Manusia dengan otak cetek akan selalu menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang mereka dengar.
###
Semilir angin berhembus ke kulit Gika yang mengenakan dress tanpa lengan dengan panjang selutut. Gika membawa Nathan ke gazebo bermodel minimalis modern di belakang rumahnya, menghadap langsung ke arah kolam renang berbentuk persegi panjang yang airnya terlihat bersih dan tenang.
Bukan tanpa alasan Gika mengajak Nathan untuk keluar dari dua celotehan ibu-ibu di dalam itu. Selain karena melihat wajah Nathan yang kentara mau cepet-cepet pulang, Gika juga merasa dia butuh bicara serius dengan pria itu mengenai perjodohan mereka, karena ini menyangkut masa depan keduanya.
"Saya sebenarnya udah merhatiin kamu dari di ruang makan tadi, kamu kelihatan nggak nyaman di sana makanya saya ajak ke sini," ucap Gika begitu keduanya menjatuhkan bokong mereka di sofa gazebo.
"Thanks," balas Nathan.
"Mas Nathan berarti dua bersaudara, ya?" Gika mulai basa-basi, memecah kecanggungan.
Nathan mengangguk. "Saya punya adik perempuan namanya Nada, usianya sekarang 26, baru dua bulan lalu menikah."
Gika ber-oh kecil. "Tinggal di mana?"
"Masih seputaran Jakarta, daerah Pondok Indah, karena memang bisnis suaminya banyak di daerah sini. Kamu sendiri?"
"Apa?"
"Berapa bersaudara?"
"Dua juga, tapi saya anak kedua, punya abang sudah menikah, usianya 35 tahun."
"Tinggal di?"
"Waktu tahun pertama menikah tinggal di sini, tapi setelah rumahnya yang di Kemang udah jadi langsung pindah ke sana."
Nathan mangut-mangut. "Kalau papa? Saya nggak lihat dari tadi."
"Papa sudah meninggal 3 tahun lalu. Sakit."
"Maaf. Turut berduka."
Gika mengangguk. "Btw, Mas Nathan bakal menghabiskan musim libur di sini?" tanya Gika.
Nathan menghembuskan napasnya terlihat berat. "Ya, meski 2 tahun belakangan ini rasanya beda, ketika pulang ke rumah justru malah rasa tertekan yang saya dapat."
Gika tertawa kecil. "Di terror nikah, ya?"
Nathan tersenyum kecut. "Bukan cuma di terror, tapi saya berasa barang nggak laku yang dipromosikan ke sana-kemari, di kenalin ke sana-ke sini," kekehnya.
"Ya gitu, lah. Jangankan seusia kita, Mas. Umur 25 tahun aja udah di cecar terus kapan nikah, belum celotehan-celotehan pedesnya. Di sini tuh ya, kalau masih lajang di usia kayak kita berasa aib keluarga. Tapi giliran ada orang yang meninggal se-usia kita, komentar mereka pasti aduh kasian, mana masih muda. Nyebelin nggak, sih?" cerocos Gika sekalian mengeluarkan unek-uneknya.
Nathan tertawa pelan. "Saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar daripada di negri sendiri, dan saya menyadari betapa sangat jauh perbedaan culture di antara keduanya. Di sana, cohabitation diterima. Jadi sedikit shock waktu tahu teman-teman saya yang di sini pada memutuskan menikah muda," ucap Nathan.
"Di sini masih kental agama dan culture, Mas. Karena di negara kita ini mayoritas masyarakatnya menganut agama. Kalau kata teman saya yang islam, dalam ajaran mereka, menikah untuk menyempurnakan separuh ibadah."
Nathan hanya mangut-mangut, sepertinya Gika tipe perempuan yang enak untuk di ajak bertukar pikiran. Berbeda dengan perempuan-perempuan yang mamanya kenalkan sebelum Gika. Boro-boro bisa di ajak ngobrol, sepanjang berdua justru mereka malah minta foto, tandatangan, follback ig, dan cuma sibuk nyengir-nyengir menatap Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner [Nathan Tjoe A On]
FanfictionNathan Tjoe A On, pria yang saat ini sudah menginjak usia 32. Status lajang masih tersemat untuknya. Hatinya belum bisa menerima perempuan lain selain sahabatnya, Kanindya Hanum Mega. Namun apa boleh buat? Mereka tidak bisa bersama karena cinta mere...