Meraba Luka yang Tak Terlihat

8 0 0
                                    

Siang itu di ruang guru, suasana terasa lebih lengang dari biasanya. Fadli Dirgantara duduk di mejanya, menikmati waktu luang di sela jadwal mengajarnya yang kosong. Beberapa minggu berlalu sejak ia mulai mengajar di SMP Cemerlang. Lingkungan baru ini pada awalnya terasa asing, tetapi kehadiran Dion, sahabat masa kecilnya, memberikan sedikit rasa hangat. Kembali bertemu Dion setelah bertahun-tahun membuat Fadli merasa seperti pulang, dan Dion pula alasan utama Fadli menerima pekerjaan di sekolah ini.

Namun, di balik kehadiran Dion yang menyenangkan, ada sosok lain yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Ivy Maharani Haris—guru pendiam yang duduk di meja sebelahnya di ruang guru. Ivy bukan sekadar pendiam. Wanita itu menyimpan misteri yang tidak bisa ditebak, seolah menutupi luka-luka yang tersembunyi di balik keheningan dan senyum tipisnya. Sejak interaksi mereka sedikit lebih akrab, rasa penasaran Fadli semakin membesar, dan ia sadar, ia mulai menyukai Ivy.

Ketika Mia, guru olahraga yang duduk di meja depan Ivy, masuk ke ruang guru, Fadli merasa ini mungkin saat yang tepat untuk menggali sedikit lebih dalam tentang Ivy.

“Hei, Bu Mia,” sapa Fadli dengan santai. “Ada waktu sebentar?”

Mia tersenyum dan mendekat. “Oh, Pak Fadli. Jadwal Bapak kosong, ya?”

“Ya, nih.” Fadli terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Saya cuma mau ngobrol soal Ivy, kalau Bu Mia nggak keberatan. Bu Mia kan lumayan dekat sama Bu Ivy.”

Mia mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut, tetapi juga penuh rasa penasaran. “Oh, sudah saya duga sih kalau Pak Fadli tertarik sama Ivy,” balasnya sambil terkekeh kecil. “Pak Fadli penasaran soal apa, nih?”

Fadli tersenyum kecil, merasa sedikit canggung. “Saya cuma ingin tahu lebih banyak tentang Bu Ivy,” ujarnya. “Dion pernah cerita sedikit tentang dia… tentang gosip-gosip nggak enak yang menimpanya di sekolah ini. Tapi Dion nggak tahu detailnya.”

Mia terdiam sejenak, menatap Fadli dengan ekspresi penuh pertimbangan. Fadli menambahkan, “Oh, ya. Saya juga ingin tahu soal Yale. Siapa dia sebenarnya? Saya lihat dia ada di media sosial Bu Ivy, dan Dion bilang kalau mereka sahabatan. Tapi saya merasa mereka lebih dari sekadar sahabat.”

Mia tersenyum tipis, seolah sudah menebak arah pembicaraan ini. “Ah, Bang Yale…” ucapnya pelan. “Itu cerita panjang, Pak Fadli. Ivy dan Yale dulu lebih dari sekadar sahabat. Mereka pernah berpacaran.”

Fadli merasakan dadanya berdesir mendengar kata-kata Mia. Ia tak menyangka bahwa mereka pernah menjadi sepasang kekasih. Ada perasaan cemburu yang sulit dijelaskan muncul dalam hatinya, perasaan yang membuatnya ingin mengetahui lebih dalam tentang Yale.

Mia memperhatikan ekspresi Fadli dan tersenyum kecil. “Tapi sekarang mereka sudah murni sahabat,” jelas Mia. “Yale sudah menikah dengan Jovanna, dan mereka bahkan sudah punya anak bernama Yena. Ivy sudah lama melupakan perasaan itu, tetapi hubungan mereka dulu adalah bagian dari masa lalu yang membuat Ivy jadi lebih berhati-hati.”

Fadli mendengarkan dengan saksama, sedikit lega namun tetap ingin tahu lebih jauh. “Lalu, kenapa Ivy jadi sangat tertutup sekarang?” tanyanya hati-hati. “Rasanya seperti dia selalu menjaga jarak dari laki-laki.”

Mia menghela napas, tatapannya berubah serius. “Sebenarnya, sebelum Yale, ada seseorang bernama Roman yang sangat berpengaruh dalam hidup Ivy. Mereka berpacaran sejak SMA, dan Ivy sangat mencintainya. Namun, hubungan itu tidak berakhir baik.”

Fadli terdiam, teringat bahwa Dion pernah menyebut nama Roman sebagai orang yang meninggalkan luka mendalam bagi Ivy, tetapi tanpa menjelaskan lebih detail.

Mia melanjutkan, suaranya melembut, “Ivy jarang bercerita, tapi saya tahu Roman adalah awal dari semua ini. Hubungan mereka berakhir ketika Roman mulai kuliah di luar kota. Ivy mencoba mempertahankan hubungan itu, tetapi Roman justru mengkhianatinya. Setelah putus dengan Roman, Ivy mulai menjalin hubungan dengan Yale, tapi itu pun tak bertahan lama. Ivy dan Yale akhirnya memutuskan untuk menjadi sahabat. Tapi saat Ivy bertengkar hebat dengan Yale, entah karena apa, Ivy yang kehilangan arah malah menghubungi Roman lagi. Sayangnya, waktu itu Roman sudah menikah, dan Ivy akhirnya sadar bahwa itu kesalahan besar. Ivy memutuskan untuk mengakhiri semua, tapi Roman tidak bisa menerima.”

Fadli merasakan dadanya semakin berat mendengar cerita itu. Ia tak menyangka bahwa Ivy telah melalui banyak hal hanya karena mencari pelarian dari rasa kesepian yang menghantui hidupnya. “Lalu, apa yang terjadi setelah itu?” tanyanya pelan.

“Roman mulai menyebarkan gosip dan fitnah yang membuat Ivy dicap buruk di sekolah ini,” jawab Mia, tampak prihatin. “Roman bersekongkol dengan mantan sahabat Ivy, seorang model bernama Raya. Mereka berdua menyebarkan cerita yang tidak benar, bahkan membuat beberapa rekan kerja menjauhi Ivy. Kehidupan Ivy sejak awal memang berat, Pak Fadli. Banyak yang menganggap dia masuk ke sekolah ini lewat ‘orang dalam,’ karena ibunya dulu pernah mengajar di sini sebagai guru PNS. Padahal Ivy bekerja keras untuk mencapai posisinya sekarang. Setelah teror dari Roman, hidup Ivy jadi makin sulit.”

Fadli terhenyak, merasakan dadanya sesak mendengar kenyataan itu. Ia tak pernah menyangka bahwa Ivy telah mengalami cobaan seberat itu. Di matanya, Ivy adalah pribadi yang tenang dan mandiri, tetapi ternyata di balik ketenangannya terdapat luka yang begitu dalam. Dion memang pernah bercerita tentang Roman, tetapi tidak pernah sedetail ini.

“Ivy berhasil bertahan di sini karena dukungan dari sahabatnya, Lila,” lanjut Mia. “Lila adalah aktivis LSM yang membantu Ivy membersihkan namanya. Tapi Ivy masih belum pulih sepenuhnya dari trauma itu. Itulah sebabnya dia sangat menutup diri.”

Fadli menunduk, merasa tertekan oleh kenyataan itu. Selama ini ia melihat Ivy sebagai sosok yang dingin dan tertutup, padahal sebenarnya Ivy hanya berusaha melindungi diri dari rasa sakit yang pernah mengancam harga dirinya. Fadli semakin mengagumi Ivy, tetapi ia juga semakin sadar bahwa untuk mendekati Ivy, ia harus menempuh jalan yang tidak mudah.

“Bu Mia, bagaimana Ivy bisa melewati semua ini?” tanya Fadli dengan suara pelan.

Mia tersenyum tipis, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ivy itu orang yang sangat kuat, Pak Fadli. Tapi itu bukan berarti dia tidak merasa kesepian. Ivy butuh seseorang yang sabar, yang bisa hadir tanpa menuntut lebih darinya. Dia butuh seseorang yang bisa memahami tanpa memaksa.”

Kata-kata Mia menggema dalam benak Fadli, memberinya harapan sekaligus tantangan. Ia tahu sekarang bahwa Ivy adalah seseorang yang pernah terluka berkali-kali, dan dinding yang ia bangun bukanlah sekadar perisai, tetapi sebuah tembok besar untuk menjaga agar lukanya tidak semakin parah. Mendengar kisah Ivy dari Mia membuat Fadli sadar bahwa mungkin selama ini Ivy hanya perlu seseorang yang bisa menerima dirinya dengan apa adanya.

Dalam hati, Fadli merasa semakin bertekad untuk menjadi seseorang yang bisa Ivy percayai. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia bersedia menunggu, bahkan jika itu berarti harus menempuh jalan yang panjang dan penuh kesabaran. Ivy telah mengajarinya satu hal penting: cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang memahami, menerima, dan berada di sisi seseorang tanpa harus memaksa mereka membuka hati.

Malam itu, ketika Fadli pulang, ia merasa lebih tenang namun juga lebih paham tentang perasaan yang bergejolak di hatinya. Perjalanan bersama Ivy mungkin baru saja dimulai, dan Fadli siap menjadi bagian kecil dalam perjalanan Ivy, sekecil apapun peran yang bisa ia ambil.

Bagi Fadli, harapan itu mulai tumbuh, seiring dengan perasaan kagum dan sayangnya yang semakin dalam.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang