Di dalam kamar gelap itu, Ivy terbaring tak berdaya. Tubuhnya terkunci di atas ranjang, tali-tali yang kuat membalut pergelangan tangannya, menancap hingga memar dan lebam menghiasi kulit pucatnya. Udara yang pengap dan berbau apak memenuhi ruangan, seolah membawa hawa kematian yang mencekik. Lampu remang-remang yang menggantung di langit-langit lebih terasa seperti mata-mata yang mengawasi, menambahkan kesan menyeramkan. Kakinya pun tak bisa bergerak, terikat erat di ujung tempat tidur. Mulut Ivy tertutup lakban yang merekat kuat, setiap suaranya, setiap jeritannya, terperangkap dan tak mampu lolos dari mulutnya. Dunia seakan berubah menjadi kegelapan tanpa akhir, dan dalam setiap helaan napasnya yang tersengal-sengal, Ivy merasakan harapan hidupnya perlahan memudar.
Pintu kamar itu selalu menjadi sumber ketakutannya—kapan pun Roman masuk, pintu berderit, menggema seperti lonceng kematian yang menandakan datangnya kengerian berikutnya. Ivy membenci suara langkahnya, irama pelan yang menyeret waktu, membuat setiap detiknya terasa abadi. Ketika Roman memasuki kamar dengan senyum penuh obsesi, Ivy merasakan darahnya membeku. Di tangan Roman, jarum suntik kecil berisi cairan berkilauan—vitamin, katanya. Satu-satunya yang ia berikan pada Ivy untuk bertahan hidup, namun dengan setiap tusukan jarum itu, terasa seperti racun yang merampas sisa-sisa kekuatannya.
“Kau harus tetap hidup, Ivy,” katanya dengan suara dingin yang datar, tanpa perasaan. “Kita belum selesai.” Roman mendekat, jarum itu menusuk lengan Ivy dengan kasar, tak peduli pada rasa sakit yang dirasakan tubuhnya yang lemah. Ivy menggeliat, mencoba menghindar, tapi tali yang mengikatnya hanya menambah penderitaan. Cairan dingin mengalir masuk, mengalir melalui nadinya seperti beban yang tak tertahankan, setiap tetesnya mencuri kekuatan dan harapan Ivy.
Dengan perlahan, Ivy merasa kesadarannya menghilang, tenggelam dalam lautan kegelapan yang tak terukur. Namun, Roman tak berhenti di situ. Tatapannya berubah menjadi liar dan penuh hasrat, menelusuri tubuh Ivy yang terikat dengan pandangan penuh kepemilikan. Sentuhan tangannya terasa dingin dan menjijikkan di atas kulit Ivy, kasar, tanpa belas kasihan. Ia meraba tubuh Ivy dengan tatapan seolah ia berhak atas segalanya, meraba setiap sudut yang terluka, penuh dengan dominasi yang menakutkan.
Ivy mencoba melawan. Meski tubuhnya lemah, jiwanya menolak tunduk. Matanya menyalakan api terakhir—perlawanan yang tersisa—sebuah harapan kecil yang membuatnya menggerakkan kepala, memalingkan wajah dari Roman. Tapi setiap perlawanan, setiap ketidakpatuhan, hanya menambah amarah Roman. Dalam sekejap, wajah Ivy dihantam tamparan keras, membuat kepala Ivy terlempar ke samping. Rasa sakit menyambar dari pipi ke tengkuk, menggema dalam otaknya, membuat pandangannya kabur oleh air mata. Dunia terasa berputar, dan di sudut hatinya, Ivy merasakan gelap yang semakin pekat, semakin mendekat.
"Berani-beraninya kau melawan aku!" Roman berteriak dengan penuh kebencian, amarah menggelegak dalam suaranya yang mengguncang ruangan. Ivy terengah-engah, berusaha menarik napas di tengah sakit yang mendera. Tangannya gemetar, tubuhnya kejang tak berdaya. Perlawanan itu terasa sia-sia, tapi Ivy tidak bisa berhenti. Jika ia menyerah, maka semuanya akan berakhir.
Namun, tiba-tiba, suara keras menggetarkan ruangan, mengusir kegelapan yang hampir menelan Ivy. Pintu kamar Roman didobrak dengan kekuatan yang membuat dinding bergetar. Ivy berusaha fokus, meski kesadarannya mulai pudar. Di antara kabut air mata, dia melihat bayangan yang familiar—Yale. Dengan cepat, tubuhnya dipenuhi oleh harapan yang nyaris hilang.
Yale muncul dengan wajah penuh kemarahan yang membara. Mata yang biasa lembut kini berubah menjadi bara api yang siap membakar siapa pun yang menyakiti Ivy. Tanpa ragu, Yale berlari mendekati Roman. Tangan Yale terkepal, tinjunya menghantam wajah Roman dengan brutal, menghancurkan wajahnya dalam dentuman keras. Ivy mendengar suara tulang retak, disertai teriakan Roman yang penuh rasa sakit. Setiap pukulan yang Yale layangkan terasa seperti pembalasan atas setiap luka yang Ivy rasakan, atas setiap penderitaan yang Roman timpakan.
Sementara Yale mengamuk dan bertarung dengan Roman, Ivy merasa tubuhnya semakin lemah, dan seiring pertarungan itu berlanjut, ia merasa hampir menyerah pada kegelapan yang mengancam untuk menelannya. Namun, sosok lain masuk ke dalam ruangan—Fadli. Wajahnya terlihat tegang, penuh ketakutan dan kecemasan. Ivy hampir tidak percaya apa yang dilihatnya. “Ivy! Aku di sini!” seru Fadli, suaranya penuh dengan kepedihan dan kasih sayang yang membuat Ivy ingin menangis lagi, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena rasa lega yang mendalam.
Fadli berlutut di samping tempat tidur, tangannya yang lembut dan hangat segera meraih tali-tali yang mengikat Ivy. Jari-jarinya bergerak cepat namun hati-hati, takut membuat Ivy semakin terluka. Setiap simpul yang ia lepaskan, setiap gesekan tali yang mengendur, memberi Ivy kebebasan kecil yang membuat tubuhnya terasa lebih ringan. Ivy merasa tangan Fadli yang hangat menyentuh kulitnya, sentuhan yang berbeda dari sentuhan Roman—sentuhan penuh cinta, penuh keinginan untuk melindungi. Setiap kali Fadli menarik simpul atau mengusap lembut bekas lebam di pergelangan Ivy, dia berbisik, "Kau aman sekarang... aku di sini."
Saat lakban terakhir terlepas dari mulut Ivy, dia menarik napas panjang yang dalam, merasakan udara segar mengalir ke paru-parunya yang sesak. Rasa dingin dari lakban yang kasar digantikan oleh kehangatan pelukan Fadli. Ivy merasa dirinya tenggelam dalam pelukan itu, pelukan yang membuatnya merasa aman, seolah tidak ada lagi kegelapan yang bisa menjangkau dirinya. Fadli memeluknya erat, seperti tidak ingin pernah melepaskannya lagi. “Kau aman sekarang, Ivy... Aku di sini. Kau aman.” Suaranya pecah oleh tangis yang ia tahan selama ini, dan Ivy merasa kelegaan yang begitu besar. Semua rasa sakit, semua ketakutan, perlahan menghilang di tengah pelukan Fadli.
Air mata Ivy mengalir deras, bercampur antara rasa sakit yang telah ia alami dan rasa lega yang begitu dalam. Di pelukan Fadli, ia menemukan kembali secercah harapan yang sempat hilang. Dia merasa kembali utuh, seolah pelukan itu telah mengembalikan semua bagian dirinya yang sempat hancur. Dunia yang penuh teror dan kegelapan mulai terasa seperti bayangan yang memudar, menjauh dan akhirnya lenyap.
Di belakang mereka, Ivy mendengar suara dentuman pukulan dari Yale yang terus menyerang Roman tanpa henti, memukul dengan kekuatan yang melepaskan setiap amarah yang tersimpan. Suara Roman yang merintih perlahan menghilang, tenggelam dalam suara deru napas Ivy yang akhirnya bisa bernapas lega. Kegelapan yang dulu mengancam seperti lubang tanpa dasar, kini tak lagi bisa menjangkau Ivy.
Dan saat Ivy jatuh ke dalam pelukan Fadli, dia tahu bahwa semua mimpi buruk ini telah berakhir. Di sana, dalam dekapan yang penuh kehangatan dan cinta, Ivy menemukan kembali kekuatannya, menemukan kembali jiwanya yang pernah tenggelam. Sementara bayangan mimpi buruk menjauh, Ivy tahu dia akhirnya bebas—bebas dari kegelapan, dari ketakutan, dan dari cengkeraman Roman yang selama ini membelenggunya. Dalam dekapan Fadli, Ivy merasa dunia yang dulu begitu gelap kini berubah menjadi harapan yang nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
Fiksi Umum"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.