**Judul: "Rangkaian Cinta yang Tak Berakhir"**
Sudah lima tahun pernikahan mereka berjalan, dan dalam setiap detiknya, Fadli menemukan begitu banyak sisi dari Ivy yang selalu membuatnya jatuh cinta. Selama lima tahun itu pula, Ivy dengan kelembutannya mengajarkan Fadli cara menghadapi segala rasa marah dan frustasi dalam hidup pernikahan mereka. Fadli, yang dikenal keras kepala, sering memilih mendiamkan Ivy ketika emosi berkecamuk. Tapi Ivy, bukannya melawan atau berteriak, justru memilih bersikap tenang. Dia selalu dewasa, sabar, dan menenangkan.
Fadli masih ingat betul, di awal pernikahan mereka, Ivy pernah berkata lembut, "Walau kita sedang marahan, jangan sampai kita pisah kamar." Pernyataan yang sederhana, namun sangat bermakna baginya. Dan memang, meskipun terjadi pertengkaran hebat sekalipun, Ivy tidak pernah pergi atau meninggalkan Fadli sendirian. Mereka hanya akan saling mendiamkan, menenangkan diri masing-masing di dalam kamar yang sama, tetap berbagi selimut yang sama.
Pernah suatu malam, mereka bertengkar karena hal kecil yang tiba-tiba menjadi besar. Fadli tidur membelakangi Ivy, suasana kamar terasa sunyi dan penuh ketegangan. Meski saling diam, Fadli bisa merasakan Ivy mengusap pundaknya dengan lembut. Ivy tidak bicara sepatah kata pun, namun sentuhan halus itu seolah menyalurkan seluruh rasa cinta dan kehangatan yang dirasakannya untuk Fadli.
Saat bertengkar, Ivy tidak pernah melupakan tugasnya sebagai istri. Ia tetap memasak bekal untuk Fadli, tetap menyetrika bajunya setiap pagi, dan tetap menyiapkan segala kebutuhan suaminya, meskipun amarah masih terselip di antara mereka. Fadli tahu, sikap Ivy adalah ungkapan cinta yang tak terkatakan, dan hal itu selalu membuat Fadli merasa tenang, bahkan dalam keheningan sekalipun.
Di hari lain, ketika pertengkaran mereka belum juga reda, Fadli mendadak sakit perut saat berada di sekolah. Ivy yang sedang dalam diamnya, diam-diam melihat Fadli tertidur di UKS dengan wajah pucat menahan sakit. Tanpa sepatah kata, Ivy datang, membuka baju bagian perut Fadli dengan perlahan, dan mengoleskan minyak kayu putih dengan penuh kasih sayang. Fadli, yang masih memejamkan mata, bisa merasakan kehangatan sentuhan itu, menyadari bahwa meski sedang bersitegang, Ivy tetap memilih untuk merawatnya dengan cinta.
Malam hari setelah pertengkaran itu, Ivy masuk ke ruang kerja Fadli setelah menidurkan Zaidan yang kini sudah berusia empat tahun. Ia duduk dengan tenang di depan Fadli, yang berusaha mengalihkan pandangannya dari rasa bersalah yang dirasakannya. Dengan suara lembut, Ivy bertanya, "Apakah perasaanmu sudah lebih baik? Sudah bisa kita bicara dan selesaikan baik-baik?"
Kalimat sederhana itu bagaikan undangan untuk berdamai. Ego Fadli yang sejak tadi menahan semua perasaannya akhirnya runtuh seketika. Dia bangkit dari kursinya, menghampiri Ivy, dan tanpa bicara, dia mengecup bibir Ivy dengan lembut, memberikan kehangatan yang selalu mereka bagi setelah setiap pertengkaran. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, pertengkaran berakhir dengan cinta yang lebih mendalam, dan mereka kembali terlelap dalam pelukan satu sama lain.
Namun pertengkaran tak selalu bisa dihindari. Suatu hari, mereka berdebat soal uang. Ivy ingin Fadli saja yang memegang dan mengatur keuangan mereka, sementara Fadli merasa sebagai suami, Ivy yang lebih cocok mengatur uang. Suara Fadli meninggi, diiringi rasa kesal yang berkecamuk dalam pikirannya. Ivy yang mendengar teriakan Fadli hanya terdiam, terkejut, dan Fadli bisa melihat bagaimana air mata Ivy menggenang sebelum akhirnya cepat-cepat dia sembunyikan. Ivy menghela napas panjang, dan dengan tenang, ia berdiri dan pamit untuk tidur lebih dulu.
Fadli tetap duduk di ruang tamu, merenungi tindakannya. Penyesalan datang begitu cepat, tapi egonya tetap menahannya. Hingga setelah lama terdiam, akhirnya Fadli masuk ke kamar mereka. Dia melihat Ivy berbaring membelakanginya, tubuhnya bergetar pelan. Ivy menangis, mencoba menahan suara tangisnya agar Fadli tidak mendengar.
Saat itu, Fadli ingin sekali memeluknya, namun dia hanya diam, terjebak dalam perang batin antara egonya dan rasa bersalah yang semakin menghimpit. Hingga tengah malam, ketika Ivy terbangun, Fadli merasakan tubuhnya diputar hingga terlentang. Ivy mulai memijat kepala Fadli dengan minyak kayu putih, mengompres keningnya, dan menyentuhnya dengan lembut. Ivy tahu Fadli sedang sakit kepala, dan dia tetap merawat Fadli meskipun pertengkaran mereka masih menggantung di udara. Tanpa bicara, hanya dengan sentuhan yang tulus.
Pagi berikutnya, Ivy bangun lebih dulu, seperti biasa. Dia tetap memasak bekal untuk Fadli, menaruhnya rapi di tasnya, menyetrika baju, dan menyediakan air mineral untuk diminum. Ivy sudah duduk di dalam mobil, menunggu Fadli untuk berangkat bersama ke sekolah. Tanpa bicara, Ivy duduk di kursi pengemudi, sementara Fadli duduk di sebelahnya, terdiam dengan rasa bersalah yang semakin dalam. Di perjalanan, Ivy mengatur kursi penumpang agar Fadli bisa tidur dengan nyaman, bahkan memberikan obat dan air minum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semua dilakukan dengan cinta yang tak terbantahkan.
Di sekolah, Fadli merasa begitu lelah dan tertidur di ruang guru. Saat terbangun, kantor sudah sepi, dan Ivy duduk di sampingnya, dengan lembut memijat kepalanya. Ivy tidak mengatakan apapun, hanya menatapnya dengan sorot mata penuh kasih sayang. Ivy mengangkat tas berat Fadli dan membawanya ke mobil, menyuruh Fadli beristirahat di kursi penumpang. Di perjalanan pulang, Ivy kembali mengatur kursi penumpang, memberi Fadli kenyamanan yang sama seperti pagi harinya.
Malam itu, Fadli tetap di ruang kerja, merenung hingga tertidur di kursi. Saat ia terbangun, Ivy sudah ada di sampingnya, membawa makanan dan obat. Ivy menunggunya makan, dan begitu Fadli selesai minum obat, Ivy kembali ke kamar tanpa sepatah kata.
Saat Fadli akhirnya masuk ke kamar, dia melihat Ivy berbaring membelakanginya. Tiba-tiba, Ivy bangun dan memeriksa keningnya, mengompresnya lagi, dan menggenggam tangannya dengan erat. Air mata hampir mengalir di mata Fadli, menyadari betapa besar cinta Ivy, meski dalam situasi di mana ia marah sekalipun. Ivy tetap menjadi penopang, tetap merawatnya tanpa syarat.
Keesokan paginya, Fadli terbangun dan mendapati Ivy masih di sampingnya, tersenyum tipis. "Aku akan membuatkan sarapan untukmu," bisiknya. Fadli memandangnya, menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih penting selain Ivy. Dan dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi untuk berdamai.
"Sudah, ya. Kita bicarakan masalah kita saat kamu sudah sembuh," kata Ivy lembut. Tapi Fadli menggeleng. "Tidak perlu menunggu," jawabnya pelan.
Ivy menatapnya, dan kemudian mengangguk, tersenyum dengan air mata yang tertahan. Dia memeluk Fadli, merasakan kehangatan yang menghapus semua rasa sakit yang sempat hadir di antara mereka. Mereka berbicara dengan tenang, merumuskan jalan tengah. Fadli akan tetap memegang tanggung jawab atas segala urusan rumah, sementara Ivy akan memegang gajinya sendiri. Uang Fadli yang tidak ingin dipegang Ivy, mereka tabung bersama-sama untuk biaya sekolah Zaidan.
"Sekarang, sudah ada jalan tengahnya kan?" tanya Fadli sambil tersenyum lembut. Ivy mengangguk, merasa lega karena menemukan solusi yang bisa membuat keduanya nyaman. Fadli membungkamnya dengan ciuman yang lembut dan penuh cinta, menggantikan segala amarah yang sempat hadir dengan kasih sayang yang lebih dalam.
Malam itu, mereka menyatu dalam cinta, melepaskan semua rasa sakit dan emosi yang pernah memisahkan hati mereka. Cinta yang mereka miliki terasa semakin kuat, semakin mendalam, dan menghapus setiap jejak keretakan yang pernah ada. Di dalam kehangatan malam yang damai, mereka tahu bahwa cinta mereka akan selalu lebih besar dari segala rintangan yang datang menghadang.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
Ficción General"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.