Pagi itu, Fadli melangkah menuju kelas dengan semangat seperti biasa, siap mengajar dan menjalani rutinitas di SMP Cemerlang. Namun, ketika melewati kelas tempat Ivy mengajar, telinganya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Suara Ivy, yang biasanya lembut dan penuh kesabaran, kali ini terdengar tegas, bahkan marah. Fadli tertegun, menghentikan langkahnya, dan rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat. Dengan hati-hati, ia menempelkan telinganya ke dinding, berusaha mendengarkan apa yang sedang terjadi di dalam.
“Siapa yang berani bilang dia miskin?” suara Ivy terdengar tajam dan penuh emosi. “Dan siapa yang bilang dia yatim? Orangtua mana yang mau anaknya terlahir miskin? Mereka pasti berjuang agar anak-anak mereka tidak hidup susah!”
Nada penuh kemarahan dalam suara Ivy itu menggema di hati Fadli. Ivy bukanlah sosok yang mudah tersulut emosi. Melihatnya marah seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Fadli merasakan jantungnya berdegup kencang, dan tiba-tiba ia teringat masa lalunya yang penuh dengan luka, saat harus kehilangan ibunya yang meninggal di depan matanya dan ayahnya yang tewas di penjara karena perkelahian. Kenangan pahit itu seakan menghampirinya lagi, mengaitkannya pada rasa sakit yang ia sembunyikan.
“Ibu minta maaf, Rizal.” Suara Ivy terdengar kembali, kali ini lebih lembut, penuh ketulusan. “Ibu tahu ini sulit, tapi kamu tidak sendiri. Kita di sini bersama-sama.”
Fadli melihat dari celah pintu bagaimana Rizal, seorang siswa yang berdiri di tengah kelas, menundukkan kepala dengan air mata yang perlahan jatuh di pipinya. Ivy mendekat, menepuk pundak Rizal dengan penuh kasih sayang, berusaha memberinya dukungan. Dalam sekejap, suasana kelas berubah menjadi penuh haru.
Para siswa lain, yang tadinya hanya diam, kini tampak tersentuh oleh momen tersebut. Beberapa dari mereka bahkan mulai menangis, terharu dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Ivy berdiri di depan kelas, menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang penuh kehangatan dan empati.
“Kalau kalian merasa sendiri, ingatlah bahwa kalian punya orang-orang yang sayang pada kalian,” kata Ivy dengan nada yang lembut namun tegas. “Dan kalau kalian tak punya orang tua, jadikanlah diri kalian sendiri sebagai alasan untuk berjuang. Jangan biarkan orang lain meremehkan kalian atau mereka yang sudah pergi.”
Fadli berdiri di luar kelas, mendengarkan setiap kata Ivy dengan hati yang bergetar. Kata-kata Ivy tidak hanya berbicara pada murid-murid di dalam kelas, tetapi juga menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya, seakan meresap ke dalam luka-luka lama yang selama ini ia coba tutupi.
Sebelum Fadli sempat berpaling, bel berbunyi, menandakan akhir pelajaran. Satu per satu, para siswa bangkit dari tempat duduk dengan perasaan campur aduk. Beberapa dari mereka tampak menyeka air mata, sementara yang lain menatap Ivy dengan rasa syukur dan hormat yang dalam. Ivy menatap mereka, tersenyum lembut sambil menyentuh pundak beberapa siswa yang melewatinya, seakan ingin meyakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian.
Fadli merasa hatinya tersentuh, seperti ada sesuatu yang menggugah rasa empatinya. Dia mengambil langkah maju, mendorong pintu kelas dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang kini sunyi. Ivy menoleh ke arahnya, terkejut melihat kehadiran Fadli di sana. Wajahnya masih menyisakan lelah, tetapi ada senyum tulus yang perlahan muncul di bibirnya.
“Ivy,” panggil Fadli, suaranya pelan namun penuh kekaguman, “saya tidak pernah melihat Anda seperti ini sebelumnya.”
Ivy menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. “Kadang mereka perlu diingatkan, Fadli,” jawabnya, suaranya bergetar sedikit tetapi masih tenang. “Kata-kata bisa sangat menyakitkan.”
Fadli mengangguk, merasakan kebanggaan yang dalam dan juga rasa terharu. “Anda melakukan hal yang benar, Ivy,” ucapnya, menyadari bahwa di depannya ada seorang wanita yang tak hanya mengajar, tetapi juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya untuk para murid.
“Terima kasih,” Ivy tersenyum, matanya lembut menatap Fadli. “Saya hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Semua orang punya kesulitan dalam hidup, dan mereka harus menghargai setiap perjuangan, bukan mengolok-oloknya.”
Fadli mendekat, lalu duduk di salah satu bangku yang kosong, menghadap Ivy. “Apa yang Anda lakukan di sini, Ivy... ini adalah bentuk cinta yang jarang sekali kita temui.”
Ivy tersenyum tipis, tetapi di matanya terlihat kelelahan yang sangat dalam. “Mereka butuh seseorang yang peduli, Fadli,” ujarnya lirih. “Dan saya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam kesulitan mereka. Itu saja.”
Fadli merasa terenyuh mendengar perkataan Ivy. Ia dapat merasakan ketulusan yang begitu mendalam dari setiap kata-katanya. Wanita di hadapannya ini bukan sekadar guru, tetapi seseorang yang memiliki cinta dan kepedulian yang luar biasa terhadap anak-anak yang ia ajar.
Setelah momen penuh keheningan itu, Ivy menatap Fadli dan berkata dengan nada yang lebih ringan, “Maaf jika saya terlihat emosional tadi. Biasanya saya tidak seperti itu.”
“Tidak, jangan minta maaf, Ivy,” jawab Fadli, menatapnya dengan tatapan lembut. “Tadi, Anda menunjukkan kepada mereka bahwa Anda adalah seseorang yang benar-benar peduli. Mereka sangat beruntung memiliki Anda.”
Ivy tersenyum, kali ini dengan ketulusan yang memancar dari hatinya. “Terima kasih, Fadli,” ucapnya pelan, merasa sedikit lebih tenang.
Fadli menatap Ivy dengan perasaan yang semakin kuat. Di balik segala kerumitan hidup Ivy, dia menemukan seseorang yang penuh dengan cinta dan perhatian yang tidak pernah ia temukan sebelumnya. Dan saat itu, ia merasa semakin tertarik pada Ivy, bukan hanya sebagai sosok yang menginspirasi, tetapi sebagai seseorang yang mengajarkan banyak hal padanya, terutama tentang keberanian untuk peduli.
Sepulang sekolah, Fadli terus teringat pada momen yang baru saja terjadi. Ivy telah membuka matanya tentang betapa pentingnya menunjukkan empati dan kasih sayang, terutama kepada mereka yang membutuhkan. Ia merenung di ruang tamunya, membayangkan bagaimana perjalanan Ivy yang penuh luka dan kehilangan telah membentuknya menjadi sosok yang begitu kuat dan peduli.
Malam itu, Fadli kembali memikirkan kata-kata yang Ivy ucapkan di kelas. “Orangtua mana yang mau anaknya terlahir miskin?” Kalimat itu seolah-olah menembus hatinya, mengingatkannya pada masa lalu dan kehilangan yang ia alami. Tapi di balik semua itu, ia juga melihat harapan. Harapan bahwa seseorang yang terluka masih bisa menjadi sumber kekuatan bagi orang lain.
Dalam kesunyian malam, Fadli menyadari bahwa kehadiran Ivy dalam hidupnya adalah berkah yang tidak pernah ia duga.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVERB
General Fiction"REVERB" adalah kisah tentang perjuangan, dukungan, dan menemukan cinta dalam diri sendiri dan orang-orang terkasih.