Dalam Pelukan Harapan

10 0 0
                                    

**Yale’s POV**

Hari-hari di rumah sakit semakin panjang dan penuh ketegangan. Yale telah melihat perubahan kecil dalam diri Ivy, bagaimana ia mulai menerima kehadiran Fadli di sampingnya. Setiap kali Yale berkunjung, Fadli selalu berada di sana, duduk di kursi keras di samping ranjang Ivy, menggenggam tangannya, merawatnya dengan sabar. Yale merasa lega melihat Ivy mulai terbuka terhadap Fadli, tetapi di saat yang sama, ia dihantui oleh kegelisahan yang tak kunjung pergi.

Setiap kali Yale memasuki ruangan, ia bisa merasakan suasana berubah. Ivy, yang tadinya mungkin tenang, seketika tubuhnya menegang, wajahnya memucat, dan matanya menunjukkan ketakutan yang begitu mendalam. Ia akan memalingkan wajah, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha melindungi diri dari kehadirannya.

Saat pertama kali melihat reaksi itu, hati Yale terasa remuk. Dia tahu bahwa Ivy sedang berjuang melawan trauma mengerikan yang menjerat pikirannya, tetapi dia tidak menyangka kehadirannya akan memicu ketakutan itu. Dan ini terus terjadi setiap kali ia datang. Setiap kali ia mencoba mendekati Ivy, Ivy akan membeku, napasnya menjadi tak teratur, dan ia akan berusaha menjauh, terkadang bahkan berteriak agar Yale menjauh darinya.

Yale merasa hancur, marah pada dirinya sendiri, marah pada Roman yang telah mencabik-cabik ketenangan hidup Ivy. Berkali-kali ia ingin menanyakan apa yang terjadi di antara mereka sehingga Ivy ketakutan seperti ini, tetapi dia tahu itu bukan saatnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri di sana, dengan tangan terkepal, melihat Fadli yang dengan sabar mendekati Ivy dan berhasil membuatnya merasa aman.

Malam itu, saat ia hendak pulang, Yale menahan diri di depan pintu. Dia menatap Fadli yang sedang menggenggam tangan Ivy, menatap Ivy dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Perasaan iri bercampur dengan rasa kagum menghantam dirinya. Bagaimana bisa Fadli begitu sabar? Yale selalu dikenal sebagai orang yang emosional, dan kini dia merasa tidak berguna karena hanya mampu memicu ketakutan Ivy setiap kali ia datang.

"Fadli..." panggil Yale dengan suara bergetar, menahan emosi yang melonjak dalam dadanya. Fadli menoleh, sedikit terkejut melihat Yale masih berdiri di sana. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa sesabar itu? Bagaimana kamu bisa tetap di sini meskipun Ivy terus menolakmu?" tanyanya, suaranya mengandung luka dan keputusasaan yang begitu nyata.

Fadli menatapnya, wajahnya lelah tetapi matanya penuh dengan keteguhan. "Karena aku mencintainya," jawabnya singkat, namun penuh makna. "Aku tahu, di balik semua ketakutannya, Ivy masih butuh kita. Dia hanya sedang berjuang, Yale. Jangan menyerah... bahkan jika itu sulit," lanjut Fadli, mencoba memberi Yale kekuatan meskipun dia tahu betapa sulitnya posisi mereka sekarang.

Yale hanya mengangguk perlahan, meskipun hatinya tetap bergolak. Bagaimana mungkin dia bisa sesabar itu? Bagaimana mungkin dia bisa terus datang ke sini meski tahu kehadirannya selalu memicu ketakutan Ivy? Perasaan bersalah semakin dalam, menghantui setiap langkahnya. **Aku gagal melindunginya... aku terlambat.**

Dengan perasaan berat, Yale melangkah menuju pintu, siap meninggalkan ruangan dan membiarkan Fadli menjaga Ivy untuk malam itu. Ia tahu mungkin sebaiknya ia tidak datang terlalu sering, setidaknya sampai Ivy bisa menerima kehadirannya tanpa ketakutan. Namun, ketika tangannya baru saja menyentuh gagang pintu, ia mendengar suara lembut yang hampir tidak bisa ia percayai.

"Yale..."

