Chapter 27

375 57 25
                                    


###

Nathan mengemudikan mobilnya dengan hati yang berat, setelah merenung berjam-jam di taman hingga larut malam usai mendengar ungkapan perasaan Gika tadi sore.

Setiap kali dia memikirkan Gika, rasa bersalah dan kebingungan menyergapnya. Dia tahu betapa Gika merasa kesal dan bingung dengan sikapnya yang selalu menghindar membahas Kanin. Namun, di balik setiap alasan yang dia berikan, ada satu tujuan yang jelas dalam pikirannya—menyelesaikan urusannya dengan Kanin sebelum memberikan kepastian kepada Gika.

Nathan tahu bahwa menghindar tidak adil bagi Gika. Dia memahami betapa pentingnya kejelasan dalam hubungan mereka dan bagaimana sikapnya ini bisa membuat Gika merasa diabaikan. Namun, dia juga merasa bahwa dia tidak bisa memberikan jawaban yang memadai kepada Gika sebelum menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan Kanin.

Nathan bertekad untuk menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Dia ingin memastikan bahwa ketika dia akhirnya berbicara dengan Gika, dia bisa melakukannya dengan sepenuh hati, tanpa beban emosional yang belum terselesaikan. Baginya, menyelesaikan urusannya dengan Kanin bukan hanya tentang menuntaskan masalah pribadi, tetapi juga tentang menghormati persahabatan yang telah lama terjalin dan memastikan bahwa dia bisa memulai hubungan baru dengan Gika dalam keadaan yang lebih tenang dan jelas.

"Gua harus ke rumah Kanin sekarang," gumamnya.

###

Gika tahu di dalam hatinya bahwa tidak ada yang salah dengan perempuan yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Dia sendiri telah melalui momen itu, di hadapan Nathan, membuka diri dengan keberanian yang muncul dari kedalaman hatinya. Bagi Gika, mengungkapkan perasaan bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bentuk kekuatan dan keberanian. Itu adalah bukti bahwa dia benar-benar memahami apa yang dia rasakan dan tidak takut untuk jujur, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang yang dia cintai.

Gika selalu percaya bahwa dalam hubungan apa pun, kejujuran adalah fondasi yang penting. Terkadang, kejujuran itu harus dimulai oleh salah satu pihak, meskipun itu berarti harus menjadi yang pertama untuk berbicara. Dia tahu, menunggu seseorang untuk memulai bisa membuat peluang kebahagiaan terlewatkan begitu saja. Cinta dan perasaan tidak mengenal aturan yang kaku; mereka hadir tanpa pandang waktu atau urutan. Jadi, ketika Gika merasakan dorongan itu—dorongan untuk jujur pada Nathan tentang perasaannya—dia tahu dia harus melakukannya, tanpa perlu ragu atau takut.

Dengan mengungkapkan perasaannya, Gika tidak hanya memberi kejelasan pada hubungan mereka, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Dia tidak mau terus-menerus terjebak dalam pertanyaan dan ketidakpastian. Bagi Gika, mengetahui posisi mereka secara pasti adalah hal yang jauh lebih baik daripada harus hidup dalam bayangan keraguan dan penyesalan.

Dalam hatinya, Gika sadar bahwa keberanian untuk jujur—meskipun mungkin akan dihadapkan pada penolakan—adalah tanda kedewasaan emosional. Dia memilih untuk mengambil risiko, karena baginya, lebih baik mencoba dan mengetahui hasilnya daripada harus menyesali kesempatan yang terlewat.

Gika memutar sedotan di dalam ice cappuccino-nya, matanya menerawang jauh, pikirannya tersedot kembali pada momen 3 hari lalu ketika dia dengan penuh keberanian mengungkapkan perasaannya kepada Nathan. Sejak itu, Nathan seperti hilang begitu saja, seolah lenyap dari dunia ini. Pikiran-pikiran liar terus menghantui Gika, membawanya kembali ke momen tersebut, mempertanyakan apa yang terjadi, dan apa yang mungkin salah.

Sementara itu, Gavin duduk di seberang meja, memandangi Gika yang tampak asyik dengan lamunannya. Dia sudah berbicara beberapa menit, tapi Gika bahkan tidak menoleh.

"So, kita mulai dari dasar dulu ya," Gavin mengulangi kalimatnya, mencoba menarik perhatian Gika. "Gue penasaran, lo pengen brand skincare lo tuh ngasih kesan apa? Karena desain kemasan itu bakal ngaruh banget sama first impression, Gik."

Partner [Nathan Tjoe A On]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang