Restu di Tengah Rasa Cemas

6 0 0
                                    

Pagi itu, langit biru cerah seakan tidak mencerminkan kegelisahan yang menggelayuti hati Fadli. Sekolah sedang sibuk dengan kegiatan mengajar, namun pikirannya telah melayang jauh ke rencana besar yang ingin ia wujudkan: melamar Ivy. Keputusan itu sudah matang dalam hatinya, tetapi kegelisahan tak dapat ia singkirkan. Fadli tahu betapa pentingnya langkah ini, bukan hanya untuk dirinya dan Ivy, tetapi juga bagi keluarga Ivy.

Fadli selalu merasa bahwa Haris, ayah Ivy, adalah sosok yang protektif. Ivy sering bercerita bahwa ayahnya adalah cinta pertamanya-pelindung yang selalu menjaga dan memberikan rasa aman. Fadli merasa ragu, memikirkan bagaimana orang tua Ivy dan Eryk, adik Ivy, akan bereaksi terhadap lamarannya. Masa lalu kelamnya sebagai seorang yatim piatu dengan trauma keluarga membuatnya tidak yakin akan diterima sepenuhnya. Namun, di satu sisi, ia tahu bahwa Haris dan Indira, ibu Ivy, telah memperlakukannya seperti keluarga.

Setelah jam mengajar berakhir, Fadli memberanikan diri untuk menuju ruang kepala sekolah. Pak Ridwan, seorang kepala sekolah yang bijaksana dan ramah, menyambut Fadli dengan perhatian.

"Pak Ridwan, boleh saya izin pulang lebih awal hari ini?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Ada apa, Fadli? Kamu kelihatan cemas," tanya Pak Ridwan, melihat raut wajah Fadli yang tak biasanya.

"Saya ada urusan penting, Pak. Ini soal Ivy, tapi saya belum ingin dia tahu. Saya berencana untuk bertemu orang tuanya hari ini... untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting." Fadli menjawab dengan jantung berdebar kencang.

Pak Ridwan tersenyum, seakan dapat membaca apa yang ada di benak Fadli. "Kamu mau melamar Ivy, kan?"

Fadli mengangguk malu, senyumnya mengandung rasa gugup. "Iya, Pak. Saya ingin meminta restu orang tuanya."

"Fadli, kamu pria yang baik. Semua orang di sekolah ini bisa melihat betapa besar cinta dan perhatianmu untuk Ivy. Saya yakin orang tuanya akan menyambutmu dengan baik. Dan jangan khawatir, kami semua mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua."

Kata-kata itu membuat Fadli merasa sedikit lebih tenang. Setelah mendapat izin, ia berjalan kembali menuju ruang guru untuk mencari Ivy. Dia perlu mencari alasan yang masuk akal agar bisa pulang lebih awal tanpa menimbulkan kecurigaan.

Ketika Ivy melihat Fadli, ekspresi khawatir segera terpancar dari wajahnya. "Fadli, kamu kenapa? Kelihatannya nggak enak badan," tanyanya dengan nada cemas.

Fadli tersenyum tipis, mencoba terlihat tenang. "Aku nggak apa-apa, Ivy. Cuma perutku agak sakit. Aku mau pulang lebih awal dan istirahat di rumah."

"Kenapa nggak bilang dari tadi? Biar aku yang nyetir mobil buat kamu," tawar Ivy dengan penuh kekhawatiran.

"Aku bisa kok, Ivy. Cuma sakit perut biasa. Kamu masih punya tugas mengajar. Aku nggak mau kamu repot-repot karena aku," Fadli mencoba menenangkannya.

Namun, Ivy menggeleng. "Tapi aku nggak tenang kalau kamu nyetir sendiri dalam keadaan sakit."

Fadli tertawa kecil. "Aku janji nggak akan memaksakan diri. Kalau sakitnya tambah parah, aku bakal telepon kamu. Tapi untuk sekarang, aku bisa urus diri sendiri."

Setelah beberapa saat menatapnya ragu, akhirnya Ivy mengalah meski masih terlihat cemas. "Oke, tapi kamu janji langsung telepon kalau ada apa-apa, ya?"

"Pasti, Ivy. Jangan khawatir," Fadli menjawab sambil tersenyum.

