Pagi itu, ruang guru di SMP Cemerlang dipenuhi suara canda tawa dan obrolan ringan, seperti biasanya. Ivy Maharani Haris duduk di mejanya, wajahnya tampak serius, berkonsentrasi pada tumpukan tugas siswa yang harus ia koreksi. Ia lebih memilih tenggelam dalam pekerjaannya daripada ikut dalam percakapan rekan-rekan yang sering kali berubah menjadi gosip. Di balik ketenangannya, Ivy tahu, banyak rekan kerja yang memandangnya dengan kecurigaan atau ketidakpercayaan, akibat gosip-gosip lama yang tersebar karena ulah mantan kekasihnya, Roman, dan mantan sahabatnya, Raya. Hanya Mia, sahabat setianya, dan Dion, rekan kerjanya yang juga teman masa kecil Fadli, yang selalu ada untuknya tanpa syarat.
Di sela-sela kesibukannya, Ivy melirik ke arah pintu ketika Fadli Dirgantara masuk ke ruangan. Dengan kemeja biru yang sedikit berantakan setelah mengajar, Fadli tampak kelelahan, namun masih dengan senyumnya yang menenangkan. Beberapa guru segera menyapanya, bahkan Bu Tiara, guru senior yang biasanya pendiam, tampak ikut bergabung dalam kelompok kecil yang mengelilinginya.
"Fadli! Ikut ke kantin, yuk! Kami mau makan bareng nih," ajak Bu Tiara dengan semangat.
Fadli menolak ajakan itu dengan senyuman sopan. "Terima kasih, Bu. Tapi nanti aja, saya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan dulu," katanya, sambil duduk di meja sebelah Ivy.
Setelah suasana ruang guru kembali sepi, Fadli menoleh ke arah Ivy yang masih sibuk mengoreksi kertas ujian. "Sibuk banget ya, Bu Ivy?" tanyanya pelan.
Ivy mendongak sedikit, menahan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. "Iya, banyak tugas yang harus dikoreksi," jawabnya singkat.
Fadli tersenyum kecil, seolah mengerti. "Kalau ada yang bisa dibantu, bilang aja ya. Jangan sungkan."
Ivy hanya mengangguk pelan, berharap percakapan ini segera berakhir. Namun, Fadli tetap di sana, seakan menunggu Ivy untuk membuka diri. Ivy merasakan ketulusan dalam perhatian Fadli, tetapi ia tidak bisa menghilangkan dinding yang telah ia bangun selama ini.
---
Tak lama kemudian, suasana berubah menjadi mencekam ketika Ivy harus menghadapi dua siswa laki-laki yang terlibat perkelahian di kelas. Ivy berusaha melerai mereka dengan suara tegas, mencoba menghentikan ketegangan yang semakin memanas. Namun, salah satu siswa secara tidak sengaja mendorong Ivy, membuatnya kehilangan keseimbangan. Siswa perempuan yang melihat kejadian itu menjerit, membuat suasana semakin kacau.
Ivy hampir terjatuh ketika tiba-tiba dua tangan menangkapnya dari belakang. Ternyata Fadli, yang kebetulan lewat dan mendengar keributan di kelas, langsung masuk untuk membantu.
"Anda tidak apa-apa, Bu Ivy?" tanya Fadli dengan nada khawatir, menatap Ivy dengan penuh perhatian.
Ivy hanya mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri, sementara dua siswa yang bertengkar tampak merasa bersalah. "Maafkan kami, Bu Ivy," salah satu siswa berkata dengan wajah penuh penyesalan.
Fadli mengalihkan pandangannya ke arah dua siswa itu. "Kenapa kalian sampai bertengkar seperti ini?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh wibawa.
Kedua siswa itu mulai menjelaskan penyebab pertengkaran mereka—hanya masalah sepele, berebut pulpen. Ivy mendengarkan penjelasan mereka, berusaha tersenyum meski hatinya masih terasa bergetar. Peristiwa barusan membuatnya teringat kejadian yang terjadi beberapa tahun silam, ketika Yale, sahabatnya yang pernah menjadi kekasih, secara tak sengaja mendorongnya hingga terjatuh. Kenangan itu tiba-tiba muncul di benaknya, membawa kembali rasa sakit yang selama ini ia coba lupakan.
Setelah memastikan situasi kembali tenang, Fadli mendudukkan Ivy di kursi guru di kelas, kemudian menatap para siswa dengan tatapan serius. "Kalian harus belajar menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, jangan langsung emosi," katanya dengan nada tegas. Kedua siswa itu mengangguk dan meminta maaf kepada Ivy sekali lagi, sementara Ivy hanya bisa tersenyum, menahan rasa trauma yang tiba-tiba muncul. Fadli kemudian keluar dari kelas, membiarkan Ivy melanjutkan pelajaran.
