🥨𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰!🥨
Hari terus berlalu silih berganti, masih sama dengan hari-hari libur sebelumnya. Sore ini Nadya memutuskan untuk pergi ke suatu tempat.
Tempat yang tenang, juga indah.
Merenungkan semua perkataan yang diucapkan oleh Kakaknya. Nadya berpikir, semua perkataan Kakak nya itu memang benar. Benar sekali. Itu adalah perkataan yang memang fakta. Tak ada yang salah.
Pikiran nya terus saja memutar perkataan Mahen. Itu selalu terngiang-ngiang di benak nya.
Cukup, Nadya ingin mengosongkan pikiran, dan membuang beban yang ada di pikiran. Tolong kali ini saja biarkan Nadya sendiri.
"Umma, Nadya izin pergi ke taman depan sana, ya. Assalamu'alaikum." pamitnya dan menyalimi punggung tangan Ibundanya
Tak lama, setelah Nadya berpamitan Mahen datang. "Lia mau kemana?" tanyanya.
"Mau ke taman depan katanya," jawab Umma.
Mahen ingin mengikuti Nadya dari belakang, langkahnya terhenti ketika tangan nya di cegat oleh Umma.
"Mau kemana?" Mahen hanya menatap ke arah luar. Umma paham apa yang di maksud dengan putra sulungnya ini.
"Biarin aja, Lia pasti lagi butuh waktu sendiri. Kenapa sih kamu? Ada apa sebenarnya?" tanya Umma yang penasaran karena tak ada satupun yang ingin memberi
Tahu Umma perihal ini.
"Lia juga tadi pas pamit mukanya di tekuk gitu, kayak lagi ada sesuatu yang Umma gatau itu apa." ucap Umma. Insting seorang Ibu itu tidak pernah salah, atau meleset. Ibu juga pasti merasakan apa yang di rasakan oleh anaknya.
"Ada apa? Coba cerita. Umma nggak tau apa yang jadi permasalahan kalian. Tapi apa salahnya cerita? Tell me, Nak. Ceritakan semua yang menjadi permasalahan kalian selama ini yang ditutup-tutupi."
Mahen mulai menceritakan dari awal mengapa Adiknya itu seperti sekarang ini. Selama Mahen menceritakan semua yang terjadi, Umma hanya menyimak, mendengarkan nya dengan baik.
"Jadi ini semua alasannya? Kenapa kamu atau Nadya tidak mau cerita?"
Mahen mengangguk. "Nadya cuma takut kejadian lalu itu terulang, Umma. Dia nggak mau hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Mangkanya dia suruh Mahen diam dan tidak menceritakan semuanya ke Umma ataupun ke Ayah."
"Ya Allah, Nak. Karena itu juga Lia jadi takut buat cerita?" lagi-lagi Mahen mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi, Umma. Perkataan Mahen ini kayaknya sudah menyakiti hati Lia. Mahen takut. Lia itu orangnya gampang kepikiran, mangkanya Mahen selalu pelan-pelan buat menasehati, takut menyakiti hati Lia," ucap Mahen jujur, sejujur-jujurnya.
Betul, memang betul sama apa yang di ucapkan nya tadi. Nadya memang gampang sekali memikirkan hal-hal yang menurut salah padahal tidak sama sekali.
Tidak enak sebenarnya menjadi seperti ini.
Umma tersenyum, lalu tangan nya beralih mengusap punggung Mahen. "Engga, Nak. Hanya saja, ucapan kamu lain kali harus tetap di jaga, karena, takut menyakiti hati lawan bicara kamu,"
"Apa yang kamu ucapkan itu benar kok, nggak ada yang salah. Umma juga sudah pernah bilang ke Nadya sama seperti yang kamu nasehati Lia." lanjut Umma.
"Paham, ya?" Yang di tanya hanya menganggukan kepalanya.
"Sudah, ini biar Umma. Biar Umma yang face to face sama Lia, ya. Kamu tenang aja, Mas. Tidak perlu khawatir," ucap Umma. Sungguh apa yang Umma ucapkan membuatnya sedikit lebih lega.
Mahen akan membelikan sesuatu agar Adiknya itu kembali seperti yang ia kenal. Apapun itu, yang menyangkut Adiknya, ia akan lakukan. Segala hal akan ia halal kan agar Adik kesayangan itu senang, dan bahagia.
Baginya, kebahagiaan Adiknya lah yang terpenting. Ia tidak memperdulikan dirinya. Dirinya melihat Adik nya itu senang saja ia juga merasakan kesenangannya.
Sesederhana itu, memang.
****
Di sore hari yang indah ini, Nadya memutuskan untuk menghirup udara segar di taman. Angin sepoi-sepoi menghembus hingga baju yang ia kenakan oleh Nadya menari mengikuti kemana arah angin itu menerpa.
Sejuk, sejuk sekali. Di hirupnya udara itu dan menghembuskannya secara perlahan.
Tanpa Nadya sadari, ada seorang laki-laki yang menatapnya dengan begitu kagum. Laki-laki bermata coklat pekat itu berjalan menuju kearahnya.
Laki-laki itu tersenyum, lalu menyapa Nadya, "hai, Mbak Nadya!" ucapnya. Kini laki-laki itu sudah berada tepat di sampingnya dengan jarak yang memisahkan keduanya.
Nadya tersenyum, kembali menyapa si laki-laki yang tak jauh dengan jaraknya.
"Apa kabar?" dahi Nadya berkerut bingung. Mengapa laki-laki yang menjadi lawan bicaranya ini mengenalinya? Aneh.
"Mas nya kenal sama saya?" tanya Nadya dan laki-laki itu mengangguk.
"Kita ini satu kelompok, Mbak. Lupa, ya? Masa lupa sih?"
Nadya berusaha untuk mengingat siapa sosok laki-laki yang berada di sini.
"Ohh, maaf-maaf. Jarang keliatan sih, jadi lupa-lupa inget." Setelah berpikir cukup keras, kini Nadya sudah mengingatnya.
"Kemana aja, toh, Mas. Jarang keliatan," lanjut Nadya.
"Gapapa, di maklumi aja Mbak. Saya baru selesai mondok, mangkanya jarang keliatan, dan baru muncul sekarang." katanya.
"Dulu pas masih caberawit (kecil) kita bareng, tau." ucap si laki-laki itu masih terus berusaha memberi petunjuk.
Mata Nadya membulat, mengingat siapa sosok yang jadi lawan bicaranya ini.
"MAS HANIF!" Tebak Nadya sambil menjentikkan jarinya.
Laki-laki yang bernama Hanif itu terkekeh kecil, "Nggih, Mbak. Saya Hanif."
"Ternyata kamu ndak lupa, yo, Mbak."
"Ya, mana mungkin toh, Mas?" ucap di akhir dengan kekehan nya.
"Lalu tadi apa, kalau bukan lupa, Mbak."
"Lupa-lupa inget sama wajahmu, Mas. Habis ngga pulang-pulang sih. terlalu nyaman ya di pondok, mangkanya ngga pulang,"
"Engga juga sih, Mbak."
"Sekarang udah netep disini?" tanya Nadya saat keduanya saling diam beberapa menit.
"Iya, udah netep disini, tinggal tugasan." jawabnya.
"Tugasan di sini aja, kangen juga sama daerah disini."
"Caberawit sekarang, lucu-lucu. Ku rasa, mereka akan nyaman di ajarin sama mubaligh yang kayak Mas-nya," Hanif terkekeh mendengar penuturan yang di berikan oleh Nadya.
"By the way, Mbak kenapa sendirian disini? Sambil ngelamun pula, ada masalah, ya?" tanyanya yang sedikit penasaran.
"Engga, mau me-refreshkan pikiran aja. Jenuh soalnya sama tugas sekolah." bohong Nadya.
"Jangan di ambil pusing, enjoy aja. Nikmati masa sekolah, karna sekolah tidak akan terulang lagi, Mbak." tutur Hanif.
Kalau boleh jujur, penuturan yang di berikan oleh Hanif sangat sopan. Bisa di bilang sih, selembut kain sutra. Ah itu pun kalah.
Nadya rasa, ia mulai mengagumi pria lain. Mulai sekarang, Nadya akan menekun kan prinsip bahwa “Harus yang sealiran, dan sejalan.”
Lalu, bagaimana dengan yang lalu? Sudahlah, mau bagaimanapun juga ia tidak bisa menentang ketentuan yang sudah di berikan kepada Sang Ilahi.
Setelah lama berbincang, kini Nadya kembali ke rumah karena sebentar lagi akan masuk waktu azan Maghrib."Pamit pulang duluan, nggih, Mas. Nanti kalau ada waktu bisa ngobrol lagi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
🥨🥨🥨🥨🥨
akhirnya, muncul juga ni tokoh baru. punyaku ya punyaku 🧚🏻♀️🧺🩰
KAMU SEDANG MEMBACA
HANA [HAIKAL & NADYA]
Teen Fictionʚɞ ♡₊˚ 🦢・₊✧ ʚɞ DIUSAHAKAN FOLLOW TERLEBIH DULU, SEBELUM MEMBACA !! Cinta dalam diam? Mencintai seorang laki-laki yang berbeda aliran? Nadya Aurelia, gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan ini secara tiba-tiba mengagumi seorang...