Yale terhenti seketika. **Apakah aku salah dengar?** pikirnya. Ia membeku di tempat, takut berbalik dan mendapati bahwa suaranya hanya ada dalam benaknya. Tapi kemudian, ia mendengar langkah kaki pelan mendekat. Napasnya terhenti, dan perlahan-lahan, ia berbalik.

Di hadapannya, Ivy berjalan perlahan, wajahnya penuh dengan kecemasan dan air mata menggenang di pelupuk matanya. Yale menatap Ivy, hatinya mencelos. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, Ivy tiba-tiba melangkah cepat ke arahnya dan memeluknya dari belakang.

Yale merasa tubuh Ivy yang gemetar dalam pelukannya, tangannya menggenggam kuat di sekitar tubuh Yale. "Ivy..." Yale berbisik, suara parau dan penuh emosi. Dia berdiri kaku, tidak tahu bagaimana harus bereaksi, takut gerakan sekecil apa pun akan membuat Ivy mundur lagi.

“Ivy, kamu tidak perlu—”

"Aku sempat kecewa karena kamu dan Fadli terlambat menyelamatkanku," Ivy menyela, suaranya lemah namun terdengar jelas di tengah keheningan ruangan. Yale merasakan dadanya seolah diremukkan oleh kata-kata itu. Dia tahu, dia menyadari betapa sakitnya kata-kata Ivy karena itu adalah kenyataan yang terus menghantuinya setiap hari.

"Setiap kali aku melihatmu, Yale...," Ivy melanjutkan, suaranya mulai bergetar hebat. "Setiap kali aku melihatmu, bayangan Roman menyiksaku dan pertengkaran kita malam itu berputar menjadi satu." Ivy terisak, air mata membasahi punggung Yale. "Aku ingat bagaimana kita bertengkar hebat malam itu, dan bagaimana kamu melukaiku tanpa sengaja. Dan kemudian... Roman datang dan menghancurkan semuanya. Aku merasa takut, Yale. Aku merasa kotor dan tak berharga. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi semuanya."

Yale memejamkan mata, merasakan air mata mengalir turun di pipinya. Ia ingat pertengkaran itu, malam di mana emosinya tak terkendali dan ia menyakiti Ivy tanpa sengaja. Itu adalah kenangan yang ingin ia hapus, tetapi kenyataannya malah semakin kuat. **Aku membuatnya takut... dan aku tidak ada di sana saat dia benar-benar membutuhkanku.**

"Ivy, aku... maafkan aku," ucap Yale dengan suara gemetar. "Aku sangat menyesal... aku seharusnya ada untukmu. Aku seharusnya melindungimu." Kata-kata itu keluar dengan penuh rasa sakit, seolah menyayat tenggorokannya. Ia tidak bisa membayangkan betapa besar luka yang telah dia timbulkan pada sahabat yang begitu ia sayangi.

Tiba-tiba, Ivy menarik Yale ke dalam pelukannya lebih erat. "Jangan pergi, Yale...," katanya pelan, isak tangisnya perlahan mereda. "Aku tahu kamu tidak bermaksud menyakitiku. Aku tahu kamu juga terluka... Tapi aku mohon, tetaplah di sini. Jangan tinggalkan aku..."

Yale merasakan kehangatan Ivy mengalir ke dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan beban di dadanya sedikit terangkat. Ivy memintanya untuk tetap tinggal, meskipun masih diliputi oleh ketakutan dan rasa sakit. Ia menutup matanya, membiarkan air mata mengalir lebih deras.

"Aku tidak akan pernah pergi, Ivy," Yale berbisik, tangannya perlahan-lahan membelai punggung Ivy. "Aku akan selalu ada untukmu. Aku berjanji, aku tidak akan meninggalkanmu lagi."

Dalam pelukan itu, mereka berdiri dalam keheningan yang penuh emosi. Yale tahu, perjalanan ini masih panjang dan penuh rintangan. Setiap kali ia melihat Ivy, bayangan masa lalu akan selalu mengintai di sudut pikirannya. Tapi sekarang, dengan Ivy di pelukannya, memintanya untuk tetap tinggal, ia merasa memiliki harapan. Mereka akan melalui ini bersama, tidak peduli seberapa sulitnya. Karena Ivy adalah sahabatnya, dan Yale akan melakukan apa pun untuk membantunya menemukan kedamaian kembali.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang