Langkah Fadli menyusuri koridor SMP Cemerlang sering kali dipenuhi pikiran tentang Ivy. Di antara rekan-rekan guru yang selalu tampil dengan gaya modis, Ivy tampak berbeda. Dia tidak memerlukan penampilan mencolok atau aksesoris mewah untuk menarik perhatian. Pesona Ivy berasal dari cara ia berinteraksi dengan orang lain, dari ketulusan yang ia tunjukkan, terutama terhadap murid-muridnya. Setiap kali Fadli melihatnya, ia merasa bahwa kecantikan Ivy bukan sesuatu yang hanya tampak di luar, melainkan pancaran keindahan batinnya.
Suatu siang, setelah jam pulang sekolah, Fadli teringat bahwa Ivy sering menghabiskan waktu di taman sekolah sebelum pulang, mempersiapkan pelajaran atau sekadar menikmati ketenangan. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk mencarinya. Ketika tiba di taman, ia menemukan Ivy duduk di bangku, di bawah pohon rindang, dengan tumpukan buku dan kertas di pangkuannya. Cahaya matahari sore menyinari wajahnya dengan lembut, memberikan kesan tenang dan damai yang jarang ia lihat.
Fadli berdiri sejenak, mengamati Ivy yang begitu tenggelam dalam kesibukan. Hari itu, Ivy mengenakan pakaian sederhana. Namun, bagi Fadli, ada sesuatu yang begitu menarik dalam diri Ivy, mungkin karena caranya tersenyum kepada murid-muridnya, atau bagaimana ia berbicara dengan penuh perhatian kepada mereka. Dalam pandangan Fadli, Ivy memiliki kecantikan yang jauh lebih istimewa daripada siapa pun di sekolah ini.
Ketika Ivy menyadari kehadirannya, ia mendongak dan tersenyum hangat. “Pak Fadli! Senang melihat Anda. Mau duduk di sini?” tanyanya dengan ramah.
Fadli mengangguk dan duduk di sampingnya. “Lagi menyiapkan pelajaran untuk besok, ya?” tanyanya sambil melirik tumpukan buku di pangkuan Ivy.
Ivy mengangguk. “Iya, saya sedang mencoba merancang materi yang lebih menarik untuk mereka. Kadang-kadang, mereka butuh sedikit motivasi tambahan agar bisa lebih bersemangat.”
Fadli tersenyum, terpesona oleh semangat Ivy. “Anda benar-benar selalu berusaha keras untuk mereka. Itu luar biasa, Ivy. Tidak semua guru mau meluangkan waktu sebanyak itu untuk memastikan murid-muridnya benar-benar belajar.”
Ivy tersipu dan tersenyum kecil. “Terima kasih, Fadli. Saya hanya merasa pendidikan itu adalah kunci untuk membuka banyak peluang. Jadi, saya ingin memberikan yang terbaik bagi mereka.”
Obrolan mereka berlangsung dengan santai. Fadli semakin menyadari betapa dalamnya cara berpikir Ivy. Ia tidak hanya cerdas dan berbakat dalam mengajar, tetapi juga memiliki pandangan hidup yang mendalam. Setiap kata yang keluar dari mulut Ivy selalu penuh makna, membuat Fadli semakin kagum. Dalam momen-momen seperti ini, Fadli menyadari bahwa kecantikan Ivy terletak pada jiwanya yang kuat dan penuh semangat.
Di tengah pembicaraan, Fadli bercanda, “Ivy, karena usia kita hanya terpaut tiga tahun, bagaimana kalau kita saling memanggil nama saja?”
Ivy tertawa kecil, membuat Fadli tanpa sadar ikut tersenyum. “Baiklah, Fadli,” jawab Ivy. “Saya juga merasa lebih santai jika dipanggil nama.”
Fadli merasa kehangatan mengalir di antara mereka, sebuah kedekatan yang mulai tumbuh. Seiring waktu, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Fadli memperhatikan bagaimana Ivy dengan penuh kesabaran dan kasih sayang berinteraksi dengan siswa-siswa dari berbagai latar belakang. Setiap kali Ivy memberikan nasihat atau dukungan kepada siswa-siswanya, Fadli merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat tulus dalam diri Ivy yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Suatu hari, ketika mereka sedang mendiskusikan proyek kelas di taman, Ivy mulai bercerita tentang mimpinya. “Saya selalu ingin membuat program yang bisa membantu siswa-siswa yang kurang mampu,” ucap Ivy, matanya berbinar penuh harapan. “Mungkin dengan memberi mereka akses ke buku-buku dan pelajaran tambahan.”
Mendengar impian Ivy, Fadli semakin terpesona. “Anda benar-benar ingin membuat perbedaan, ya? Itu sangat menginspirasi,” ujarnya kagum.
Ivy tersenyum dan mengangguk dengan penuh keyakinan. “Saya percaya setiap anak berhak mendapatkan kesempatan yang sama, tidak peduli latar belakang mereka.”
Dalam hati, Fadli mulai membayangkan bagaimana jika mereka bisa bekerja sama untuk mewujudkan mimpi Ivy itu. Ia tidak hanya mengagumi Ivy sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki impian besar untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Sore itu, saat mereka duduk di taman setelah selesai mengajar, Ivy menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Fadli,” panggil Ivy dengan suara lembut. “Anda tahu, kadang saya merasa lelah dengan semua ini. Tapi setiap kali melihat senyum mereka, semua rasa lelah itu hilang. Saya ingin terus menjadi seseorang yang bisa diandalkan oleh mereka.”
Fadli menoleh, menatap Ivy yang tampak begitu tenang namun ada sedikit kelelahan di balik matanya. “Anda luar biasa, Ivy. Sungguh. Tidak banyak orang yang mau memberikan begitu banyak dari dirinya sendiri untuk orang lain.”
Ivy tersenyum, tetapi kali ini ada sedikit kesedihan yang tampak di balik senyumnya. “Mungkin… Tapi saya hanya ingin mereka tahu bahwa ada orang yang peduli pada mereka. Bahwa mereka berharga dan bisa mencapai apa pun yang mereka inginkan.”
Mendengar itu, Fadli merasa hatinya terenyuh. Ia ingin meraih tangan Ivy, ingin mengatakan bahwa dia tidak sendirian, bahwa ada seseorang yang peduli padanya, sama seperti dia peduli pada murid-muridnya. Namun, ia menahan diri, karena ia tahu Ivy membutuhkan waktu untuk benar-benar membuka hatinya.
“Ivy,” kata Fadli perlahan, “saya ingin membantu mewujudkan impian Anda. Saya ingin kita bekerja sama untuk program yang Anda bicarakan. Saya tahu Anda bisa melakukannya sendiri, tapi bukankah akan lebih baik jika kita melakukannya bersama?”
Ivy menatap Fadli, matanya bersinar sejenak sebelum ia tersenyum penuh syukur. “Terima kasih, Fadli. Saya sangat menghargai itu.”
Dalam percakapan mereka yang terus berlanjut, Fadli merasakan getaran perasaan yang semakin kuat. Setiap kali ia melihat Ivy, ia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka. Ia menyadari, kecantikan Ivy adalah perpaduan antara kebaikan hati, kecerdasan, dan ketulusan yang tak ternilai. Dalam pandangan Fadli, itulah yang membuat Ivy sangat istimewa dan tak tertandingi.
Seiring berjalannya waktu, Fadli dan Ivy mulai merencanakan program untuk membantu siswa-siswa yang kurang mampu di sekolah. Setiap langkah dan usaha mereka semakin memperkuat perasaan Fadli bahwa Ivy adalah seseorang yang layak diperjuangkan. Bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena hatinya yang begitu tulus.
Suatu malam, sepulang sekolah, Fadli merenung tentang percakapan mereka hari itu. Ia memikirkan impian Ivy, semangatnya, dan betapa ia selalu siap memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Dalam diam, Fadli berdoa agar ia dapat menjadi sosok yang mampu mendampingi Ivy dalam mewujudkan semua impiannya.
Baginya, Ivy adalah sinar yang menyala dalam kehidupan yang terkadang penuh gelap. Dan di malam itu, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang, Fadli merasa bahwa kehadiran Ivy adalah sesuatu yang ia syukuri, sesuatu yang membuatnya merasa hidup lebih berarti. Dalam hatinya, ia berharap bahwa suatu hari, Ivy akan melihatnya bukan hanya sebagai rekan kerja, tetapi sebagai seseorang yang selalu siap berada di sisinya, mendukungnya dalam setiap langkah dan impian yang ia jalani.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
Fiksi Umum"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.