Chapter 40

357 57 18
                                    

###

Suasana di lokasi kejadian perlahan mulai tenang setelah ambulans melaju pergi, membawa Gika yang tak sadarkan diri. Hujan masih mengguyur deras, menciptakan genangan air di sepanjang jalan. Lampu-lampu kendaraan yang berhenti bersinar redup, menciptakan bayangan yang bergetar di permukaan basah.

Orang-orang yang awalnya berkumpul kini mulai menyebar, tetapi beberapa tetap berdiri di tepi jalan, wajah mereka penuh kecemasan. Beberapa berbisik, saling bertukar cerita tentang apa yang baru saja terjadi, sedangkan yang lain tampak tertegun, masih mencoba mencerna kenyataan pahit yang mereka saksikan.

Polisi tiba untuk mengamankan lokasi. Mereka mengambil keterangan dari para saksi, berusaha mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang apa yang menyebabkan kecelakaan itu. Suara sirene ambulans yang mulai menjauh perlahan tergantikan oleh suara hujan yang menghantam jalanan.

Aroma hujan bercampur dengan bau rempah dari kendaraan yang terparkir, menciptakan suasana yang sejuk namun mencekam.

Di tengah kerumunan, satu mobil di antara deretan kendaraan yang terjebak kemacetan, terlihat diam, pengemudinya termenung di balik kursi kemudi. Seolah kemacetan yang sekarang ia rasakan tak berpengaruh apa pun pada hatinya yang berantakan.

"Aku dan Nathan... kami nggak cuma sekadar dekat, Kanin."

"Kami memang belum resmi bertunangan, tapi kami sudah bicara soal masa depan. Kami udah bicara soal rencana kami."

Kanin duduk membeku, tatapannya kosong, tak peduli pada klakson kendaraan lain yang sesekali membahana di kejauhan. Hujan deras mengetuk-ngetuk kaca depan mobilnya, tapi semua terdengar jauh, seperti teredam oleh kekalutan di dalam dirinya.

Saat matanya tertuju pada satu mobil yang diberi garis kuning di depan sana oleh polisi, jantungnya berdebar keras. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dadanya mendadak terasa sesak, udara serasa terhenti. Itu… mobil Gika? pikirnya, namun otaknya menolak untuk menerima kenyataan.

Napas Kanin tercekat saat akhirnya plat nomor itu jelas terlihat di matanya. Platnya... plat mobil Gika. Tubuhnya seketika dingin, seolah seluruh darah di tubuhnya berhenti mengalir. Tangan Kanin gemetar, matanya melebar, seolah berharap apa yang dilihatnya salah—bahwa hujan atau pandangannya yang buram telah mempermainkannya. Tapi tidak. Semua begitu nyata.

Panik merayap, menyesakkan rongga dadanya. Ia mencengkeram setir lebih erat, seakan mencari pijakan di tengah badai perasaan yang tiba-tiba melanda. Kepalanya berputar, suara di sekitarnya menghilang, terserap oleh rasa takut dan cemas yang menggulungnya. "Ya Allah… Gika… Gika kecelakaan?" Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya, suara yang nyaris tak terdengar, penuh dengan kepanikan dan penyesalan yang tak tertahan.

Kanin menggigit bibirnya, perasaan bersalah menghantamnya begitu keras. “Seharusnya gue tahan Gika untuk nggak pergi dulu sampai hujan reda,” pikirnya dengan getir. Dadanya terasa semakin sesak, pikirannya dipenuhi dengan adegan-adegan terakhir mereka---kata-kata yang diucapkan dengan dingin, penuh ketegangan tentang Nathan.

Dia tidak pernah bermaksud menyakiti Gika, tapi sekarang semua terasa seperti kesalahan besar.

Lampu-lampu jalan berpendar di tengah kegelapan, sementara hujan terus menetes, seolah menciptakan tirai yang menyembunyikan kesedihan yang menyelimuti lokasi itu. Dalam keheningan yang penuh ketegangan, semua orang tahu bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang tidak akan terlupakan.

###

Gika terkekeh. "Berasa dipingit deh. Gika nggak lama, kok," katanya nyengir, berusaha menciptakan suasana santai, ia menghirup bunga dari Nathan sebelum meletakkannya di meja rias.

Partner [Nathan Tjoe A On]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang