Fadli tak bisa memejamkan mata malam itu. Semua cerita yang baru ia dengar tentang Ivy terus bermain di benaknya, seolah menciptakan rangkaian gambaran yang menyakitkan. Dia berbaring di tempat tidur, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, tapi pikirannya tak berhenti memutar kembali cerita-cerita yang dikisahkan oleh Yale tadi siang.
Yale adalah satu nama yang membuat rasa ingin tahu Fadli semakin besar. Dia tahu bahwa pria itu adalah sosok penting di masa lalu Ivy, seseorang yang meninggalkan jejak luka yang masih membayangi hidup Ivy hingga kini. Meski rasa cemburu menyelinap setiap kali nama Yale muncul di pikirannya, Fadli tak bisa memungkiri bahwa ada banyak hal yang ingin ia ketahui dari pria itu.
Dengan tekad bulat, Fadli membuka akun media sosial Yale lagi. Perasaannya bercampur aduk saat ia mengirim permintaan pertemanan beberapa hari yang lalu dan menyusuri foto-foto di akun Yale setelah permintaan itu diterima. Setiap gambar seolah menjadi potongan cerita yang membentuk masa lalu Ivy. Salah satu foto dari tahun 2013 menarik perhatiannya. Di foto itu, Ivy dan Yale terlihat berfoto di photobox, mengenakan aksesoris lucu. Ivy tampak tersenyum hangat, sedangkan Yale merangkulnya dengan cengiran lebar yang khas. Di bawah foto itu hanya ada satu emotikon hati. Entah mengapa, Fadli merasa ada sesuatu yang menekan di dadanya saat melihat gambar itu.
Ia terus menggulir layar, menemukan foto-foto lain yang menunjukkan kedekatan mereka. Ada foto dari tahun 2015, ketika Yale dan Ivy tampak saling merangkul dan tertawa. Keterangan di foto itu berbunyi, "My Best Friend," seolah menandakan bahwa hubungan mereka telah bergeser dari cinta menjadi persahabatan yang kuat. Di balik senyum mereka, Fadli bisa merasakan kedalaman yang lebih dari sekadar persahabatan, seakan ada cerita tersembunyi di balik senyum dan tawa mereka.
Di antara foto-foto itu, Fadli melihat sebuah foto dari Januari 2024 yang memperlihatkan Yale bersama istri dan adik perempuannya, Danica Anderson. Di foto itu ada Ivy juga, tampak berdiri di tengah-tengah keluarga Yale. Foto itu diambil pada momen lamaran pernikahan, menunjukkan bahwa Yale telah melanjutkan hidupnya dan Ivy pun hadir dalam kebahagiaannya.
Malam itu, Fadli memutuskan untuk mengirim pesan langsung kepada Yale. Setelah memperkenalkan diri sebagai rekan kerja Ivy, Fadli dengan hati-hati menyampaikan keinginannya untuk mengenal Ivy lebih dalam dan meminta izin untuk berbicara dengan Yale secara pribadi. Tak disangka, Yale membalas dengan cepat, ramah, dan terbuka. Setelah beberapa pertukaran pesan singkat, Fadli mengusulkan pertemuan di sebuah kafe sepulang kerja, dan Yale pun setuju.
---
Di kafe yang tenang, Fadli duduk menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. Ketika Yale datang, mereka berjabat tangan, dan Fadli langsung merasakan keramahan yang terpancar dari pria itu. Dion memang benar; Yale adalah sosok yang mudah disukai, dengan senyum hangat meskipun di wajahnya tampak jejak kelelahan. Wajahnya tampan dengan rambut hitam ikal yang sedikit acak, mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jaket denim abu-abu. Sebuah kamera tergantung di lehernya, memberi kesan artistik yang membuatnya tampak seperti sosok penuh ekspresi.
"Fadli," kata Fadli memperkenalkan diri, sambil menjabat tangan Yale.
"Yale," jawab Yale, tersenyum ramah. Setelah beberapa percakapan ringan, Fadli akhirnya merasa cukup nyaman untuk membawa pembicaraan ke arah yang lebih serius. Ia menyusun keberaniannya, lalu bertanya dengan suara yang sedikit gemetar, "Yale, gue dengar lo dan Ivy pernah... lebih dari sekadar sahabat?"
Yale terdiam sejenak. Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi penuh penyesalan. "Iya," jawabnya singkat, lalu menghela napas panjang. "Kami pernah berpacaran. Tapi itu sudah lama sekali, dan... banyak hal yang terjadi sejak saat itu."
Fadli menatapnya penuh perhatian, berharap Yale bisa membantunya memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Kalau boleh tahu... kenapa kalian berpisah?" tanyanya pelan.
Yale menatap ke meja di depannya, seolah-olah sedang melihat kembali masa lalu yang suram. "Gue terlalu naif waktu itu," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Ada banyak perempuan lain di hidup gue selain Ivy, dan gue... gue terlalu dekat dengan seorang gadis bernama Iris. Hubungan gue sama Iris memang nggak jelas, tapi ada semacam ikatan khusus di antara kami. Ivy tahu, dan dia kecewa. Sangat kecewa. Dia yang akhirnya memutuskan hubungan kami. Meskipun kami berusaha tetap bersahabat, gue tahu... hatinya sudah terluka."
Fadli mendengarkan dengan perasaan terenyuh. Kini, ia mulai memahami mengapa Ivy begitu sulit membuka hatinya. "Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Yale tampak tenggelam dalam pikirannya, dan ketika ia kembali menatap Fadli, ada kesedihan yang dalam di matanya. "Setelah itu, gue dekat dengan seorang perempuan bernama Selena. Ivy sempat memperingatkan gue untuk hati-hati karena dia merasa ada sesuatu yang nggak beres dengan Selena, tapi gue nggak mendengarkannya. Gue malah berpikir Ivy cemburu dan egois. Kami sering bertengkar karena hal itu, sampai suatu malam... semuanya meledak."
Yale berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar ketika melanjutkan. "Gue kehilangan kendali malam itu. Dalam amarah gue, gue tanpa sengaja mendorong Ivy hingga terjatuh. Dan ketika gue lihat air matanya, gue tahu... gue telah menghancurkan segalanya. Ivy pergi malam itu, dan sejak itu gue sadar... gue telah kehilangan sahabat terbaik gue, orang yang paling gue sayangi. Ketika akhirnya semua perkataan Ivy terbukti benar tentang Selena, rasa penyesalan itu menghantui gue."
Fadli merasakan emosi yang bergejolak di dadanya, merasa sakit dan marah sekaligus. Ia tidak pernah menduga bahwa Ivy harus mengalami hal seberat ini dari orang yang ia cintai. "Lo pernah minta maaf padanya?" tanya Fadli, suara tergetar.
Yale mengangguk, meski tampak berat untuk mengingat masa itu. "Bertahun-tahun kemudian, ketika kami bertemu secara nggak sengaja, gue memberanikan diri untuk meminta maaf. Ivy sempat menolak, bahkan dari gestur badannya gue tahu dia ketakutan setiap kali melihat gue. Tapi perlahan, dia mulai membuka hatinya lagi untuk gue... bukan sebagai kekasih, tapi sebagai sahabat. Gue bersyukur banget karena dia memberi kesempatan untuk menebus kesalahan gue, walaupun gue tahu sampai saat ini, hatinya masih terluka."
Fadli menunduk, hatinya terasa berat mendengar cerita ini. Ia kini mengerti betapa dalam luka yang Ivy bawa, betapa sulitnya bagi Ivy untuk mempercayai laki-laki lagi setelah semua yang ia alami.
"Yale, gue benar-benar berterima kasih lo berbagi cerita ini," ucap Fadli tulus, merasa beruntung bisa mendengar sisi ini dari seseorang yang sangat berarti bagi Ivy.
Yale menatap Fadli dengan pandangan penuh harapan. "Gue senang kalau ada orang yang bisa ada di sampingnya sekarang. Ivy terlalu lama berjuang sendiri. Dia memang kuat, tapi gue bisa lihat bahwa luka itu belum sepenuhnya sembuh."
Fadli mengangguk, merasa tekadnya semakin kuat. Di balik semua sikap dingin dan ketenangan Ivy, ada perempuan yang sangat membutuhkan kehadiran seseorang yang tak hanya sabar, tetapi juga tulus.
---
Malam itu, Fadli duduk di kamar dengan pikiran yang penuh. Apa yang Yale ceritakan begitu membekas di benaknya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan betapa dalam luka yang Ivy bawa, dan betapa kuatnya Ivy menghadapi semua itu sendirian. Sejak percakapan dengan Yale, Fadli semakin sadar bahwa Ivy adalah sosok yang tak hanya membutuhkan waktu untuk pulih, tetapi juga kehadiran seseorang yang bisa ia percaya tanpa harus merasa tertekan atau dituntut.
Kini, Fadli tahu bahwa perjalanannya mendekati Ivy akan panjang dan penuh rintangan. Namun, ia merasa siap. Dengan tekad yang semakin bulat, Fadli berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi seseorang yang bisa Ivy andalkan. Meski ia tahu tidak akan mudah, ia yakin bahwa suatu hari, Ivy akan menyadari ketulusannya.
Di kamarnya yang gelap, Fadli menatap langit-langit, dan sebuah harapan kecil menyelinap dalam hatinya. Harapan bahwa suatu hari, Ivy akan membuka hatinya dan membiarkannya masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
Ficțiune generală"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.