**Roman's POV**
Roman menutup pintu kamar dengan perlahan, membiarkan suara engsel yang berderit mengisi keheningan yang mencekam. Di dalam, gelap semakin pekat, menelan setiap harapan yang mungkin tersisa. Kegelapan itu bukan hanya sekadar kurangnya cahaya, melainkan bayangan ketakutan yang dipelihara dengan penuh perhitungan. Roman menarik napas panjang, membiarkan perasaan puas mengalir ke dalam dirinya-rasa puas yang mulai berubah menjadi kehampaan, menciptakan ruang kosong yang tak terisi bahkan dengan kendali yang telah ia renggut dari Ivy.
Langkah-langkahnya bergaung pelan di lantai kayu saat ia berjalan menuju sudut kamar, ke tempat duduk di mana ia bisa mengamati Ivy. Tubuh Ivy yang tergeletak di atas ranjang tampak begitu kecil, begitu rapuh. Tubuh itu kaku, terbelenggu oleh tali yang mengikat pergelangan dan pergelangan kaki. Bekas luka dan memar terlihat samar di kulitnya yang pucat, tanda perjuangan yang tak akan pernah bisa dimenangkan.
Roman merasakan detak jantungnya melambat ketika dia memperhatikan Ivy. Hari ini, dia tampak lebih lemah dari sebelumnya. Cahaya kehidupan yang biasa terlihat di matanya telah memudar, tenggelam oleh efek obat yang Roman suntikkan beberapa waktu lalu. "Bagus," pikir Roman, seringai puas merekah di wajahnya. Rencananya berjalan sesuai harapan. Sedikit demi sedikit, Ivy menjadi sosok yang ia inginkan-terikat, tunduk, dan tak berdaya.
Dengan gerakan yang sangat terkontrol, Roman bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati ranjang, memperhatikan Ivy yang masih terlelap. Rambutnya yang berantakan menghalangi sebagian wajahnya, seolah menjadi penghalang terakhir antara dirinya dan dunia. Roman mengulurkan tangan, membelai helai-helai rambut Ivy dengan lembut. Jari-jarinya dingin, menciptakan kontras dengan kehangatan tubuh Ivy yang menghilang perlahan. Sentuhan itu begitu lembut, tetapi di balik kelembutan tersebut ada kendali yang begitu kejam dan dingin.
Roman menelusuri wajah Ivy dengan tatapan penuh obsesi. Bekas air mata yang mengering di pipinya menambah kesan tragis pada wajahnya yang dulu penuh dengan keceriaan. Namun, bagi Roman, air mata itu adalah tanda kelemahan, bukti bahwa Ivy masih memiliki emosi yang bisa ia kendalikan dan manipulasi. Ia menundukkan kepalanya, menatap wajah Ivy yang tertidur dalam kelelahan. Seolah terhipnotis oleh kesunyian yang menyelimutinya, Roman mengecup mata Ivy yang tertutup. Bibirnya menyentuh kelopak mata Ivy dengan lembut, seolah ingin menyerap segala rasa takut dan keputusasaan yang bersembunyi di baliknya.
Sentuhan itu membuat Ivy tersentak setengah sadar. Mata yang dulu penuh ketakutan kini menatapnya dengan kegelapan yang hampir kosong, namun Roman melihatnya sebagai pertanda yang baik. Ini adalah bukti bahwa Ivy mulai menyerah, mulai tunduk pada kehendaknya.
Roman mengelus pipi Ivy dengan lembut. Tangannya perlahan-lahan bergerak ke arah lakban yang menutupi mulut Ivy. Dengan hati-hati, dia mulai melepaskan lakban itu, menariknya perlahan dari kulit yang memerah karena terlalu lama terbungkam. Ketika bibir Ivy terbuka, ia melihat luka yang tak terlihat-luka batin yang diakibatkan oleh rasa sakit dan kepedihan yang terus-menerus. Roman menyeringai, menikmati perasaan bahwa setiap luka itu adalah hasil dari kendalinya.
Tanpa memberi Ivy kesempatan untuk berbicara, Roman mendekatkan wajahnya dan menutup bibir Ivy dengan ciuman. Ciuman itu bukanlah ciuman kasih sayang, melainkan ciuman penuh obsesi, penuh tuntutan akan kepemilikan. Bibir Roman menekan bibir Ivy dengan kuat, menyatukan seluruh rasa sakit dan obsesi yang ia rasakan dalam tindakan itu. Ia merasakan kehangatan yang masih tersisa dari air mata Ivy, dan ia menikmatinya seakan itu adalah minuman yang membakar tenggorokannya dengan kenikmatan perih.
Ivy tersentak dalam ciumannya, tubuhnya menegang di bawah kendali Roman. Dia ingin melawan, ingin menjerit, tetapi lelah telah membuatnya tak berdaya. Roman menghirup napas dalam-dalam, merasakan denyut nadi Ivy yang berpacu cepat di bawah bibirnya. Rasa takut dan keputusasaan Ivy seakan meresap masuk ke dalam dirinya, membuatnya semakin yakin akan kekuatannya.
Setelah puas mencium Ivy, Roman perlahan mundur. Mata Ivy terpejam kembali, air mata mengalir dari sudut-sudutnya. Namun, Roman tidak peduli. Baginya, ini adalah bukti bahwa Ivy telah terperangkap dalam perangkap yang ia buat, dan tak ada jalan keluar.
Dengan tenang, Roman kembali mengambil lakban yang baru dan menutup mulut Ivy. Kali ini, ia memastikan melakukannya dengan sangat hati-hati, seolah menutupi sesuatu yang sangat berharga. Ia tidak ingin melukai Ivy lebih dari yang diperlukan; ia ingin dia tetap hidup, tetap sadar, agar ia bisa merasakan dan memahami ketakutan yang Roman ciptakan untuknya.
Ia berdiri dari tepi ranjang, menatap Ivy yang kini terlelap kembali dalam kegelapan. "Dengan ini, kau akan tetap di sini, Ivy. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, tidak ada yang bisa membebaskanmu," bisiknya, suaranya seperti belati yang menembus keheningan kamar. Kata-kata itu bukan hanya ancaman; itu adalah kenyataan yang harus diterima oleh Ivy, kenyataan yang akan merasuki setiap pikirannya, membuatnya semakin tunduk dalam cengkeraman Roman.
Roman menoleh ke arah jendela, melihat dunia luar yang kini tampak begitu jauh. Cahaya matahari yang mulai tenggelam memudar, menggantikan segalanya dengan kegelapan malam. Di luar sana, mungkin ada yang mencari Ivy. Mungkin Fadli atau Yale sedang berusaha mati-matian untuk menemukan jejaknya. Namun, Roman yakin tidak ada yang bisa menjangkau Ivy di sini, tidak ada yang bisa mengalahkan kepemilikannya.
"Kau milikku, Ivy. Selamanya," ucapnya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Kata-kata itu terasa menenangkan baginya, seperti mantra yang mematri kenyataan bahwa Ivy tidak akan pernah lepas dari genggamannya.
Dengan langkah pasti, Roman berjalan menuju pintu, meninggalkan Ivy yang masih terbaring tak berdaya dalam kegelapan. Dia tahu bahwa proses ini belum berakhir, bahwa masih ada langkah-langkah berikutnya yang harus ia ambil. Namun, untuk saat ini, dia merasa puas dengan hasilnya. Ivy kini lebih rapuh, lebih mudah dikendalikan. Satu langkah lagi menuju kesempurnaan kepemilikan.
Roman berhenti di ambang pintu, menoleh untuk melihat Ivy sekali lagi. Matanya menyipit, memandangi tubuh Ivy yang terlelap dalam cengkeraman ketakutan. Tarikan napas dalam memenuhi dadanya dengan rasa puas yang dingin. Ini adalah hasil dari rencana yang matang, obsesi yang tak pernah padam.
"Tak ada yang bisa mengambilmu dariku," gumamnya pelan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. "Aku akan memastikan kau tetap di sini, selamanya."
Dengan ketenangan yang menakutkan, Roman melangkah keluar, membiarkan kegelapan kamar menelan Ivy sepenuhnya. Di dalam benaknya, Roman sudah merencanakan langkah selanjutnya, merencanakan bagaimana ia akan terus menggenggam Ivy, menciptakan dunia kecil mereka yang terisolasi dari dunia luar. Dia tahu bahwa cinta-atau lebih tepatnya, obsesinya-akan mengalahkan segalanya. Karena bagi Roman, cinta bukanlah tentang memberi kebebasan; cinta adalah tentang kendali total, kepemilikan tanpa batas.
Roman melangkah dengan pasti, meninggalkan kegelapan di belakangnya, namun dengan keyakinan bahwa ia akan kembali. Dunia di luar mungkin penuh rintangan, tetapi tak satu pun yang bisa menghentikannya. Roman siap menghadapi apa pun yang datang, karena dia tahu bahwa di dalam kamar gelap itu, terbaring jiwa yang sepenuhnya berada dalam genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.