Rasa Penasaran

7 0 0
                                    

Fadli menghempaskan tubuhnya di sofa rumah barunya dengan perasaan campur aduk. Sudah beberapa minggu ia mengajar di SMP Cemerlang, dan meski awalnya lingkungan baru ini terasa asing, kehadiran Dion, sahabat masa kecilnya, membuatnya perlahan merasa lebih nyaman. Bertahun-tahun tak bertemu membuat pertemuan kembali dengan Dion terasa seperti pulang. Dionlah yang menawarinya pekerjaan di sekolah ini, dan Fadli bersyukur karena Dion tak pernah berubah-selalu menjadi teman yang dapat diandalkan.

Namun, di tengah rasa nyaman itu, ada sosok lain yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya. Ivy Maharani Haris-guru pendiam yang duduk di meja sebelahnya di ruang guru. Ivy bukan sekadar pendiam; ada misteri yang membungkusnya, seolah menyimpan cerita-cerita kelam yang terkubur dalam keheningan. Dan Fadli merasa semakin penasaran, semakin ingin mengungkap apa yang ada di balik sorot mata Ivy yang selalu tampak gelisah.

Malam itu, Fadli membuka ponselnya. Rasa penasarannya terhadap Ivy membuatnya mencoba mencari tahu lebih banyak tentang sosok itu melalui media sosial. Ivy hampir tidak meninggalkan jejak. Akun media sosialnya minim unggahan, semuanya serba sederhana dan terkesan datar. Foto-fotonya hanya sedikit, kebanyakan diambil dalam acara resmi sekolah dengan pose kaku dan senyum tipis. Namun, di antara foto-foto itu, Fadli menemukan satu yang menarik perhatiannya: Ivy bersama siswa-siswanya, berdiri sambil memegang piala. Di foto itu, Ivy tersenyum dengan hangat, seolah memperlihatkan sisi lain yang selama ini tersembunyi.

Fadli terus menggulir layar, sampai menemukan foto Ivy bersama keluarganya saat wisuda. Ivy tampak berdiri di antara kedua orang tuanya, Haris dan Indira, dengan seorang pria muda di sebelah mereka, yang sepertinya adalah saudara laki-laki Ivy, Eryk Mahendra Haris. Ivy mengenakan toga dan tersenyum tipis, tetapi senyum itu berbeda-lembut dan penuh kasih, lebih hangat daripada yang pernah Fadli lihat di ruang guru.

Kemudian, Fadli melihat unggahan foto lain yang membuatnya terdiam sejenak. Foto itu menunjukkan Ivy bersama seorang pria seusianya, yang merangkulnya dengan cengiran lebar. Ivy tersenyum kecil, tetapi ada kedamaian dalam ekspresi wajahnya, seolah mereka memiliki kedekatan yang nyata. Pria itu, yang bernama Yale Anderson, menandai Ivy dengan keterangan "My Sista." Fadli merasakan perasaan aneh di dadanya, seperti cemburu yang tidak masuk akal. Yale tampak begitu dekat dengan Ivy, sementara di sekolah, Ivy justru terlihat menjaga jarak dari dirinya.

Keesokan harinya di sekolah, Fadli memanfaatkan kesempatan berbincang dengan Dion di kantin untuk mengobati rasa penasarannya. Dengan nada santai, ia bertanya pada Dion tentang Yale.

"Oh, Yale?" Dion berpikir sejenak sebelum menjawab. "Setahu gue, dia sahabat Ivy. Ramah banget orangnya, bahkan pernah datang ke sekolah beberapa kali buat menjemput Ivy. Ivy tuh beda kalau sama Yale, nggak kayak biasanya yang pendiam dan tertutup."

Fadli mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa rasa penasarannya semakin dalam. "Dia sering datang ke sini?" tanyanya, mencoba mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

"Nggak sering, tapi dulu pernah beberapa kali," jawab Dion. "Yale itu ramah banget, saking ramahnya malah sempat ngobrol sama gue, Mia, dan beberapa guru lain. Waktu itu dia bilang ke kita, 'Jaga Ivy baik-baik ya, dia kadang susah kalau disuruh istirahat.'" Dion terkekeh kecil, mengingat kembali pertemuan itu. "Dia perhatian banget ke Ivy, kayak kakak ke adik perempuan."

Fadli mendengarkan sambil merenung, merasa bahwa ada sisi lain dari kehidupan Ivy yang belum ia pahami sepenuhnya. Yale tampaknya bukan hanya sekadar sahabat bagi Ivy, melainkan orang yang telah lama mengenal dan memahami Ivy, mungkin jauh lebih dalam daripada siapa pun di sekolah ini. Hubungan mereka mungkin bukan romansa, tapi jelas ada ikatan kuat di antara mereka.

Menyadari hal ini, Fadli merasakan perasaan aneh berkecamuk di hatinya. Di satu sisi, ia merasa lega mengetahui bahwa ada orang lain yang memahami Ivy dengan baik, tetapi di sisi lain, ia merasa cemburu. Yale tampaknya memiliki tempat yang tak tergantikan dalam hidup Ivy, sementara dirinya masih harus menembus semua dinding yang Ivy bangun di sekitarnya.

Dion, yang rupanya memperhatikan perubahan ekspresi Fadli, tersenyum menggoda. "Kenapa? Cemburu, lo? Seorang Fadli Dirgantara yang biasanya dikejar-kejar cewek, bisa juga cemburu."

Fadli hanya mendengus kesal, sementara Dion tertawa kecil melihat reaksinya. Percakapan itu membuat Fadli semakin penasaran dan tidak sabar ingin mengenal Ivy lebih jauh, bahkan jika itu berarti harus menunggu dan bersabar.

---

Sepulang dari sekolah, Fadli merasa hatinya terasa lebih berat daripada biasanya. Di rumah, ia duduk di sofa dan membuka kembali ponselnya, melihat foto-foto Ivy bersama Yale. Pria itu tampak begitu nyaman di samping Ivy, dan cara Ivy tersenyum, meski kecil, mengandung kedekatan yang tidak bisa diabaikan. Fadli tahu bahwa hubungan mereka istimewa, namun ia belum tahu di mana tempatnya dalam hidup Ivy, atau apakah Ivy akan mengizinkannya masuk lebih dalam.

Keesokan harinya, suasana di ruang guru sama seperti biasa. Ivy duduk di mejanya, fokus pada kertas-kertas yang harus dikoreksi, tak peduli pada hiruk pikuk di sekitarnya. Fadli merasa ada perbedaan dalam pandangannya terhadap Ivy-lebih penuh perhatian dan keinginan untuk mengenal lebih dalam, meskipun Ivy masih tampak sulit didekati.

Saat jam istirahat, Ivy berdiri, tampak hendak menuju ke kantin. Itu adalah hal yang jarang Fadli lihat, dan dorongan dalam hatinya membuatnya memanggil Ivy pelan, "Bu Ivy."

Ivy menoleh, sedikit terkejut, tetapi mengangguk ketika Fadli bertanya apakah ia boleh menemaninya ke kantin. Mereka berjalan berdua dalam keheningan yang aneh, seolah ada banyak kata yang terjebak di antara mereka tetapi tak ada yang berani mengucapkannya.

Di kantin, mereka duduk bersebelahan, dan Fadli mulai bercerita ringan tentang pekerjaannya dan beberapa siswa yang cukup unik di kelasnya. Ivy hanya mendengarkan, sesekali tersenyum kecil atau mengangguk, tetapi Fadli bisa melihat bahwa Ivy berusaha untuk sedikit lebih terbuka, meski dengan langkah yang sangat lambat. Senyuman kecil yang muncul di wajah Ivy saat mendengar cerita Fadli, meskipun tak mengungkap banyak, memberi Fadli secercah harapan.

Fadli menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ivy bukan seseorang yang dengan mudah membuka hati, apalagi dengan masa lalu yang tampak begitu membebani. Namun, Fadli merasakan bahwa di balik semua dinding itu, ada sisi hangat dari Ivy yang selama ini tersembunyi. Dan dia bersedia menunggu, bersedia menjadi seseorang yang bisa Ivy percayai sepenuhnya.

Saat mereka kembali ke ruang guru, Ivy kembali tenggelam dalam pekerjaannya, namun kali ini, ada kehangatan kecil dalam sikapnya yang terasa berbeda. Fadli tahu bahwa kedekatan ini mungkin hanya sebuah langkah kecil, tetapi ia merasa puas. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, meski tidak terlihat, namun terasa.

---

Malam itu, sepulang dari sekolah, Fadli membuka ponselnya dan melihat beberapa unggahan baru dari Ivy. Kali ini, Ivy mengunggah foto karya seni salah satu siswa dengan keterangan, "Bangga banget sama anak-anak ini. Mereka selalu bikin hari-hariku lebih berwarna." Senyum merekah di wajah Fadli. Melihat Ivy yang begitu bangga pada siswa-siswanya, Fadli merasa melihat sisi lain Ivy yang lebih hidup dan penuh cinta.

Malam itu, Fadli berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah pada dinding-dinding yang Ivy bangun. Jika suatu saat Ivy merasa cukup nyaman untuk membuka diri, Fadli ingin menjadi orang yang bisa dia percayai.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang