Cahaya Lilin Abadi 2

2.7K 59 0
                                    


Pagi berikutnya, Dina merasa tubuhnya lebih lelah daripada sebelumnya. Tidurnya tak lagi nyenyak, dan malam tadi meninggalkan bekas ketakutan yang tak kunjung hilang. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang hampir tak tersentuh. Kepalanya berputar-putar memikirkan lilin itu—bayangan-bayangan, bisikan-bisikan, semua kejadian aneh yang terasa semakin nyata.

"Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini," gumam Dina pada dirinya sendiri. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Lina tahu lebih banyak tentang lilin itu daripada yang ia sampaikan sebelumnya.

Setibanya di toko buku, suasana terasa sedikit berbeda. **Lina** sedang sibuk mengatur beberapa buku baru di rak, dan ketika Dina masuk, Lina langsung menyapanya dengan senyum yang biasa, seolah-olah tidak ada yang aneh terjadi.

"Selamat pagi, Dina! Gimana? Masih suka sama lilinnya?" tanya Lina dengan nada riang.

Namun, kali ini Dina tidak tertarik bermain-main. Ia melangkah langsung ke arah Lina, memasang wajah serius. "Lina, aku perlu tanya sesuatu. Lilin itu... ada yang aneh."

Senyum di wajah Lina sedikit memudar, dan ia menoleh, meletakkan buku di tangannya. "Aneh gimana maksudmu?"

Dina menarik napas panjang, lalu menjelaskan semuanya. Ia bercerita tentang bagaimana lilin itu tidak mau padam, tentang bisikan-bisikan yang ia dengar, serta bayangan-bayangan yang terus menghantui rumahnya. Saat Dina bercerita, Lina mendengarkan dengan seksama, ekspresinya semakin tegang seiring dengan tiap detil yang Dina sampaikan.

Ketika Dina selesai, Lina terdiam sejenak. Matanya tampak menerawang jauh, seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang sulit diungkapkan.

"Aku nggak tahu apa yang terjadi, Dina. Tapi... lilin itu bukan lilin biasa," ujar Lina pelan.

"Aku sudah tahu itu," balas Dina, frustrasi. "Aku perlu tahu lebih dari itu. Apa ini semacam kutukan? Apakah kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi?"

Lina menghela napas, kemudian duduk di kursi dekat meja kasir. "Lilin itu... Aku dapat dari seseorang beberapa bulan lalu. Dia bilang lilin itu istimewa. Tapi aku nggak tahu kalau ini akan terjadi. Dia bilang lilin itu punya kekuatan tertentu yang bisa membawa ketenangan."

Dina menatap Lina dengan mata yang semakin sempit. "Siapa orang itu? Kamu nggak bisa cuma kasih lilin tanpa tahu apa yang sebenarnya ada di baliknya."

Lina menatap ke bawah, tampak merasa bersalah. "Namanya **Pak Surya**. Dia orang yang tinggal di pinggiran kota ini, dekat hutan. Dia... semacam praktisi spiritual, orang-orang bilang dia sering terlibat dalam ritual kuno. Aku pikir dia cuma orang tua yang percaya pada hal-hal tradisional. Aku nggak tahu kalau ini bisa berbahaya."

Mendengar nama Pak Surya, Dina merasa sedikit lega. Setidaknya, sekarang ia punya arah untuk mencari jawaban. "Oke, aku akan menemui Pak Surya. Mungkin dia bisa menjelaskan semuanya."

Lina berdiri dengan cepat, matanya tampak penuh kecemasan. "Dina, hati-hati. Kalau lilin itu memang berasal dari sesuatu yang gelap, kamu mungkin berurusan dengan sesuatu yang lebih dari sekadar lilin yang nggak mau padam."

Namun, Dina sudah memutuskan. Ia harus bertemu dengan Pak Surya dan mendapatkan jawaban. Setelah bekerja, ia langsung menuju pinggiran kota, tempat di mana Lina bilang Pak Surya tinggal.

Saat ia sampai di area yang dimaksud, suasana terasa sangat berbeda. Rumah-rumah di sekitar sana tampak tua dan sepi, jauh dari keramaian kota kecil Banyu Alam. Jalanan berkerikil membawa Dina ke sebuah rumah kayu yang tampak tak terawat. Pintu depannya sedikit terbuka, dan di dalam, ia melihat sosok pria tua yang duduk di kursi rotan, menatap kosong ke arah pepohonan.

CHERI - Kumpulan Cerita Horor dan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang