Cahaya di Tengah Kegelapan

16 0 0
                                    

Setiap sore setelah mengajar, Fadli bergegas menuju rumah sakit, langkahnya tergesa, hatinya dipenuhi kecemasan. Rasa lelah selalu menghantuinya, tapi dia tidak peduli. Fokusnya hanya satu: berada di sisi Ivy, yang masih berjuang melawan trauma mengerikan yang merenggut kehidupannya yang tenang. Di sekolah, rekan-rekan kerja sudah mulai membicarakan betapa berantakannya Fadli sekarang. "Dia tidak seperti dulu lagi. Sudah tidak tampan, penampilannya acak-acakan," bisik salah satu guru wanita. Namun, semua itu seperti angin lalu bagi Fadli. Yang ada dalam pikirannya hanya Ivy.

Di ruang rumah sakit yang sunyi, dia selalu duduk di kursi kayu yang keras di samping tempat tidur Ivy. Matanya tak pernah lepas dari wajah pucat Ivy yang masih dipenuhi bekas luka trauma. Ivy sering menolak untuk menatapnya, membuang muka setiap kali pandangan mereka bertemu. Fadli tahu Ivy masih berjuang melawan ketakutannya, terjebak dalam bayang-bayang kegelapan masa lalu yang begitu menakutkan. Setiap kali Fadli mencoba berbicara dengannya atau sekadar menggenggam tangannya, Ivy akan menjauh, memeluk dirinya sendiri seperti berusaha membentengi diri dari dunia luar, termasuk dari Fadli.

Hari-hari berlalu dalam rutinitas yang penuh keheningan dan ketegangan. Fadli selalu ada di sana, merawat Ivy dengan penuh kasih sayang, berharap bisa mencairkan tembok ketakutan yang dibangun Ivy. Namun, penolakan Ivy tak pernah mereda. Suatu hari, saat Fadli mencoba menyuapi Ivy dengan nasi, Ivy tiba-tiba gemetar hebat. Dengan panik, Ivy menepis tangan Fadli, dan mangkuk nasi itu terjatuh, isinya tumpah berantakan di lantai. Ivy mulai berteriak, tubuhnya gemetar, dan air mata mengalir deras dari matanya. "Jangan sentuh aku! Jangan!" teriaknya dengan nada penuh kepanikan. Fadli merasakan hatinya hancur, melihat Ivy tenggelam dalam ketakutan. Namun, ia tidak menyerah; ia tetap berusaha menenangkan, "Ivy, ini aku... Fadli. Tidak apa-apa. Kamu aman."

Tapi Ivy tetap berteriak, dan itu menghancurkan hati Fadli setiap kali. Namun, meskipun Ivy mendorongnya menjauh, meskipun Ivy menolak untuk berkomunikasi dengannya, Fadli menolak untuk pergi. Dia mandi di kamar rumah sakit itu, menggunakan pakaian yang Eryk pinjamkan atau kebutuhan sehari-hari yang dibelikan oleh Haris, meskipun dia selalu menolak dengan sopan. Yale sering datang untuk mengajaknya istirahat. “Fadli, ayo kita bergantian menjaga Ivy. Kamu butuh istirahat, lihat dirimu...,” desak Yale, yang penuh perhatian. Tapi Fadli selalu menolak. “Tidak. Aku tidak akan pergi. Dia butuh aku di sini,” jawabnya tegas, meskipun setiap kata itu terasa berat, menahan rasa sakit dan penyesalan yang tak kunjung hilang.

Malam-malam di rumah sakit terasa begitu panjang dan mencekam. Ivy sering terbangun karena mimpi buruk, berteriak histeris dengan nama Roman, memohon untuk dihentikan, ketakutan yang begitu nyata di matanya. Fadli mencoba menenangkannya, mencoba menjelaskan bahwa semuanya sudah berakhir. Tapi Ivy selalu menolaknya, bahkan kadang menepis tangannya dengan kasar dan berusaha menjauh sejauh mungkin dari Fadli. Saat Ivy jatuh tertidur kembali, Fadli hanya bisa menangis dalam diam, berdoa untuk kesembuhannya.

Namun, di balik semua penolakan itu, Fadli tetap berjuang, tetap setia di sisinya. Hingga suatu malam, saat ia begitu kelelahan dan tertidur di kursi kayu di samping ranjang Ivy, ia terbangun mendengar suara lembut yang memanggil namanya. “Fadli… Fadli…” Suara Ivy. Itu pertama kalinya dia memanggil namanya dengan begitu lembut setelah sekian lama. Dengan napas tertahan, Fadli tetap berpura-pura tertidur, ingin merasakan momen itu sejenak lebih lama. Tangannya terasa hangat ketika Ivy menggenggamnya perlahan, dan ia merasakan usapan lembut di rambutnya.

“Terima kasih, Fadli,” ucap Ivy dengan suara bergetar, namun penuh kehangatan. Fadli tak bisa menahan perasaan haru yang membuncah. Ia segera duduk dan membuka matanya, melihat Ivy menatapnya. Tatapannya masih lemah, penuh luka, tapi ada harapan di sana. Fadli hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Ivy..." panggilnya lembut, tak ingin mengejutkan Ivy dengan emosinya yang meluap-luap. Ia membantu Ivy untuk duduk perlahan, takut jika ia terlalu cepat, Ivy akan merasa terguncang lagi.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang