###
Setelah memarkirkan mobil, Gika dan Nathan memasuki mall dan mencari toko mainan terbesar yang ada di sana.
Gika, yang masih merasa terombang-ambing oleh kekhawatiran dari percakapan sebelumnya, berusaha merilekskan diri. Meskipun ia berusaha untuk tampak santai, perasaan campur aduk di dalam hatinya tetap sulit untuk disembunyikan.
Nathan juga tidak bisa sepenuhnya melepaskan perasaan yang sebelumnya dibicarakan.
Begitu mereka memasuki toko mainan, suasana ceria dan berwarna-warni seolah mengalihkan perhatian mereka dari perasaan yang tadi membebani. Gika mencoba fokus pada tujuan mereka—memilih kado yang tepat—dan meskipun dia berusaha menutupi kekhawatirannya, senyum kecil di wajahnya tampak sedikit dipaksakan. Gika merasa tertekan untuk mencari kado yang sempurna sambil mengendalikan perasaan campur aduk dalam dirinya.
Saat mereka menjelajahi rak-rak mainan, Nathan sering mencuri pandang ke arah Gika, mengamati bagaimana ia merespons berbagai pilihan. Meski suasana di toko mainan cenderung ceria, ada keheningan yang samar-samar menyelimuti mereka, seolah keduanya masih terjebak dalam pikiran masing-masing.
Gika memandang rak mainan dengan mata yang tampak kosong, meski dia mencoba berfokus. Ketika Nathan menunjukkan beberapa pilihan kado, Gika hanya memberi respons singkat, terlalu banyak berpikir tentang bagaimana menghadapi situasi yang rumit ini tanpa menambah beban pada Nathan.
Keduanya tahu bahwa mereka harus lebih banyak bicara tentang apa yang terjadi di antara mereka, tapi untuk saat ini, mereka memutuskan untuk fokus pada pencarian kado sambil mencoba mengatasi perasaan masing-masing yang masih membayangi.
Gika mencoba memulai percakapan untuk mencairkan suasana. “Anak teman kamu memang usianya berapa tahun, Mas? Laki-laki atau perempuan?” tanyanya, berharap bisa mengalihkan fokus mereka dari topik yang berat.
“Laki-laki, lima tahun, Gi,” jawab Nathan, sambil terus menjelajahi rak-rak mainan.
Gika mengangguk pelan, mencoba membayangkan anak kecil yang aktif dan penuh energi. “Lima tahun ya, pasti lagi aktif-aktifnya tuh. Mungkin kita harus cari sesuatu yang bisa bikin dia sibuk dan nggak bikin rumah temen kamu berantakan,” katanya sambil tersenyum kecil.
Nathan menatap Gika dengan tatapan penuh perhatian. "Saya suka cara kamu mikir, Gi. Selalu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang."
"Papa!" Suara seorang anak perempuan yang nyaring di rak sebelah mengalihkan perhatian keduanya.
"Aku mau ini... ini.. ini... boleh? Ini juga mauu!" rengek anak itu, mengisi kekosongan dari toko mainan yang siang ini sedang sepi.
"Wah, sakitnya pura-pura ya? Supaya bisa beli mainan banyak? Hm? Papa bilangin Mama, aah." Suara berat seorang pria, yang jelas adalah ayahnya, menyahut dengan nada menggoda.
"Beneran, kepala aku sangat pusing.. tapi sekarang sudah tidak. Suer, Papa," jawab anak yang usianya sekitar 5 tahun itu. Meski ekspresinya tak terlihat oleh Nathan dan Gika karena terhalang oleh rak, mereka bisa membayangkan betapa gemasnya tingkah gadis mungil itu.
"Lucu banget." Nathan dan Gika saling pandang setelah mereka spontan celetuk bersamaan. Sesaat, keheningan aneh terasa di antara mereka, namun disertai oleh senyum yang secara tidak sengaja terbit di wajah keduanya.
Nathan dan Gika tidak bisa menahan tawa kecil mereka, suasana yang tadinya tegang sedikit mencair.
"Anak-anak memang selalu ada aja akalnya," kata Gika, masih tersenyum. "Bisa aja tuh bocah nyari alasan biar dibeliin mainan."
Nathan mengangguk sambil tertawa kecil. "Iya, kadang mereka bisa lebih pinter daripada yang kita kira."
Gika tertawa ringan. “Ya, lucu banget gimana mereka bisa nyari cara supaya bisa dapetin apa yang mereka mau.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner [Nathan Tjoe A On]
Fiksi PenggemarNathan Tjoe A On, pria yang saat ini sudah menginjak usia 32. Status lajang masih tersemat untuknya. Hatinya belum bisa menerima perempuan lain selain sahabatnya, Kanindya Hanum Mega. Namun apa boleh buat? Mereka tidak bisa bersama karena cinta mere...