###
"Malah senyum-senyum," tegur Nathan sambil mencubit pipi Gika, membuatnya terkejut dan geli.
"Emang nggak boleh?" Gika menjawab dengan tawa, semakin tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dia segera beralih fokus ke hadiah yang diberikan Nathan, matanya kembali berbinar saat melihat gaun, tas, sepatu, dan aksesori yang mengagumkan itu.
Dia lalu kembali menatap kekasihnya. "Mas, kamu serius nggak mau kasih tau aku? Dikit aja, pleease," rengeknya manja, mencoba memancing informasi.
"Tunggu aja lusa," jawab Nathan dengan senyum misterius, menikmati rasa penasaran Gika yang semakin menjadi.
"Pelit," Perempuan itu cemberut, menatap Nathan dengan tatapan seolah merajuk. Namun, senyum kecil di sudut bibirnya mengkhianati ekspresi ngambeknya.
Nathan tertawa pelan, mengacak rambut Gika. "Biar seru."
Gika mendengus kecil, tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. "Iya, iya. Tapi kalau nggak sesuai ekspektasi, aku bakal protes, lho!"
Nathan mengangguk sambil tersenyum. "Deal. Tapi Mas yakin kamu bakal suka."
"Oke, lusa! Aku nggak sabar! Bisa dicepetin nggak sih harinyaaa?!"
Nathan tertawa kecil melihat tingkah kekasihnya yang begitu menggemaskan. "Sabar, Gi. Nikmati aja proses nungguinnya."
Gika mendesah, pura-pura kesal. "Proses nunggu? Mas, ini penyiksaan namanya!"
Nathan hanya tersenyum, menikmati setiap detik melihat betapa lucunya Gika saat tidak sabar.
Seorang perempuan terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya tampak pucat, seperti selembar kertas yang hilang warna. Cahaya lampu neon memantul lembut di kulitnya, tetapi tidak menghapus kesunyian yang menyelimuti ruangan.
Matanya terpejam rapat, tak ada sinar yang biasa menyala di sana, seolah semua keceriaan telah hilang bersamanya. Bibirnya, yang dulunya selalu mengukir senyum hangat, kini membeku dalam hening yang menyakitkan. Suara mesin detak jantung berdetak monoton, seperti lagu sedih yang terus diputar tanpa henti, mengingatkan semua orang bahwa harapan mereka masih tersisa, meski sangat tipis.
Tangannya terletak lemah di samping tubuhnya, tak bergerak, seakan meminta sentuhan kasih sayang untuk membangunkannya kembali dari kegelapan ini. Sayanggika Nathalie, yang biasa penuh semangat, kini terkurung dalam kesunyian, meninggalkan hanya bayang-bayang kenangan indah yang menyayat hati bagi mereka yang mencintainya. Keberadaannya di sini menjadi pengingat betapa rapuhnya kehidupan, dan betapa semua hal yang pernah ada bisa lenyap dalam sekejap.
Nathan duduk di samping ranjang Gika, terdiam dalam kesunyian yang menghimpit. Air mata menggenang di bola matanya yang kini sayu, penuh kepedihan. Ia menatap wajah Gika yang pucat, seolah cahaya kehidupan telah memudar dari sana. Tubuhnya terbaring lemas, seperti bunga yang layu, kehilangan keindahannya.
Malam ini, malam yang seharusnya menjadi malam yang paling indah untuk Nathan dan kekasihnya. Lamaran yang penuh harapan, dua keluarga berkumpul di satu meja, penuh canda dan tawa. Nathan membayangkan senyum Gika, cantiknya saat mengenakan gaun emerald yang ia berikan. Jari manisnya bersinar dengan cincin yang sudah ia pesan. Namun, semua itu sirna. Gadisnya terbaring tak berdaya di rumah sakit, senyumnya yang seharusnya menghiasi malam ini tergantikan suara monitor detak jantung yang dingin dan mekanis.
Setiap detak mesin di sampingnya terasa menekan hatinya, mengingatkan betapa rentannya mereka. Di saat-saat seperti ini, dia merindukan senyum ceria Gika, tawa hangat yang selalu bisa mengubah harinya. Nathan mengusap lembut tangan kekasihnya, berharap sentuhan itu bisa membangunkannya dari kegelapan yang melingkupi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner [Nathan Tjoe A On]
FanfictionNathan Tjoe A On, pria yang saat ini sudah menginjak usia 32. Status lajang masih tersemat untuknya. Hatinya belum bisa menerima perempuan lain selain sahabatnya, Kanindya Hanum Mega. Namun apa boleh buat? Mereka tidak bisa bersama karena cinta mere...