Cahaya di Balik Dinding

7 0 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan telepon dengan Yale, namun setiap kata yang terucap di sana masih menggema dalam pikiran Fadli. Kisah-kisah masa lalu Ivy yang penuh dengan luka dan pengkhianatan terasa begitu nyata, begitu menyakitkan, seolah-olah setiap kejadian kelam itu membekas di hati Fadli. Ia sadar bahwa Ivy, di balik sosoknya yang pendiam dan tertutup, menyimpan sisi lain yang penuh kesedihan, terluka, dan rapuh.

Namun, pagi ini, saat Fadli tanpa sengaja melihat Ivy sedang mengajar, ia melihat sesuatu yang berbeda. Di hadapan para muridnya, Ivy bersinar dengan cara yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara Ivy terdengar ceria, penuh antusiasme, dan energinya begitu terasa hingga memenuhi ruangan kelas. Fadli berdiri di luar pintu kelas, tak ingin mengganggu, namun tak mampu menahan diri untuk menyaksikan pemandangan ini.

Dari balik pintu, Fadli mengamati bagaimana Ivy menjadi sosok yang begitu hidup. Setiap kalimat yang ia ucapkan, setiap gestur yang ia tunjukkan, membawa cahaya bagi para muridnya. Ivy tampak seperti sosok yang berbeda dari Ivy yang ia kenal di ruang guru—bukan lagi wanita pendiam yang tampak selalu menjaga jarak, melainkan sosok yang penuh kasih dan peduli pada murid-muridnya.

Ketika seorang siswa meminta Ivy untuk menjelaskan kembali, Ivy menjawab dengan sabar, memberikan perhatian penuh pada setiap anak di kelas. Satu per satu, para siswa mengajukan pertanyaan, dan Ivy melayani mereka dengan senyuman tulus yang membuat Fadli terkesima. Dia menyaksikan Ivy bercanda, berbagi tawa dengan para muridnya, menciptakan suasana yang nyaman dan penuh kehangatan di dalam kelas.

Sesekali, Ivy berjalan mengitari ruangan, menyapa setiap murid dengan tatapan lembut dan senyuman hangat. Ketika seorang siswi kecil memintanya untuk berfoto bersama, Ivy mengeluarkan ponsel dan tersenyum di depan kamera, berfoto bersama murid-muridnya dengan kebahagiaan yang tampak begitu tulus. Ivy yang di depan para siswa bukanlah sosok yang penuh kehati-hatian seperti yang biasa Fadli lihat; ia adalah seseorang yang benar-benar peduli, yang menginginkan setiap anak di kelasnya merasa dihargai dan dicintai.

Di luar pintu kelas, Fadli merasakan hatinya bergetar. Ini adalah Ivy yang selama ini tersembunyi di balik dinding pertahanan yang ia bangun begitu kokoh. Ivy yang begitu tulus dan penuh cinta, seorang guru yang memberikan segalanya untuk murid-muridnya, meskipun ia sendiri mungkin merasa hampa. Fadli menyadari bahwa di kelas inilah Ivy menemukan tempat di mana ia bisa bebas menjadi dirinya, tanpa takut disakiti atau dikhianati.

Ketika bel istirahat berbunyi, Fadli menyaksikan para siswa berkerumun di sekitar Ivy, memohon agar ia menjadi wali kelas mereka. Beberapa siswa dari kelas lain pun ikut mendekat, mencoba mendapatkan perhatian dari Ivy. Wajah Ivy sedikit memerah mendengar permintaan-permintaan itu, namun ia hanya tersenyum dan berkata lembut, “Kita lihat saja nanti, ya.”

Fadli berdiri diam, menyaksikan Ivy yang dikelilingi oleh anak-anak yang begitu mencintainya. Ia merasa ada kekaguman yang mendalam terhadap Ivy, seorang wanita yang telah melalui banyak luka, namun masih mampu memberikan cinta dan perhatian kepada orang lain. Ia tahu, ini adalah sisi dari Ivy yang hanya muncul ketika ia bersama para muridnya, di tempat di mana ia merasa aman dan dihargai.

Hari berikutnya, Fadli mulai memperhatikan Ivy dengan pandangan yang berbeda. Ia melihat bagaimana Ivy lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan saat istirahat. Dari cerita Mia dan Dion, Fadli tahu bahwa Ivy sering memberikan les tambahan kepada murid-muridnya tanpa meminta bayaran. Ivy mengorbankan waktu istirahatnya untuk membantu mereka, memastikan mereka bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Ketulusan Ivy dalam mengajar membuat Fadli semakin tersentuh, semakin tergerak untuk mengenal Ivy lebih jauh.

Di perpustakaan, Fadli melihat Ivy duduk di antara beberapa murid, menjelaskan materi dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan Ivy yang dengan telaten menjawab setiap pertanyaan, menyesuaikan caranya mengajar dengan kebutuhan masing-masing murid. Wajah Ivy tampak tenang, penuh kasih sayang, sebuah sisi lembut yang jarang terlihat di luar ruang kelas. Fadli menyadari, di sinilah Ivy menemukan kebahagiaannya—di tengah-tengah anak-anak yang ia cintai dan pedulikan dengan begitu tulus.

Mengamati Ivy dari kejauhan, Fadli merasakan perasaan kagum yang semakin mendalam. Ivy mungkin menyimpan luka di dalam dirinya, namun ia memilih untuk tetap bersinar di hadapan murid-muridnya, memberikan kehangatan dan cinta meski dirinya sendiri masih dibayangi masa lalu yang menyakitkan.

Sepulang sekolah, Fadli merasakan dorongan kuat untuk berbicara dengan Ivy. Di ruang guru, ia melihat Ivy sedang membereskan buku-bukunya, tampak sibuk namun tenang. Ia menghampirinya, mencoba memulai percakapan dengan hati-hati.

“Bu Ivy,” sapa Fadli, suaranya lembut dan penuh perhatian. “Tadi saya sempat melihat Anda mengajar di kelas. Anak-anak benar-benar menyayangi Anda.”

Ivy menoleh, tampak terkejut sejenak sebelum tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak Fadli. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk mereka.”

Fadli tersenyum, merasakan kehangatan dalam nada suara Ivy. “Saya bisa melihat itu. Anda adalah guru yang luar biasa. Murid-murid Anda sangat beruntung memiliki Anda di sini.”

Ivy hanya mengangguk, masih tampak canggung menerima pujian dari Fadli. Ia tampak terkejut, seolah tak menyangka bahwa ada orang yang memperhatikan apa yang ia lakukan. Fadli bisa merasakan ketidakpastian di tatapan Ivy, keraguan yang seolah menjadi pertahanan diri dari semua yang ia alami di masa lalu. Meski begitu, hari ini Fadli melihat sedikit celah dalam dinding Ivy, celah kecil yang menunjukkan bahwa ia mulai membuka diri, meski sangat perlahan.

“Jika Anda butuh teman bicara atau sekadar seseorang untuk mendengarkan, saya akan selalu ada,” lanjut Fadli dengan nada lembut, mencoba meyakinkan Ivy tanpa memaksa. “Saya tahu Anda punya batasan, dan saya menghormatinya. Tapi saya ingin Anda tahu, saya bersedia mendengarkan kapan pun Anda butuh.”

Ivy memandang Fadli dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah berusaha memahami ketulusan di balik kata-katanya. “Terima kasih, Pak Fadli,” jawab Ivy pelan, nada suaranya kali ini terasa lebih lembut. “Saya sangat menghargai itu.”

Fadli tersenyum, merasa bahwa ia telah mencapai langkah kecil dalam mendekati Ivy, dalam menggapai hati yang selama ini terkunci rapat di balik dinding ketakutan dan luka. Meskipun masih banyak hal yang harus ia hadapi, hari ini ia merasa optimis bahwa sedikit demi sedikit, Ivy mulai menerima kehadirannya.

REVERBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang