Ivy duduk di meja kerjanya, mencoba memusatkan perhatian pada materi pelajaran yang harus ia persiapkan. Namun, pikirannya serasa berlari ke segala arah, tak mampu meredam kecemasan yang perlahan muncul dari sudut-sudut benaknya. Di luar, sinar matahari menerpa kaca jendela, menciptakan kesan cerah yang begitu kontras dengan suasana hatinya yang kelam.
Di sebelahnya, Fadli terlihat sibuk dengan laptopnya. Keberadaannya seolah menjadi satu-satunya sumber cahaya bagi Ivy, sesuatu yang membuatnya merasa aman di tengah kerapuhan yang sedang ia hadapi. Namun, ketenangan itu mendadak buyar ketika ponselnya bergetar di atas meja.
Awalnya, Ivy berharap itu hanya pesan biasa—mungkin dari siswa atau rekan kerja. Namun, saat melihat layar, tubuhnya langsung menegang. Sebuah nomor tak dikenal muncul, disertai dengan notifikasi WhatsApp dan DM dari akun anonim. Dia tidak perlu berpikir dua kali untuk tahu siapa di balik pesan-pesan itu. Roman. Nama yang selalu berusaha ia lupakan kini muncul kembali, seperti bayangan hitam yang menolak pergi, siap menghancurkan ketenangan yang telah ia bangun.
Ivy merasa jantungnya berdegup kencang, napasnya tertahan. Tangannya gemetar saat membuka pesan-pesan tersebut, dan seketika, kata-kata Roman mulai menusuk jantungnya, seperti jarum-jarum tajam yang menusuk tanpa ampun.
"Kamu tidak bisa menghindariku selamanya."
"Aku hanya ingin bicara, Ivy."
"Kau milikku. Jangan pernah lupa itu."
"Kita akan bersama."Seketika, udara di ruang guru terasa menyesakkan. Ivy merasa seolah ruangan itu berubah menjadi penjara yang mengecil di sekitarnya, menekan dadanya hingga sulit bernapas. Suara Roman mulai terngiang di kepalanya, suara yang ia harap tak akan pernah ia dengar lagi. "Kau tak akan pernah benar-benar bisa lari dariku," bisik suara itu, penuh ancaman dan kepastian.
Fadli yang duduk di sampingnya menyadari perubahan drastis pada wajah Ivy. Matanya yang biasanya ceria kini diliputi kecemasan yang begitu nyata, hingga membuat Fadli merasakan kekhawatiran yang mendalam. "Ivy, ada apa?" tanyanya lembut namun penuh perhatian.
Ivy menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah membasahi kelopak matanya. Namun, rasa takut yang telah lama ia tekan kini menyeruak tanpa bisa dibendung lagi. Bibirnya bergetar ketika ia mencoba mengeluarkan kata-kata. "Ini... Roman," gumamnya pelan, suaranya terdengar parau dan penuh ketakutan.
Fadli terdiam sejenak, menatap Ivy dengan mata yang penuh kecemasan. Wajahnya berubah tegang, namun ia berusaha tetap tenang. "Apa yang dia inginkan?" tanyanya, mencoba memahami situasi yang sedang dialami Ivy.
"Aku tidak tahu," Ivy berbisik, suaranya terdengar patah. "Dia terus mengirim pesan. Mengancam, bilang aku miliknya... Seolah aku tidak punya jalan keluar." Air mata yang sejak tadi ia tahan kini jatuh membasahi pipinya, mengalir tanpa bisa ia kontrol. Ketakutan yang telah lama ia pendam kini meledak, menguasai dirinya sepenuhnya. Ivy merasa kepalanya berputar, rasa pusing dan mual mulai menghantamnya, sementara tangannya mulai berkeringat dingin.
Fadli memandangi Ivy yang kini tampak begitu rapuh. Ruang guru yang sepi hanya menyisakan mereka berdua, karena sebagian besar guru lain masih berada di kelas. Fadli mendekat dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Ivy, dengar aku," katanya dengan suara tegas namun penuh kelembutan. "Kamu tidak sendirian. Aku di sini. Roman tidak bisa menyakitimu lagi. Aku tidak akan membiarkannya."
Namun, meskipun Fadli berusaha menenangkan, Ivy merasa ketakutan itu lebih besar daripada apa pun. Rasanya, Roman ada di mana-mana—di setiap sudut ruang, di setiap bayangan yang menghantui pikirannya. Ivy tahu, Roman tidak pernah benar-benar pergi. Dia hanya mengintai dari kejauhan, menunggu saat yang tepat untuk menyerang dan menghancurkan kehidupan Ivy sekali lagi.
"Aku hanya ingin ini berakhir, Fadli," gumam Ivy di tengah isak tangisnya. Suaranya terdengar lelah, seolah-olah ia telah melalui pertempuran yang begitu panjang. "Aku lelah hidup dalam ketakutan."
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.