Cermin Luka di Meja Sebelah

8 0 0
                                    

Hari itu, bagi Ivy Maharani Haris, hanyalah hari biasa yang tidak istimewa. Ia duduk di meja ruang guru, tenggelam dalam pekerjaannya, seolah-olah seluruh dunia hanya terdiri dari kertas-kertas ujian dan catatan pelajaran. Ivy bukanlah sosok yang mudah terlibat dalam percakapan ringan. Suasana ruangan cukup ramai, tetapi Ivy merasa tenang dalam kesendiriannya. Rutinitas ini menjadi bagian yang menenangkan—setidaknya, ia bisa menghindari interaksi yang memunculkan kenangan pahit.

Namun, suasana berubah ketika seorang guru baru masuk ke ruangan. Ivy mendengar bisik-bisik rekan-rekannya, tapi ia tak langsung menoleh. Dari sudut matanya, ia bisa melihat sosok laki-laki tinggi, sekitar 179 cm, dengan dada bidang dan tubuh berotot yang tampak jelas di balik kemeja rapi yang digulung hingga siku. Wajahnya ramah, dengan senyum yang tampak tulus. Ivy mendengar rekan-rekannya berbisik kagum akan ketampanan dan keramahan pria itu.

"Namanya Fadli Dirgantara," Ivy mendengar salah satu temannya berbicara pelan pada yang lain, yang kemudian disambut anggukan. Ivy menghela napas perlahan, tidak begitu peduli. Ia tahu pria itu adalah sahabat kecil Dion, guru Seni Budaya yang juga rekan kerjanya. Fadli datang mengisi posisi guru yang sudah pensiun, dan kebetulan meja kosong itu berada tepat di sebelah meja Ivy.

Meskipun Ivy tidak menunjukkan ketertarikan, suasana di sekitar terasa berubah. Banyak rekan-rekan wanitanya yang mencoba mendekat, tebar pesona, dan bahkan tertawa kecil untuk menarik perhatian Fadli. Ivy tetap duduk tenang, fokus meneliti tugas murid-muridnya. Ia memilih untuk tidak terlibat dalam percakapan yang ia anggap tak perlu.

Alasan Ivy menjaga jarak bukan hanya karena ketidakpedulian. Di balik ketenangan dan sikap pendiamnya, Ivy menyimpan luka mendalam yang sulit ia sembuhkan. Setiap kali mengingat Roman, perasaan cemas dan takut itu kembali menyeruak. Roman, mantan kekasih SMA yang awalnya memberi harapan namun menghancurkan kepercayaannya, menjadi bagian dari masa lalu yang sulit dilupakan. Setelah Roman memutuskan hubungan tanpa penjelasan, Ivy mencoba memohon dan mempertahankan cinta itu, tapi Roman tak bergeming. Lebih dari itu, setelah perpisahan mereka, Roman kembali ke kehidupan Ivy dengan cara yang tak pernah Ivy bayangkan—datang membawa masalah dan meneror hidupnya.

Saat Ivy terpuruk karena Yale, ia sempat jatuh kembali ke pelukan Roman, yang sayangnya telah berkeluarga. Ketika ia menyadari kesalahan itu, Ivy memilih memutuskan hubungan tersebut. Namun, Roman tidak menerima penolakan itu dengan baik. Teror demi teror datang bertubi-tubi, dari pesan singkat hingga rumor yang mulai menyebar di sekolah. Bahkan, Roman memanipulasi Raya, mantan sahabat Ivy, untuk merusak reputasinya di SMP Cemerlang. Ivy tahu betul bagaimana efek dari peristiwa itu merusak dirinya—seolah tak ada lagi ruang bagi kepercayaan terhadap laki-laki.

Di ruang guru itu, Ivy berusaha menahan segala ingatan yang kembali menghantuinya. Tetapi hari itu terasa berbeda, ada satu percakapan yang sulit ia hindari. Saat jam istirahat, Fadli, yang sedari tadi dikerumuni rekan-rekan wanita, tiba-tiba melangkah ke arah Ivy.

"Hai, Bu Ivy, kan?" Fadli menyapanya dengan ramah, suaranya tenang. "Saya Fadli, guru baru di sini."

Ivy sedikit terkejut, namun berusaha menutupinya. Dengan singkat, ia menjawab, "Iya, saya Ivy," tanpa mengangkat pandangannya dari lembar kertas di mejanya.

"Senang bertemu dengan Anda, Bu Ivy. Anda mengajar mata pelajaran apa?" lanjut Fadli, suaranya masih terdengar penuh perhatian.

"IPS," jawab Ivy dengan nada yang nyaris datar. Dalam hatinya, ia berharap percakapan ini cepat berakhir, tetapi ia tetap merasakan tatapan ramah Fadli yang seolah mengajaknya berbicara lebih lama.

Fadli hanya tersenyum, tidak melanjutkan percakapan. Meskipun kesan yang ia tinggalkan sangat tenang dan penuh sopan santun, Ivy merasa jantungnya berdebar cemas. Bukan karena ketertarikan pada Fadli, tapi lebih pada luka-luka lama yang selalu menghantuinya. Kejadian dengan Roman meninggalkan trauma yang begitu dalam pada Ivy, membuatnya sulit mempercayai pria manapun kecuali ayahnya, adiknya Eryk, dan Yale. Namun, bahkan dengan Yale, butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk memaafkan dan menerimanya kembali sebagai sahabat.

Mia, rekan sekaligus sahabat terdekat Ivy di sekolah, duduk di mejanya, tersenyum sambil mengamati interaksi Ivy dan Fadli dari kejauhan. Mia tahu sedikit tentang masa lalu Ivy, termasuk betapa sulitnya Ivy untuk percaya kembali pada pria, terutama setelah peristiwa menyakitkan yang menimpanya. Mia adalah satu-satunya teman yang selalu mendukungnya, bahkan di saat rekan-rekan lain menjauh karena fitnah yang disebarkan oleh Roman dan Raya. Mia memberi Ivy senyum hangat seolah berkata, "Kamu baik-baik saja, kan?"

Ivy membalas senyuman Mia dengan anggukan kecil. Namun, jauh di dalam hatinya, Ivy tahu bahwa tidak semuanya baik-baik saja. Rasa takutnya bukan karena Fadli berbuat salah; rasa takutnya berasal dari dirinya sendiri, dari bayangan-bayangan masa lalu yang tak kunjung memudar.

Ketika jam kerja berakhir, Ivy bersiap untuk pulang. Di lorong sekolah, ia mendengar obrolan rekan-rekan wanita yang memuji Fadli. “Kamu lihat tadi? Fadli itu orangnya ramah sekali!” seru salah satu dari mereka. Ivy berusaha mengabaikan percakapan itu, menundukkan pandangan dan melangkah keluar sekolah.

Di rumah, Ivy duduk di ruang tamu yang sepi, membiarkan pikirannya melayang jauh. Kehadiran Fadli di ruang guru yang berdekatan dengannya mengingatkan Ivy pada segala luka yang ia alami. Ia tidak pernah benar-benar menginginkan kehadiran seseorang yang membuatnya teringat akan masa-masa kelam itu. Ivy memejamkan mata, berharap pikirannya tenang. Tapi bayangan Roman dan Yale terus menghantuinya.

Setiap malam, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa masa lalu itu sudah berlalu, bahwa ia sudah cukup kuat untuk melanjutkan hidup. Namun, ada saat-saat seperti ini ketika perasaan takut dan terpuruk kembali menguasainya. Ivy tidak tahu sampai kapan ia harus melawan rasa sepi dan takutnya seorang diri.

Malam itu, ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari Yale masuk, menanyakan kabarnya. Ivy hanya menatap pesan itu tanpa balasan. Yale mungkin tidak tahu, tapi kehadirannya seringkali membangkitkan kenangan pahit dalam hidup Ivy. Meskipun Ivy berusaha memaafkan, ingatan tentang malam ketika Yale mendorongnya hingga terjatuh tetap melekat. Ia ingin percaya bahwa semua sudah berlalu, tetapi hatinya masih terluka, masih enggan untuk menerima.

Keesokan harinya, Ivy kembali ke sekolah dengan wajah yang dipaksakan untuk tetap tenang. Di kelas, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan murid-muridnya. Setiap kali ia memasuki kelas, Ivy berusaha memberikan senyuman hangat, meski senyuman itu tidak selalu tulus. Senyumannya hanya menjadi topeng untuk menyembunyikan kepedihan yang terus menghantuinya.

Sementara itu, Fadli mencoba menjalin pertemanan dengan Ivy. Tanpa sepengetahuan Ivy, Fadli juga punya masa lalu yang tak kalah rumit. Namun, Ivy memilih untuk tetap menjaga jarak. Ia takut terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama.

Ivy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalunya, tetapi ia juga belum menemukan cara untuk keluar dari kegelapan ini. Setiap malam, ketika semua orang tertidur, Ivy merasakan hatinya yang kosong, berusaha mencari jawaban atas segala luka yang pernah ia terima. Tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah terus melangkah, meski dengan langkah yang tertatih.

Di ruang guru, Ivy kembali duduk di meja yang bersebelahan dengan Fadli. Di sekeliling mereka, para guru dan staf yang lain berbicara dengan riang, namun Ivy tetap terdiam. Di balik ketenangan Ivy, ada hati yang masih rapuh, yang masih berusaha untuk sembuh. Fadli hanya duduk di sebelahnya, memberikan ruang bagi Ivy untuk tetap berada dalam duniannya sendiri, sebuah sikap yang mungkin tanpa ia sadari membuat Ivy merasa sedikit lebih nyaman.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang