Luka di Balik Senyum

8 0 0
                                    

Fadli Dirgantara memandang ke luar jendela mobilnya dengan perasaan campur aduk. Setelah bertahun-tahun terjebak dalam kota yang menyimpan banyak kenangan pahit, akhirnya ia memutuskan untuk pindah. Kali ini, ke sebuah kota kecil yang relatif tenang. Tiga alasan kuat membawanya ke sini: pertama, tawaran pekerjaan dari Dion, teman masa kecilnya yang kini menjadi guru Seni Budaya di SMP Cemerlang; kedua, keinginan untuk melarikan diri dari masa lalunya yang suram, terutama trauma menyakitkan ketika ia menyaksikan ibunya meregang nyawa di depan matanya, dibunuh oleh ayahnya sendiri; dan ketiga, karena Fadli sudah terlalu lelah menjadi bahan gosip dan fitnah di sekolah lamanya.

"Ini rumahnya," kata Dion, memecah lamunan Fadli. Mereka telah melakukan beberapa kali survei untuk menemukan rumah yang sesuai dengan keinginan Fadli, dan akhirnya memilih rumah kecil di pinggir kota.

Rumah itu sederhana, tetapi cukup nyaman. Setiap sudutnya seperti memanggil Fadli untuk memulai hidup baru. Setelah membayangkan semua luka yang ingin ia tinggalkan, ia merasa ada sedikit kedamaian yang mungkin bisa ia temukan di sini.

Fadli masih ingat bagaimana Dion selalu ada di sisinya sejak kecil, bahkan tahu semua luka yang ia simpan rapat-rapat dari dunia. Hanya Dion yang tahu bagaimana ibunya selalu diperlakukan kasar oleh ayahnya, dan hanya Dion yang tahu alasan Fadli sulit membangun hubungan yang sehat dengan wanita. Meskipun pernah berpacaran beberapa kali, hubungan-hubungan itu selalu berakhir karena, menurut para mantan pacarnya, Fadli terlalu "datar." Fadli merasa dirinya sulit benar-benar membuka hati, terutama setelah peristiwa tragis yang menimpa ibunya.

Hari pertama Fadli mengajar di SMP Cemerlang, ia merasa asing sekaligus lega. Tempat ini berbeda. Tidak ada wajah yang ia kenal selain Dion, dan tidak ada bayangan masa lalu yang menyusulnya di setiap sudut. Ia mencoba beradaptasi dengan suasana sekolah yang, meskipun sederhana, penuh dengan kesan akrab.

Saat masuk ke ruang guru, Fadli memperkenalkan diri dengan singkat. Namun, tak lama setelah ia menempati meja kosong di sebelah seorang guru perempuan, ia bisa mendengar bisikan-bisikan antusias dari beberapa guru wanita lainnya.

“Dia tampan, ya? Lihat lengan berototnya,” bisik salah seorang.

"Baru pindah, tapi auranya berbeda. Serius banget kesannya," sahut yang lain.

Fadli hanya tersenyum tipis mendengar pujian tak langsung itu. Ia sudah terbiasa dengan perhatian seperti ini, tetapi ia tidak pernah menanggapi berlebihan. Bagi Fadli, ada hal yang lebih penting daripada sekadar menarik perhatian.

Di sebelahnya, seorang wanita muda tampak sibuk mengoreksi kertas-kertas ujian, tanpa menoleh sedikit pun padanya. Wanita itu adalah Ivy Maharani Haris, guru IPS yang tampaknya lebih suka menyendiri dan tenggelam dalam pekerjaannya. Ivy tidak seperti rekan-rekan wanita lain yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan; ia justru seolah membangun tembok yang tinggi, menutup diri rapat-rapat dari interaksi.

Fadli mencoba menyapanya, meskipun tidak berharap banyak. "Hai, Bu Ivy, kan? Saya Fadli, guru baru di sini," sapa Fadli dengan nada ramah. Ivy mendongak sejenak, lalu mengangguk singkat.

"Iya, saya Ivy," jawabnya sambil kembali menundukkan pandangan ke lembaran-lembaran kertas di meja.

Fadli memperhatikan ekspresi Ivy yang dingin dan canggung. Namun, di balik ketenangan Ivy, ada sorot mata yang membuat Fadli merasa aneh. Sorot mata itu sangat mirip dengan mata ibunya dulu—penuh ketakutan yang tersembunyi, ketakutan yang sama yang dilihatnya saat sang ibu meregang nyawa. Sesuatu di mata Ivy membuat Fadli ingin tahu lebih jauh.

"Hmm, Anda mengajar apa, Bu Ivy?" Fadli mencoba memulai obrolan kecil lagi, berharap bisa mencairkan suasana.

"IPS," jawab Ivy singkat, tetap tidak menatapnya langsung.

Percakapan mereka berhenti di situ, dan Fadli memilih untuk tidak memaksakan diri. Ia hanya tersenyum sambil kembali ke pekerjaannya. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan ketertarikan yang aneh pada sosok Ivy, bukan karena kasihan, melainkan ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Ivy lebih jauh.

