Titik Puncak Ketegangan

8 0 0
                                    

IVY'S POV

Sejak insiden Roman di sekolah, dunia Ivy serasa runtuh. Setiap langkahnya di koridor terasa berat, seakan tatapan para guru dan siswa melekat padanya, bukan dengan empati, melainkan dengan rasa penasaran dan bisikan gosip. Ivy tahu mereka membicarakan dirinya di belakang, memutar ulang insiden memalukan itu, seakan menunggu babak berikutnya dalam drama hidupnya. Tatapan mereka menghujam, membuat Ivy semakin tenggelam dalam ketakutan dan rasa malu yang terus membelenggunya.

Hari-hari berlalu, tetapi rasa cemas dan panik semakin sering menyerangnya. Ivy mulai sering merasa mual, muntah di toilet sekolah bukan karena sakit fisik, melainkan karena beban mental yang semakin berat. Setiap pesan baru dari Roman, melalui akun anonim atau nomor tak dikenal, seperti duri yang menusuk jiwanya. "Kamu tidak bisa lari dariku," ancaman Roman selalu datang seperti bayangan gelap yang menghantui, membuat Ivy terjebak dalam lingkaran ketakutan tanpa ujung. Meski ia mencoba memblokir setiap kontak, Roman selalu menemukan cara untuk masuk, menghancurkan ketenangan yang susah payah ia bangun.

Namun, di tengah kegelapan itu, ada Fadli. Meski dia jarang bicara tentang masalah yang Ivy alami, kehadirannya menjadi sandaran bagi Ivy. Di ruang guru, Fadli selalu duduk di dekatnya, tak pernah mendesak Ivy untuk berbagi, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia ada. Ivy tahu Fadli mengkhawatirkannya, meski ia berusaha menyembunyikan perasaannya di balik sikap tenangnya. Saat duduk bersebelahan, Ivy merasakan kehadiran Fadli seperti benteng kokoh yang menahan runtuhnya dunia di sekelilingnya.

Setiap kali Ivy merasa napasnya tercekat, ia akan menoleh dan melihat Fadli di sana. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata besar atau janji manis. Hanya ada senyuman lembut dan sikapnya yang seolah berkata, "Aku ada di sini untukmu." Itu memberinya sedikit rasa aman di tengah badai yang menderanya.

Di rumah, Ivy berusaha menyembunyikan segala rasa sakit dan ketakutannya dari kedua orang tuanya, Indira dan Haris. Mereka sudah cukup lelah dengan pekerjaan dan masalah mereka sendiri, dan Ivy tidak ingin menambah beban pikiran mereka. Setiap kali rasa panik menyerang, Ivy memilih mengunci diri di kamar, menangis dalam kesunyian. Dia terbaring di tempat tidur, menggenggam bantal erat-erat, berharap rasa takut itu akan mereda.

Namun, suatu malam, ketika tangisannya tak lagi bisa ditahan, pintu kamarnya terbuka perlahan. Ivy terkejut saat melihat Eryk, adiknya yang pendiam, berdiri di ambang pintu. "Kak..." Eryk berjalan mendekat, kemudian duduk di samping Ivy. Tanpa berkata-kata, ia memeluk Ivy erat. Ivy tak menyangka, tetapi kehangatan pelukan itu membuat semua tembok pertahanannya runtuh. Tangisnya pecah seketika, dan ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Eryk.

"Menangislah, Kak. Aku di sini," bisik Eryk dengan suara pelan. Mendengar kata-kata sederhana itu, Ivy merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Eryk, yang selama ini jarang menunjukkan emosinya, kini ada di sisinya, memberikan kenyamanan yang tak pernah ia bayangkan. Malam itu, Ivy merasa tidak sendirian. Ada seseorang yang benar-benar mengerti kesakitannya.

***

Namun, masalah Roman belum usai. Suatu sore, ketika Ivy dan Yale sedang duduk di sebuah kafe dekat sekolah, Roman muncul kembali. Tatapan Roman penuh amarah, dan Ivy tahu ini akan menjadi mimpi buruk lainnya.

"Ivy milikku! Jangan dekati dia!" teriak Roman, suaranya mengguncang atmosfer kafe. Wajah Ivy memucat, tubuhnya membeku di kursi. Yale, yang duduk di depannya, langsung berdiri. Ia tak pernah tahan melihat Ivy disakiti. Wajahnya memerah, dan Ivy tahu Yale siap melayangkan tinjunya. Namun, sebelum Yale sempat bergerak, beberapa guru laki-laki yang kebetulan berada di kafe segera menahannya, mencegah keributan yang lebih besar.

Ivy merasa dunia berputar di sekelilingnya. Ketakutannya berubah menjadi rasa malu yang menusuk. Semua orang di kafe menatap mereka, tatapan mereka penuh dengan keingintahuan yang menyesakkan. Dari pintu kafe, Ivy melihat Fadli muncul. Hatinya mencelos. Ia tak ingin Fadli terlibat dalam kekacauan ini. Namun, saat melihat situasi itu, Fadli dengan cepat mendekat, berusaha menenangkan Yale yang berang. Wajahnya tegang, namun matanya tetap tenang menatap Roman.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang