**Fadli's POV**
Beberapa hari telah berlalu sejak Ivy terbaring koma di rumah sakit. Ruangan yang dingin dan sunyi itu menjadi saksi bisu dari pergulatan batin Fadli. Duduk di samping ranjang Ivy, dia memandangi wajahnya yang pucat, tubuhnya yang masih penuh bekas luka. Setiap memar, setiap tanda cengkraman, dan bekas suntikan di kulit Ivy seakan meneriakkan ketidakmampuannya untuk melindungi gadis itu dari kengerian yang telah menimpanya. Rasa bersalah dan penyesalan menghantamnya, tak pernah benar-benar menghilang, terus mengingatkan pada kenyataan pahit yang harus mereka hadapi.
Dengan lembut, Fadli menggenggam tangan Ivy yang terasa dingin, dan seakan waktu berbalik. Ia teringat pertama kali bertemu dengan Ivy di sekolah. Ivy yang selalu tenang, selalu tersenyum teduh saat mengajar murid-muridnya. **Tapi kini... semuanya telah berubah.** Sekarang yang tersisa hanyalah sisa-sisa dari keceriaan itu, terkurung dalam tubuh yang hancur dan tertekan. "Seandainya aku bisa lebih cepat...," bisiknya lirih, berharap dapat menukar semua ini dengan apa pun untuk menyelamatkan Ivy dari penderitaan.
Di luar ruangan, Yale sedang berbicara dengan dokter, wajahnya yang biasanya emosional kini terlihat penuh ketegangan dan rasa bersalah. **Kami seharusnya bisa lebih cepat. Kami seharusnya tahu,** pikir Fadli, perasaan bersalah merayap masuk, mengguncang dirinya hingga ke dalam.
Lalu, Ivy tiba-tiba bergerak sedikit. Fadli langsung terperanjat. "Ivy?" bisiknya cemas, dan dalam sekejap, Yale yang tadi di luar berlari masuk ke dalam ruangan. Mereka saling bertatapan, napas mereka tertahan. Harapan menyelinap, meskipun bersama dengan itu datang rasa takut akan apa yang akan mereka hadapi. Yale segera keluar lagi untuk memanggil dokter, sementara Fadli tetap berada di samping Ivy, menggenggam tangannya yang lemah.
Saat mata Ivy perlahan terbuka, perasaan lega dan harapan menjalar di hati Fadli. Namun, saat tatapan mereka bertemu, dia melihat sesuatu yang menghancurkan hatinya—ketakutan, kegelapan, dan kebencian. Mata Ivy yang dulu selalu penuh kehidupan kini terlihat kosong dan penuh luka. Di sana, dalam tatapan Ivy, Fadli bisa melihat rasa sakit dan pengkhianatan.
"Kenapa kamu terlambat?" Meski kata-kata itu tak pernah terucap dari bibir Ivy, Fadli bisa merasakannya menancap ke dalam hatinya. **Ini salahku,** gumam batinnya, saat rasa bersalah menghantamnya lebih keras daripada sebelumnya. Ingin sekali dia berbicara, menjelaskan, meminta maaf, tetapi semua kata-kata tersangkut di tenggorokannya, seakan-akan tak layak untuk keluar.
Tanpa peringatan, Ivy mulai gemetar hebat. Tubuhnya mengejang, matanya melebar dalam ketakutan yang luar biasa. "Roman! Roman!" teriaknya tiba-tiba, suaranya penuh dengan kepanikan yang membuat darah Fadli seolah membeku. Ivy mulai meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari sesuatu yang hanya bisa dia lihat di dalam pikirannya. Teriakannya menggema, membuat ruangan itu terasa semakin mencekam.
"Ivy, tolong... tenang! Aku di sini. Aku akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi," ujar Fadli, suaranya parau dan penuh harap. Dia mendekat, ingin meraih Ivy dan meyakinkannya bahwa semuanya sudah aman. Namun, Ivy semakin histeris, tenggelam dalam ketakutannya yang tak terjangkau. Perawat masuk dengan cepat, membawa suntikan penenang untuk menenangkan Ivy, tapi Fadli merasa dirinya semakin tak berdaya. **Aku seharusnya bisa melindunginya...**
Tak lama, Haris dan Indira, orang tua Ivy, serta Eryk masuk dengan wajah dipenuhi kecemasan dan kepanikan. Ivy, yang tadinya terus berteriak, tiba-tiba menoleh dan melihat mereka. Melihat keluarganya, tubuh Ivy sedikit mereda dari histerisnya, meskipun sorot ketakutan masih melekat kuat di matanya. Eryk, adiknya yang pendiam, mendekat dengan raut wajah yang tegang namun penuh kasih sayang. "Kak, aku di sini. Kamu aman sekarang. Semua sudah berakhir," bisiknya lembut.
Mendengar suara adiknya, Ivy langsung memeluknya erat. Tubuhnya gemetar dalam pelukan Eryk, seolah mencari perlindungan dari kengerian yang tak mau pergi. Eryk memeluknya dengan erat, seolah mentransfer seluruh kekuatan dan keberanian yang dia miliki untuk menenangkan kakaknya. Fadli hanya bisa menyaksikan pemandangan itu, hatinya hancur. Di satu sisi, dia merasa lega karena Ivy menemukan sedikit ketenangan dalam pelukan keluarganya. Tapi di sisi lain, rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya. **Seharusnya aku yang melindunginya...**
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
Ficção Geral"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.