Keterasingan dan Kesetiaan

10 0 0
                                    

**Fadli’s POV**

Hari demi hari berlalu dengan lambat dan penuh rasa sakit. Ruangan rumah sakit yang dingin dan sunyi menjadi saksi pergulatan batin Fadli yang seolah tak pernah berakhir. Setiap hari, ia duduk di kursi kayu di samping ranjang Ivy, menatap wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang masih dipenuhi bekas luka. Dalam hatinya, ia terus bertanya-tanya, mengapa semua ini bisa terjadi. **Mengapa aku begitu terlambat?**. Penyesalan dan rasa bersalah menghantui setiap detik yang ia lalui di ruangan ini.

Setiap pagi, Fadli mengganti bunga di vas, mencoba membawa sedikit keindahan ke dalam ruangan yang penuh dengan kesedihan. Dia berharap ini bisa mencerahkan suasana, bisa membuat Ivy merasa lebih baik. Namun, Ivy tetap menolak semua usaha itu. Dia tidak mau berbicara, tidak mau menatapnya. Dia menolak semua orang yang mendekat, termasuk dirinya. Setiap kali Fadli mencoba merapikan selimut atau menyentuh tangannya, Ivy akan menarik diri, menutup dirinya dalam dinding ketakutan yang semakin tinggi.

Siang hari, ruangan selalu dipenuhi dengan orang-orang yang peduli pada Ivy. Indira dan Haris, orang tuanya, selalu duduk di dekat jendela, wajah mereka menunjukkan kelelahan dan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Eryk, adik Ivy, mencoba memberikan dukungan, berusaha menenangkan kakaknya ketika serangan panik datang. Yale, Danica, dan Jovanna juga sering datang, bersama Mia yang selalu menangis di sudut ruangan. Tapi seberapa banyak pun cinta dan perhatian yang diberikan, Ivy tetap berada dalam dunianya sendiri, penuh dengan ketakutan yang tak terjangkau.

Setiap kali Ivy mengalami serangan panik, tubuhnya gemetar hebat, dan ia berteriak histeris. Nama "Roman" terus terucap dari bibirnya seperti mantra yang menghantui. Setiap kali itu terjadi, Fadli merasa dunianya hancur berkeping-keping. Dia ingin mendekat, ingin merangkul Ivy dan menenangkannya, tapi Ivy selalu menolak. Ia akan memalingkan wajahnya, menangis, bahkan mendorong Fadli menjauh. Tatapan matanya yang penuh ketakutan selalu menghindari pandangan Fadli, seolah ia tak sanggup lagi melihatnya.

**"Kenapa aku tidak bisa lebih cepat?"** pertanyaan itu menghantui Fadli setiap kali Ivy memalingkan wajah darinya. Setiap kali Ivy berteriak dalam ketakutan, setiap kali dia menolak didekati, Fadli merasa semua yang dia lakukan begitu sia-sia. Penyesalan membakar hatinya. "Maafkan aku, Ivy," bisiknya dalam hati, sambil menahan air mata yang selalu menggenang di pelupuk matanya. Tapi Ivy tak pernah mendengar permintaan maaf itu; dia terlalu terjebak dalam ketakutannya.

Malam adalah saat-saat terberat bagi Fadli. Ia memilih untuk bermalam di rumah sakit, tidur di kursi yang sama di samping ranjang Ivy. Setiap malam, dia berharap bisa mendengar Ivy berbicara, mengatakan sesuatu kepadanya. Namun, yang ada hanyalah keheningan dan rasa dingin yang menyelimuti ruangan itu. Ketika Ivy terlelap, Fadli sering meraih tangannya dengan lembut, menggenggamnya sambil berbisik, "Aku di sini, Ivy. Aku akan selalu ada untukmu." Namun, saat Ivy terbangun dan menyadari keberadaannya, dia akan menarik tangannya dengan cepat, wajahnya berubah penuh ketakutan. Fadli merasakan hatinya seperti dihancurkan, diremukkan setiap kali Ivy menolak kehadirannya.

Ketika Ivy tertidur lagi, Fadli mencium keningnya, air mata akhirnya tumpah. "Maafkan aku," bisiknya berulang kali. "Maafkan aku karena tidak bisa menyelamatkanmu." Kata-kata itu tak pernah cukup untuk meredakan rasa bersalah yang menyiksa hatinya. Dia menghabiskan malam-malamnya dengan duduk di sana, menjaga Ivy, menolak untuk beranjak, meskipun Ivy terus menghindarinya.

Keesokan harinya, Indira dan Haris sering mendesaknya untuk beristirahat. "Kamu terlihat sangat lelah, Fadli. Kami bisa menjaga Ivy. Pulanglah, tidurlah dengan nyaman di rumah," ujar Indira dengan penuh kekhawatiran. Tetapi Fadli selalu menolak dengan tegas. "Tidak, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya. Ivy butuh aku," jawabnya, suaranya serak dan matanya sembab karena kurang tidur. Namun, dalam hatinya, ia tahu Ivy tidak menginginkan dia berada di sana. Tapi ia juga tidak bisa menyerah. **Bagaimana aku bisa pergi ketika Ivy masih terjebak dalam penderitaannya?**

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang