Diambang Harapan

18 0 0
                                    

**Yale's POV**

Yale duduk di ruang tamu, suasana ruangan terasa begitu menyesakkan. Tangannya terus bergerak tak terkendali, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tak beraturan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia kendalikan. Sudah lebih dari 1x24 jam sejak Ivy menghilang, dan perasaan takut mencekamnya tanpa henti. Setiap detik berlalu terasa seperti seribu tahun, dan bayang-bayang kegelisahan terus menghantui pikirannya. Wajah Ivy, dengan senyumnya yang dulu selalu membawa kedamaian, kini berubah menjadi bayangan penuh kecemasan dan ketakutan yang menghantui setiap sudut pikirannya.

"Di mana kamu, Ivy?" bisiknya dengan suara serak dan bergetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menekan batinnya. Ia merasa seolah sedang tenggelam dalam lautan kegelapan yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.

Yale memijit pelipisnya, mencoba berpikir jernih di tengah kekacauan emosinya. Tiba-tiba, sekelebat memori terlintas di benaknya. Ia teringat percakapan Ivy beberapa waktu lalu saat mereka berjalan-jalan, ketika Ivy secara acak menunjuk sebuah rumah dari kejauhan dan berkata, "Itulah rumah Roman." Bagaimana mungkin ia bisa melupakan detail sepenting itu?

Rasa frustasi menggelegak dalam dirinya, membuat amarah dan penyesalan bercampur aduk. "Kenapa aku bisa melupakan itu?" geramnya, tangannya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasa bodoh dan tak berdaya. Informasi itu bisa saja menjadi petunjuk penting yang selama ini terabaikan, yang bisa membawanya ke tempat di mana Ivy mungkin sedang berada, terjebak dalam kengerian bersama Roman.

Yale berdiri mendadak, tak bisa lagi duduk diam. Ia mulai berjalan mondar-mandir di ruang tamu, berusaha merumuskan rencana yang bisa menyelamatkan Ivy. Saat itu, Jovanna, istrinya, muncul dari arah dapur. Wajahnya tegang melihat kondisi suaminya. "Sayang, tenangkan diri. Kita akan menemukan Ivy," ucapnya lembut, berusaha menenangkan Yale yang tengah di ujung kegelisahannya.

Yale menggelengkan kepala, napasnya tersengal karena emosi yang membuncah. "Jovanna, aku ingat! Ivy pernah menunjukkan di mana rumah Roman. Dia bisa saja dibawa ke sana!" Suaranya penuh kecemasan dan amarah pada dirinya sendiri. Ia merasa waktu semakin mendesak, dan bayangan Ivy yang terperangkap semakin menghantuinya.

Jovanna terdiam sejenak, lalu segera mengambil ponselnya dari atas meja. "Aku akan menelepon Fadli. Kita harus memberitahunya tentang ini sekarang juga." Suaranya terdengar tegas, namun penuh kekhawatiran.

Yale mengangguk, jantungnya berdetak kencang saat Jovanna berusaha menghubungi Fadli. Meskipun ia merasakan secercah harapan, kekhawatiran itu tetap saja menghimpit dadanya. "Aku harus pergi ke rumah Roman," gumamnya penuh tekad, matanya berkobar oleh hasrat untuk menemukan Ivy.

Jovanna menatapnya dengan serius, berusaha menenangkan situasi. "Yale, itu berisiko. Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana. Roman bisa saja melakukan hal yang lebih buruk jika kita datang tanpa persiapan," katanya dengan nada cemas.

"Aku tidak peduli! Ivy butuh aku. Dia tidak boleh sendirian dengan Roman!" Yale hampir berteriak, suaranya dipenuhi oleh kemarahan dan ketidakberdayaan. Pikirannya penuh dengan bayangan Ivy yang mungkin sedang terikat, ketakutan, dan tak berdaya.

Jovanna menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami kegelisahan suaminya. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi aku akan menelepon polisi dari rumah. Mereka harus tahu tentang situasi ini dan bersiap jika kita membutuhkan bantuan," jawabnya, memberi izin dengan berat hati.

Yale mengangguk dengan cepat, merasa bersyukur karena memiliki Jovanna yang selalu siap mendukungnya. Ia bergegas menuju pintu, hatinya penuh dengan harapan dan ketakutan yang menyatu. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti pertempuran melawan waktu, meyakinkannya bahwa ia harus menemukan Ivy dan membawanya pulang dengan selamat. Ia keluar dari rumah dengan penuh tekad, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi di rumah Roman.

---

**Fadli's POV**

Fadli duduk di ruang tamunya yang sepi. Biasanya, suasana tenang ini akan memberinya kenyamanan, namun sekarang justru membuatnya semakin mencekam. Diamnya ruangan hanya menambah beban di pundaknya, mengingatkannya betapa ia telah gagal menjaga Ivy. Setiap detik yang berlalu seperti racun yang menggerogoti pikirannya—bahwa ia terlambat, dan sekarang ia tidak tahu di mana Ivy berada atau apa yang sedang terjadi padanya.

Pikirannya melayang, mencoba mengingat setiap detail tentang Roman dan bagaimana pria itu bisa mengendalikan Ivy selama ini. “Roman… kau bisa membawa Ivy ke mana?” gumamnya dengan suara pelan namun penuh amarah yang tertahan. Wajah Ivy terbayang di benaknya, tatapannya yang cemas dan ketakutan, seolah memanggil Fadli untuk segera datang menyelamatkannya.

Ia berusaha tetap tenang, menggali setiap informasi yang pernah didapatnya tentang Roman. Namun, ketenangan itu sesungguhnya rapuh. Di dalam dirinya, Fadli merasa seperti gunung berapi yang siap meletus. "Aku tidak bisa membiarkan Roman menghancurkan hidup Ivy lagi," tekadnya menguat saat ia menatap kosong ke dinding di hadapannya.

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah kesunyian. Fadli segera mengambil ponselnya dan melihat nama Jovanna muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu. "Halo?"

"Fadli, kita mungkin tahu di mana Ivy berada. Yale ingat pernah melihat rumah Roman," suara Jovanna terdengar tegas namun disertai kekhawatiran yang mendalam.

Sekilas, rasa lega dan ketegangan bercampur aduk dalam hati Fadli. "Aku akan segera ke sana," jawabnya cepat, suaranya bergetar karena semangat dan harapan baru yang mulai muncul. Ia bangkit berdiri dan meraih kunci mobilnya. Tanpa berpikir panjang, Fadli bergegas keluar dari rumah, langkahnya mantap menuju mobil yang terparkir di depan rumah.

Dalam perjalanan, Fadli tak bisa mengusir bayang-bayang kekhawatiran tentang apa yang mungkin sedang terjadi pada Ivy. Gambarannya seakan berkelebat di depan mata—Ivy yang mungkin sedang terikat, tersiksa, dan dipaksa bertahan di bawah tekanan Roman yang mengerikan. Setiap detik di perjalanan terasa seperti selamanya, dan setiap rintangan yang ia temui membuatnya semakin gelisah. Ia mengepalkan setir, menahan kemarahan yang terus bergejolak dalam dirinya.

"Roman, jika kau menyentuhnya… Aku akan memastikan kau membayar semua ini," bisik Fadli dengan suara yang dingin dan penuh tekad.

Mobil meluncur cepat menuju rumah Roman, membawa serta seluruh amarah, ketakutan, dan harapan Fadli. Ia tahu, ini adalah pertarungan melawan waktu. Hanya ada satu hal yang terus terngiang dalam benaknya: "Aku harus menemukan Ivy. Aku tidak akan membiarkan Roman menang."

Tekad dan ketenangannya berpadu dalam satu misi untuk menyelamatkan Ivy dari kegelapan yang membelenggunya.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang