bergerak naik turun tanpa henti, dan suara-suara tawa yang menyeramkan terus terdengar. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di tengah peralatan bermain itu, sebuah bayangan besar muncul, menjulang tinggi dan bergerak perlahan ke arah mereka.
Dani menyorotkan senternya ke arah bayangan itu, dan apa yang mereka lihat membuat darah mereka membeku. Bayangan itu bukanlah makhluk, bukan pula manusia. Itu adalah kegelapan yang memiliki wujud, seolah-olah taman itu sendiri hidup dan sedang mengawasi mereka.
"Pergi dari sini!" teriak Bimo, tapi sebelum mereka bisa bergerak, bayangan itu mulai merayap, mengelilingi mereka seperti kabut hitam yang tebal. Napas mereka tercekat saat udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sangat dingin, hampir seperti es.
Sinta menjerit saat bayangan itu menyentuhnya, merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. "Dani! Bimo! Lari!" Tapi tidak ada tempat untuk lari. Bayangan itu dengan cepat mengepung mereka, mengunci mereka di tengah taman bermain yang kini berubah menjadi tempat yang sangat menakutkan.
"Rian... Rian, di mana kamu?" bisik Dani dengan suara hampir tak terdengar. Namun, di dalam kegelapan itu, sebuah suara menjawabnya.
"Aku di sini..."
Suara itu terdengar seperti Rian, namun ada sesuatu yang salah. Suara itu terdengar kosong, seolah-olah tidak berasal dari Rian yang mereka kenal. Dani memandang ke arah suara itu dan melihat sesuatu yang mengejutkan—Rian berdiri di depan mereka, namun wajahnya pucat, matanya kosong, dan tubuhnya tampak hampir transparan.
"Rian? Apa yang terjadi padamu?" tanya Bimo dengan suara gemetar. Ia mencoba mendekati Rian, tetapi setiap langkah yang diambilnya terasa semakin sulit, seolah-olah sesuatu menahannya.
Rian tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap mereka dengan mata yang hampa. Kemudian, dengan suara yang terdengar seperti bisikan angin, ia berkata, "Kalian tidak seharusnya datang ke sini..."
"Rian, kita harus keluar dari sini. Ayo pulang!" kata Sinta, air mata mulai mengalir di pipinya. Tapi Rian menggeleng pelan.
"Kalian tidak bisa pergi... sudah terlambat. Aku sudah mencoba, tapi taman ini... taman ini tidak akan membiarkan kita pergi."
Kata-kata Rian membuat ketiganya terdiam. Taman ini tidak akan membiarkan mereka pergi? Pikiran itu membuat mereka merasa terperangkap dalam mimpi buruk yang tidak berkesudahan.
"Kita harus mencoba... kita tidak bisa menyerah begitu saja," kata Dani dengan suara yang hampir pecah. Ia menatap Rian, berharap melihat sedikit harapan di mata temannya itu, tapi yang ia lihat hanyalah kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHERI - Kumpulan Cerita Horor dan Misteri
HorrorMalam menyelimuti bumi di berbagai belahan dunia, membawa kegelapan yang tidak hanya menutupi langit, tetapi juga menyelimuti kisah-kisah yang tak terungkapkan. Di balik setiap benua, tersembunyi cerita-cerita yang tidak pernah diucapkan dengan kera...