---

### Di Rumah Orang Tua Ivy

Setelah berpamitan dengan Ivy, Fadli melajukan mobilnya menuju rumah orang tua Ivy. Tangannya sedikit gemetar memegang kemudi, ketegangan semakin menguasainya. Begitu sampai di depan rumah, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum masuk. Haris dan Indira menyambutnya dengan senyum hangat.

"Silakan masuk, Fadli," sapa Indira ramah.

Setelah beberapa menit berbasa-basi, Fadli merasa sudah saatnya menyampaikan maksud kedatangannya. Dia mengumpulkan keberanian dan memulai, "Pak, Bu," suaranya terdengar bergetar, "Saya datang ke sini hari ini untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Saya... ingin melamar Ivy, dan saya ingin meminta izin dan restu dari Bapak dan Ibu."

Hening sesaat memenuhi ruangan. Haris dan Indira saling bertatapan sebelum akhirnya senyuman terukir di wajah mereka. Haris kemudian memandang Fadli dengan mata yang hangat dan suara tegas namun penuh kehalusan, "Fadli, sejak awal kami sudah menganggap kamu seperti keluarga. Kami tahu betapa besar cinta dan perhatianmu pada Ivy, dan kami menghargainya."

Indira menambahkan dengan suara yang sedikit bergetar karena haru, "Kamu lelaki yang baik, Fadli. Kami merasa sangat beruntung jika Ivy bisa bersama seseorang sebaik kamu."

Mendengar kata-kata mereka, Fadli merasa seluruh beban yang menghimpit dadanya seakan menguap. Air mata hampir menggenang di matanya. Dia merasa hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tak terukur.

Haris melanjutkan, suaranya penuh kasih, "Fadli, Ivy pernah bilang bahwa aku adalah cinta pertamanya. Sekarang, aku tahu dia telah menemukan cinta yang baru. Aku percaya, kamu bisa menggantikan tugasku untuk melindungi dan mencintai Ivy."

Indira kemudian memeluk Fadli erat-erat. "Kami beruntung menyerahkan Ivy pada lelaki sebaik kamu, Fadli. Jaga dia baik-baik."

"Terima kasih, Pak, Bu," jawab Fadli, terharu. "Saya berjanji akan selalu menjaga Ivy dengan segenap hati saya."

Eryk, yang selama ini diam, tiba-tiba angkat bicara. "Kak Fadli, aku sudah lama menganggap kamu seperti kakakku sendiri. Aku nggak punya masalah dengan kamu melamar Kak Ivy. Aku malah senang karena tahu dia akan bersama orang yang tulus mencintainya."

Mendengar kata-kata Eryk, Fadli merasa benar-benar diterima. Semua rasa cemasnya seolah sirna, digantikan dengan rasa syukur yang mendalam.

---

### Panggilan dari Yale

Dalam perjalanan pulang, saat Fadli sedang merenungkan momen bahagia tersebut, teleponnya berdering. Nama Yale tertera di layar.

"Halo, Bro," sapa Fadli.

"Fadli, aku baru saja dihubungi pihak kepolisian," suara Yale terdengar serius. "Besok sidang putusan untuk kasus Roman."

Fadli terdiam. Keheningan di sekitarnya terasa mencekam. "Lalu, bagaimana?" tanyanya dengan hati-hati.

Yale terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku ragu, Fadli. Apakah Ivy akan datang? Aku takut sidang itu akan memicu traumanya lagi."

Fadli menarik napas panjang, memikirkan hal itu dengan serius. "Aku akan bicarakan dengan Ivy. Dia harus tahu, dan aku akan memastikan dia siap atau tidak untuk menghadapi ini," jawab Fadli, suara penuh ketegasan dan kasih sayang.

Dia tahu, keputusan ini penting dan tidak mudah, tetapi Fadli juga percaya bahwa bersama-sama, mereka akan melewati ini. Cinta dan dukungan dari keluarganya telah memberi Fadli keberanian untuk melangkah lebih jauh.

Malam itu, sambil memandang ke langit yang mulai gelap, Fadli berjanji dalam hatinya bahwa dia akan selalu ada untuk Ivy, mencintainya, melindunginya, dan menyembuhkan segala luka di hatinya.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang