**Roman's POV**
Sejak Ivy mulai diantar jemput oleh Fadli, Yale, atau Eryk, Roman tidak bisa menahan rasa benci dan cemburu yang semakin menguasainya. Setiap kali melihat salah satu dari mereka di sekitar Ivy, dadanya seakan terbakar oleh amarah. Siapa mereka yang tiba-tiba muncul di kehidupan Ivy? Apa mereka pikir bisa menggantikannya, menjadikan Ivy milik mereka? Tidak ada yang berhak atas Ivy, selain dirinya.
Roman sering mengamati dari jauh, mengawasi pergerakan Ivy dan orang-orang di sekitarnya. Dia tahu jadwal mereka. Dia tahu kapan Ivy dijemput, kapan ia pulang sendiri. Selama ini, Roman hanya menunggu, mencari momen yang tepat untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Hari ini, Roman tahu Fadli akan mengantar Ivy pulang. "Tunggu sebentar di ruang guru, ya. Aku harus menyelesaikan pekerjaan di ruang tata usaha dulu," ucapan Fadli yang terdengar oleh Roman, seakan menjadi isyarat yang tepat. Sebuah kesempatan emas. Tanpa ragu, Roman melangkah mendekati ruang guru, setiap langkahnya seakan dipenuhi oleh dendam dan obsesi yang tak pernah pudar.
Ketika dia mencapai pintu ruang guru, Roman berhenti sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan kegelisahannya. Tapi semua usahanya sia-sia. Hanya dengan melihat Ivy duduk di sana, sendirian, segala amarah dan obsesi dalam dirinya kembali membara. "Ivy, ayo kita bicara," ucapnya dingin, suaranya terdengar seperti perintah, bukan permintaan.
Melihat Ivy menoleh dan tatapan penuh ketakutannya itu, Roman merasakan kepuasan yang sakit. Itu artinya, Ivy masih takut padanya, masih memiliki hubungan emosional dengannya. Ketakutan adalah bentuk kepemilikan yang paling mendalam. Roman melangkah cepat dan menangkap pergelangan tangan Ivy dengan kasar. Sentuhan kulit Ivy di tangannya membuat darah Roman mendidih, penuh obsesi.
Ivy meronta, menolak, berteriak memohon, tapi itu semua hanya membangkitkan hasrat Roman untuk memiliki Ivy kembali. "Kamu milikku," pikir Roman sambil menyeret Ivy keluar. Suara Ivy, sekeras apa pun, baginya hanyalah musik pengiring dari permainan ini. Ia menikmati setiap detik ketakutan Ivy, karena itu berarti Ivy masih terikat padanya.
Saat mencapai parkiran, Roman melihat Fadli berlari mengejar mereka. Hatinya bergejolak antara amarah dan kegembiraan. "Lihatlah! Si bodoh itu mencoba menjadi pahlawan," batin Roman sambil mendorong Ivy ke dalam mobil. Pintu tertutup dan terkunci, sementara Fadli yang berlari mengejar hanya bisa melihat mobil yang melaju kencang meninggalkannya.
Di dalam mobil, Ivy berteriak, memohon untuk dilepaskan. Roman menatap jalan di depannya, menikmati suara ketakutan Ivy. "Teruslah berteriak," pikirnya, "tidak ada yang akan mendengarmu." Setiap kali Ivy mencoba membuka pintu atau meronta, Roman merasakan kontrol yang lebih kuat atasnya. Ini bukan sekadar membawa Ivy pergi—ini adalah mengukuhkan kekuasaannya kembali.
Dalam satu gerakan cepat dan tanpa peringatan, Roman mengayunkan tangannya ke leher belakang Ivy. Ia tahu titik yang tepat untuk membuat Ivy pingsan tanpa melukainya terlalu parah. Sentuhan leher Ivy di tangannya memberinya sensasi kendali penuh. Seketika, Ivy terkulai lemas, dan Roman menoleh sekilas, melihat wajah Ivy yang tak sadarkan diri dengan perasaan puas.
Saat Roman akhirnya tiba di apartemennya, dia membawa Ivy ke kamarnya. Kamar yang dulu sering mereka bagi bersama. Kenangan tentang pagi hari saat Ivy membangunkannya, senyum manis yang menyapanya di setiap bangun tidur, semuanya memenuhi pikirannya. Namun kini, kamar itu akan menjadi tempat untuk memastikan Ivy tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Dia mengikat pergelangan tangan dan kaki Ivy dengan tali yang sudah disiapkannya sebelumnya. Setiap simpul tali diikat erat, memastikan Ivy tidak akan bisa kabur. Roman melangkah mundur, menatap tubuh Ivy yang tak berdaya di atas tempat tidur. Perasaan puas menyelimuti dirinya. "Kau adalah milikku," bisik Roman dalam hati. "Dan kau akan tetap menjadi milikku, apa pun yang terjadi."
Ketika Ivy akhirnya terbangun, Roman berdiri di sudut kamar, memandangnya dengan tatapan penuh obsesi. Dia menikmati ekspresi takut dan marah di wajah Ivy saat ia menyadari di mana dia berada dan apa yang terjadi. Perlahan, Roman berjalan mendekati tempat tidur, duduk di tepi, dan mengelus pipi Ivy dengan lembut. Sentuhan itu membuat Ivy meronta, tetapi Roman tidak peduli.
"Aku sudah kehilangan segalanya, Ivy," suaranya datar, penuh kepahitan. "Istriku pergi, membawa anakku. Orangtuaku juga sudah tiada. Semua orang pergi. Tapi kamu..." Roman menghentikan ucapannya, menatap Ivy yang menoleh menjauh dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Kamu masih di sini. Dan kamu akan tetap di sini bersamaku," lanjutnya, tatapan matanya semakin gelap.
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Ivy, mencium bibirnya yang tertutup lakban. Ivy meronta, namun tidak ada yang bisa dia lakukan. Kekuatan Roman terlalu besar, dan keterikatannya pada tempat tidur terlalu erat. Roman menikmati setiap detik perlawanan Ivy, setiap tarikan napas putus asa yang Ivy keluarkan. Itu adalah bukti bahwa Ivy masih bisa dimilikinya.
Setelah puas, Roman berdiri dan melangkah menuju pintu. "Istirahatlah," katanya dengan senyuman puas. "Kita punya banyak waktu bersama."
Dia mematikan lampu dan menutup pintu, membiarkan Ivy terkurung dalam gelap. Hatinya terasa tenang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ivy ada di sini, terikat, tak berdaya, dan itu membuat Roman merasa hidup kembali. Tidak ada lagi Fadli, Yale, atau Eryk yang bisa mengganggu mereka. Ini adalah dunianya dan Ivy. Hanya mereka berdua.
Roman berdiri sejenak di luar pintu, mendengarkan suara ronta dan isak Ivy yang terbungkam. Senyumnya merekah lebih lebar. "Kau milikku, Ivy," bisiknya penuh obsesi. "Dan tak ada seorang pun yang akan bisa mengambilmu dariku."
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.