Saat bel pulang berbunyi, kedua siswa itu kembali menghampiri Ivy, meminta maaf berkali-kali dengan wajah penuh penyesalan. Ivy mengelus kepala mereka pelan, mengatakan, "Tidak apa-apa, Nak. Kalian harus belajar mengendalikan diri, ya."
Ketika kelas mulai sepi, Ivy menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Ivy membuka mata dan melihat Fadli berdiri di depannya, menempelkan sebotol air mineral dingin ke wajahnya.
"Anda tidak apa-apa, Bu Ivy?" tanyanya lembut, dengan tatapan khawatir yang tampak tulus.
Ivy mengangguk pelan, menelan rasa malu yang perlahan muncul. "Terima kasih... Saya baik-baik saja."
Fadli hanya tersenyum, tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia tampak memahami Ivy lebih dari yang ia perlihatkan. Meskipun Ivy merasa canggung, ada ketulusan dalam perhatian Fadli yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Namun, Ivy tahu, ia masih belum bisa sepenuhnya membuka diri. Luka masa lalunya terlalu dalam, membuatnya ragu untuk percaya pada siapapun.
---
Sore itu, ketika semua guru dan siswa sudah pulang, Ivy masih berada di ruang guru. Ia ingin menyelesaikan laporan yang harus dikumpulkan esok hari, meskipun jam di dinding menunjukkan sudah hampir malam. Suasana ruang guru sepi, hanya terdengar suara jemarinya yang mengetik di keyboard laptop.
Pintu ruang guru berderit terbuka, dan Ivy melihat Fadli masuk membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja Ivy dengan senyum kecil. "Teh hangat buat Anda. Saya lihat Anda belum beristirahat," katanya pelan, penuh perhatian.
Ivy terdiam, menatap teh itu dengan perasaan bingung. "Anda nggak harus melakukan ini, Pak Fadli. Saya bisa sendiri."
Fadli tersenyum, seakan mengerti kecanggungan Ivy. "Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma ingin membantu. Lagipula, saya juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Ia duduk di meja sebelah, membuka laptopnya, dan mulai bekerja. Ivy merasa canggung, namun perasaan itu perlahan memudar ketika ia melihat Fadli yang selalu ada di dekatnya tanpa membuatnya merasa terdesak atau dipaksa. Fadli berbeda dari laki-laki lainnya. Ia tidak mendesak, tidak memaksa. Itu yang membuat Ivy sedikit demi sedikit merasa lebih nyaman.
---
Beberapa hari kemudian, Ivy mendengar dari Mia bahwa Fadli tidak membawa bekal makan siang. Ada dorongan dalam hatinya yang membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk Fadli. Dengan langkah ragu, Ivy keluar dari sekolah dan membeli burger di kafe depan sekolah. Tangannya gemetar saat ia kembali ke ruang guru, membawa bungkusan burger itu dan mendekati meja Fadli.
Tanpa banyak bicara, Ivy meletakkan burger itu di atas mejanya. "Saya... saya dengar Anda nggak bawa makan siang. Ini untuk Anda."
Fadli terkejut, lalu tersenyum tulus. "Terima kasih, Bu Ivy. Saya tidak menyangka."
Ivy tersipu, tidak tahu harus berkata apa. Ini adalah pertama kalinya ia mengambil inisiatif setelah semua perhatian yang diberikan Fadli padanya. Ivy tidak tahu apa yang mendorongnya melakukan ini, tetapi ada perasaan hangat yang muncul di hatinya.
Setelah itu, Ivy kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sadar bahwa Fadli perlahan mulai memengaruhi hidupnya, membuatnya merasa sedikit lebih ringan meski kenangan kelam masih terus menghantui.
---
Namun, malam itu, ketika Ivy pulang ke rumah, ia kembali merasakan bayang-bayang masa lalunya. Saat ia duduk sendirian di ruang tamu, ia teringat Yale dan Roman—dua laki-laki yang pernah ia percayai namun berakhir meninggalkan luka mendalam. Bayangan masa lalu itu kembali, seakan menarik Ivy ke dalam kegelapan yang selama ini ia coba hindari.
Ivy duduk dalam keheningan, merasakan keputusasaan yang perlahan-lahan kembali menguasainya. Ia tahu, tidak mudah untuk melepaskan semua beban masa lalu yang begitu berat. Di balik semua upaya Fadli untuk mendekat, ada ketakutan besar yang menghalangi Ivy untuk membuka diri.
Malam itu, Ivy hanya bisa berdoa, berharap suatu hari nanti ia bisa menemukan kekuatan untuk keluar dari bayang-bayang luka yang terus menghantuinya. Ia tahu, mungkin akan butuh waktu yang lama, namun kehadiran Fadli memberinya sedikit harapan bahwa ia mungkin bisa menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
Meski untuk sekarang, Ivy hanya bisa terus berjuang menghadapi masa lalu, dengan atau tanpa kehadiran Fadli di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.