Hari-hari berikutnya, Fadli sering mendengar cerita dari Dion tentang Ivy. Menurut Dion, Ivy adalah sosok yang pendiam dan penuh luka. Bahkan, sejak pertama kali Ivy mengajar di SMP Cemerlang, gosip-gosip tak sedap sering menyertainya, dan kebanyakan berasal dari mantan kekasihnya, Roman, serta mantan sahabatnya, Raya. Hal ini membuat Fadli merasa simpati, meski ia belum tahu cerita lengkapnya.

"Aku kasihan sama Ivy, Li," kata Dion suatu kali ketika mereka duduk di kantin bersama. "Dia sebenarnya baik, tapi banyak yang salah paham karena gosip-gosip itu."

Fadli hanya mengangguk, mendengarkan dengan saksama. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa Ivy tidak membutuhkan rasa kasihan. Ada kekuatan dalam diri Ivy yang membuatnya tetap berdiri meski telah melalui banyak hal buruk.

Malam itu, di rumah kecilnya, Fadli teringat kembali semua kejadian yang mendorongnya pindah ke kota ini. Pikirannya melayang pada kenangan pahit masa kecil—masa di mana ia kerap menyaksikan ibunya diperlakukan kasar oleh ayahnya. Rasa sakit itu masih terasa begitu nyata, seolah baru kemarin terjadi. Peristiwa itu telah membentuk Fadli menjadi pribadi yang sulit percaya dan enggan terbuka pada orang lain, terutama wanita.

Fadli merasakan luka yang sama setiap kali ia mengingat mantan-mantannya yang pergi begitu saja, menganggapnya terlalu "datar" dan kurang menunjukkan perasaan. Ia menyadari bahwa traumanya membuatnya menahan diri dari membangun hubungan yang lebih dalam. Ia takut melukai atau dilukai, takut terjebak dalam lingkaran yang sama yang pernah menghancurkan keluarganya.

Saat itulah ia teringat tatapan Ivy. Di matanya, ia melihat pantulan luka yang mungkin sama dalamnya dengan luka yang ia rasakan. Fadli tidak yakin apa yang mendorongnya untuk mendekat, tetapi ia tahu, ada alasan kuat mengapa hatinya merasa tertarik pada Ivy.

Keesokan harinya, Fadli kembali ke sekolah dengan semangat baru. Selama jam istirahat, ia memperhatikan Ivy yang duduk di sudut ruangan, tampak sibuk dengan pekerjaannya. Para rekan guru yang lain masih berusaha mengajaknya bicara, namun Ivy tetap tenang dan tampak berusaha menghindari interaksi.

Fadli merasa ada kesamaan antara dirinya dan Ivy. Sama-sama menutup diri, sama-sama penuh luka yang sulit disembuhkan. Meskipun baru saja pindah ke sekolah ini, Fadli merasa seolah telah mengenal Ivy sejak lama.

"Hai, Bu Ivy," sapa Fadli ketika akhirnya mereka bertemu di lorong sepulang kerja.

Ivy terkejut, namun segera menguasai diri. "Oh, hai, Pak Fadli," jawabnya singkat.

"Rumah saya tak jauh dari sini. Kalau Anda butuh bantuan apa-apa, saya siap membantu," tawar Fadli dengan senyum kecil.

Ivy mengangguk sopan. "Terima kasih, tapi saya baik-baik saja."

Fadli mengerti. Ia paham benar sikap Ivy, karena dirinya juga pernah, bahkan masih, merasakan perasaan yang sama—keengganan membuka diri. Namun, jauh di dalam hatinya, Fadli berharap, mungkin saja suatu hari ia bisa membantu Ivy, meski hanya sedikit, untuk meredakan rasa sakit yang tampak jelas di matanya.

Ketika malam tiba, Fadli kembali ke rumah dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ivy telah membuka kenangan tentang ibunya, sekaligus membuat Fadli merasa bahwa luka yang ia rasakan tidak hanya miliknya seorang. Di sekolah, ia merasa ada semacam koneksi tak terlihat antara dirinya dan Ivy—koneksi yang terbentuk bukan karena kasih sayang, melainkan karena luka yang sama.

Selama beberapa minggu berikutnya, Fadli memilih untuk tetap berjarak dengan Ivy. Ia hanya menyapanya sesekali, tanpa mengharapkan balasan panjang. Sementara itu, Ivy pun tampak tidak merasa terganggu, dan Fadli bisa merasakan bahwa Ivy sebenarnya lebih nyaman dengan kehadiran yang tenang seperti ini.

Namun, di dalam dirinya, Fadli merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk tetap peduli. Mungkin, suatu hari nanti, ia bisa menemukan cara untuk berbagi luka tanpa harus merasa terpuruk. Bagi Fadli, Ivy bukan sekadar guru yang pendiam di sekolah, tetapi seseorang yang diam-diam mengingatkannya bahwa ia masih manusia, dengan semua rasa sakit dan luka yang mungkin tak akan hilang, tetapi mungkin bisa sembuh sedikit demi sedikit.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang