Di Ambang Kehancuran dan Harapan yang Retak

17 0 0
                                    

**Fadli's POV**

Terik matahari siang terasa seperti bara api di kulit Fadli saat dia menginjak pedal gas, membuat mobilnya melesat di atas aspal yang memantulkan panas. Namun, bukan terik yang membuat keringat mengalir deras di pelipisnya; itu adalah kecemasan yang menyelimuti seluruh pikirannya. Informasi dari Jovanna, istri Yale, terus terngiang di kepalanya: Ivy kemungkinan besar ada di rumah Roman. Kemungkinan itu seperti racun yang menyusup ke dalam benaknya, menghidupkan setiap saraf dengan bara ketakutan dan ketegangan. Setiap detak jantung terasa seperti bom waktu yang berdenyut lebih cepat, mengancam untuk meledak jika dia tidak menemukan Ivy dengan segera.

Mobilnya akhirnya berhenti di depan rumah Roman, tempat yang sekarang akan ia kenang sebagai lambang kegelapan dan kekejaman. Rumah itu dikelilingi oleh lapangan kosong yang semakin membuat suasana terasa sunyi dan terisolasi. Tidak ada rumah warga lain yang terlihat di sekitar, hanya kesunyian yang menekan dan menambah rasa cemas yang sudah begitu berat.

Yale telah tiba lebih dulu; mobilnya terparkir sembarangan di depan rumah Roman. Saat Fadli keluar dari mobil, ia melihat Yale keluar juga dengan ekspresi yang dipenuhi amarah—wajah yang tampak lebih kacau dari biasanya. Rambutnya acak-acakan, matanya merah dan sembap seolah tidak tidur semalaman, seperti dirinya. Tanpa kata-kata, Yale menatapnya dengan sorot mata penuh tekad dan dendam. Fadli tidak perlu bertanya lebih jauh; mereka berdua tahu, ini bukan saatnya untuk bicara. Ini saatnya untuk bertindak.

"Ayo, masuk!" Yale berkata dengan suara yang nyaris bergetar oleh emosi, nadanya menuntut. Tanpa membuang waktu, mereka berdua melangkah menuju rumah Roman. Anehnya, pintu depan tidak terkunci. Fadli merasa ada sesuatu yang salah—seolah-olah rumah itu sengaja menyambut mereka masuk ke dalam kegelapan yang lebih besar. Meskipun keraguannya melintas cepat, Fadli tahu tidak ada waktu untuk berpikir panjang.

Mereka masuk ke dalam rumah itu, disambut oleh keheningan yang begitu menakutkan. Di dalamnya terasa dingin dan suram, dengan cahaya yang sangat minim. Setiap langkah kaki mereka bergema di lantai, memberikan sensasi seakan rumah itu hidup, dan menonton setiap gerakan mereka. Setiap langkah yang diambil Fadli semakin berat, seperti ada beban tak terlihat yang mendorongnya ke bawah, membuat napasnya terasa sesak dan menyulitkan. Tapi keteguhan hati untuk menemukan Ivy membuatnya terus melangkah.

Ketika mereka mencapai pintu terakhir—pintu yang Fadli yakini menjadi tempat Ivy terkurung—napasnya terhenti, dadanya terasa sesak dan pikirannya penuh dengan kecemasan yang tak bisa ia kendalikan.

"Fadli, minggir! Aku yang akan mendobrak pintu!" teriak Yale dengan suara penuh kemarahan dan kegelisahan. Meskipun Fadli ingin menawarkan untuk mendobrak bersama, dia tahu betapa marah dan putus asa Yale saat itu. Melihat Yale yang penuh dendam, Fadli mengalah dan memberi ruang.

Dengan kekuatan yang meledak dari amarahnya, Yale mendobrak pintu dengan satu tendangan keras. Pintu itu terayun terbuka, menampilkan pemandangan yang seketika menghancurkan hati Fadli. Di depan mereka, di dalam kamar yang gelap, tergeletak Ivy di atas ranjang, tubuhnya terikat erat dengan tali kasar yang menggores kulitnya. Bekas memar menghiasi wajah dan lengan Ivy, seperti bukti dari penderitaan yang tak bisa dibayangkan. Mulutnya tertutup lakban yang merekat kuat, membuat tangisan dan jeritannya tak bisa didengar oleh siapa pun. Rambut Ivy kusut, wajahnya terlihat lemah dan terluka.

Detik itu juga, amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu dalam dada Fadli, seperti gelombang besar yang siap menghantam dan menghancurkan. Namun, dia tak sempat merasakan seluruh kekuatan emosinya, karena Yale sudah lebih dulu menyerang Roman yang berdiri di sudut ruangan. Yale, yang melihat Ivy pertama kali saat pintu berhasil didobrak, melampiaskan seluruh amarahnya pada Roman tanpa ragu-ragu. Setiap pukulan yang dilayangkannya penuh dengan kebencian, seperti mencoba menghancurkan seluruh luka yang telah Roman ciptakan.

Tapi Fadli tidak peduli dengan pertarungan itu. Hanya ada satu fokus dalam pikirannya—Ivy. "Ivy! Aku di sini!" teriaknya dengan suara yang penuh kepedihan dan kegelisahan. Dia berlari menuju ranjang, lututnya hampir lemas saat melihat kondisi wanita yang sangat ia cintai.

Fadli berlutut di samping ranjang, jari-jarinya gemetar saat mencoba melepaskan tali-tali yang mengikat Ivy. Setiap simpul yang dia buka dilakukan dengan hati-hati, seolah dia tengah menangani sesuatu yang begitu rapuh, yang bisa pecah kapan saja jika salah bergerak. Berkali-kali dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tetapi tangannya tetap bergetar saat melihat bekas luka dan lebam di tubuh Ivy. Ketakutan dan amarah bergelut dalam dirinya, membuat setiap detik terasa seperti siksaan.

Dengan perlahan, Fadli mulai membuka lakban yang menutupi mulut Ivy. Dia sangat hati-hati, tidak ingin menyakiti Ivy lebih jauh. Rasa lembut dan hangat dari sentuhannya tampaknya sedikit memberikan Ivy ketenangan. Ketika lakban terakhir terlepas, Ivy menarik napas panjang—suara yang terdengar seperti seseorang yang baru saja muncul dari dalam air setelah hampir tenggelam.

“Kau aman sekarang, Ivy... Aku di sini. Kau aman,” bisik Fadli, suaranya pecah oleh tangis yang selama ini ia tahan. Air mata mengalir di pipinya, dipenuhi rasa syukur dan kelegaan yang menghancurkan dirinya dari dalam. Dia berharap Ivy akan bersuara—sedikit saja, mungkin memanggil namanya atau menangis dalam pelukannya. Tapi Ivy tetap diam, hanya air matanya yang mengalir tanpa henti. Tanpa berpikir panjang, Fadli memeluk Ivy erat, mencoba melindungi tubuh rapuh itu dari segala kengerian dunia.

Saat itu, Ivy pingsan di pelukannya. Fadli panik, hatinya terasa seperti tersayat saat ia mengangkat wajah Ivy, mencoba membangunkannya. "Ivy! Ivy!" panggilnya berkali-kali, suaranya mengguncang ruangan itu. Ketakutan melingkupinya, khawatir Ivy akan meninggalkannya selamanya. Tangisnya pecah, rasa takut dan marah tumpah ruah tanpa bisa dikendalikan.

Dengan amarah yang tak lagi bisa ditahan, Fadli dengan lembut membaringkan Ivy kembali di ranjang, memastikan tubuhnya aman dan nyaman. Kemudian, dia berdiri, menatap Roman yang masih terlibat dalam pertarungan brutal dengan Yale. Pandangannya berubah gelap, tatapannya penuh kebencian dan kemarahan yang membara. Tanpa berpikir panjang, Fadli menghampiri Roman dan langsung melayangkan tinjunya dengan sekuat tenaga. Setiap pukulan yang ia layangkan terasa seperti melepaskan seluruh rasa sakit, amarah, dan kesedihan yang telah menumpuk. Roman terkapar di lantai, dipukuli tanpa ampun oleh Fadli. Setiap pukulan adalah balasan untuk setiap luka yang Roman berikan kepada Ivy.

Yale, yang selama ini dikenal emosional, berhenti sejenak, terkejut melihat Fadli yang biasanya tenang berubah menjadi begitu liar dalam amarahnya. Yale menyaksikan sahabatnya itu kehilangan kendali sepenuhnya. Untuk sesaat, waktu terasa melambat di tengah kekacauan yang terjadi.

Namun, suara sirene polisi yang mendekat memecah kesunyian dan ketegangan. Suara itu memaksa Yale untuk bergerak cepat, mencoba menarik Fadli menjauh dari Roman yang sudah tak berdaya. “Fadli, cukup! Kita harus pergi!” teriak Yale dengan suara penuh otoritas. Fadli, dengan napas terengah dan tangan berlumuran darah, masih menatap Roman dengan kebencian yang membara. Tapi kata-kata Yale berhasil menembus kabut amarah yang menyelimuti kesadarannya.

Saat polisi masuk, mereka segera mengamankan Roman yang terkapar tak berdaya di lantai. Salah satu petugas segera berlari ke arah Ivy dan menghubungi ambulans. Fadli, melihat semua itu, rasa cemas kembali melanda dirinya. Ia kembali berlari ke arah Ivy, berlutut di samping ranjang dan memegang tangannya dengan erat. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan: Ivy telah ditemukan, dan ia harus melindunginya, apapun yang terjadi.

Ketika petugas medis tiba, Fadli tetap berada di sisi Ivy. Dia memegang tangan Ivy dengan erat, seolah tidak akan pernah melepaskannya lagi. Wajahnya yang penuh air mata dan kelelahan kini dipenuhi tekad yang kuat.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang