Chapter 15

437 54 16
                                    


###

Sepanjang perjalanan pulang, senyum di wajah Nathan tak kunjung pudar. Bahkan ketika mobilnya sudah terparkir rapi di basement apartemen, dan dia berjalan di lorong menuju unitnya, pikiran Nathan terus dipenuhi oleh kejadian kocak di bengkel tadi. Obrolan tanpa arah yang begitu santai dengan Gika dan, tentu saja, momen tidak terduga saat suara kentut yang keluar begitu saja dari perempuan itu membuat Nathan tak tahan untuk tidak tertawa kecil.

Nathan bisa mengingat dengan jelas setiap detail ekspresi Gika. Dia masih melihat di benaknya bagaimana Gika terdiam sejenak, wajahnya memerah, dan kedua tangannya refleks menutup mulut, mencoba menahan tawa. Satu detik itu terasa begitu nyata—satu momen yang sempurna. Alih-alih merasa risih, Nathan justru semakin terhibur dan merasakan gemas yang tak terelakkan. Gika tidak berusaha menyembunyikan kekonyolannya; dia adalah dirinya sendiri, apa adanya.

Ketika Gika akhirnya berusaha menutupi rasa malunya dengan senyuman yang masih terbungkus rona merah di pipinya, Nathan merasa semakin tersentuh. Kejujuran Gika, keberaniannya untuk tertawa di tengah situasi memalukan itu, membuat Nathan semakin menghargai kepribadian uniknya. Saat itu, meskipun terasa konyol, Nathan semakin yakin bahwa Gika adalah seseorang yang istimewa—seseorang yang berani menunjukkan sisi lemahnya tanpa takut dihakimi.

Setelah memencet beberapa digit angka untuk membuka pintu apartemennya, Nathan masuk dengan hati yang ringan. Namun, suasana hatinya berubah ketika matanya tertuju pada sosok yang terbaring di sofa. Di sana, Kanin sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat begitu tenang dan damai. Rasa bahagia yang sempat mengisi hati Nathan kini tergantikan oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menghimpit dadanya.

Dia ingat betul bahwa awalnya dia hanya berniat membantu Gika yang mobilnya mogok—sesuatu yang seharusnya hanya memakan waktu singkat. Namun, tanpa dia sadari, malam telah bergulir begitu cepat saat dia menghabiskan waktu bersama Gika. Sekarang, melihat Kanin yang menunggunya sampai ketiduran, Nathan merasa waktu yang ia habiskan tadi bukan hanya milik dirinya dan Gika, tetapi juga milik Kanin, yang tanpa sepatah kata pun telah menunggunya kembali.

Dia duduk perlahan di tepi sofa, mencoba untuk tidak membuat suara yang bisa membangunkan Kanin. Tatapan Nathan tidak lepas dari wajah Kanin, dan perasaan bersalah semakin menumpuk. “Maaf, Kanin…,” bisik Nathan, suaranya nyaris tak terdengar.

Rasanya sulit baginya untuk memahami perasaannya sendiri. Nathan memang peduli pada Gika dan ingin memastikan dia baik-baik saja, tetapi dia juga tidak ingin membuat Kanin merasa diabaikan. Namun, tanpa disadari, malam ini dia lebih memikirkan Gika daripada Kanin—sesuatu yang membuat Nathan terkejut dengan dirinya sendiri.

Nathan perlahan berdiri, menarik selimut dari pinggir sofa dan dengan hati-hati menutupkan selimut itu ke tubuh Kanin yang tertidur. Dia tidak ingin membangunkannya, tapi setidaknya dia bisa membuat Kanin lebih nyaman.

Nathan berjalan ke kamar, tetapi rasa bersalah itu masih membayangi pikirannya. Dia tahu Kanin adalah sosok yang sabar, yang mungkin tidak akan marah karena hal ini. Namun, Nathan tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaannya mulai bercampur aduk. Ada sesuatu yang berubah, dan dia takut untuk menghadapi apa arti sebenarnya dari perubahan itu.

###

Gika terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Bayangan kejadian semalam di bengkel, saat dia tak sengaja kentut di depan Nathan, terus terulang di kepalanya. Dia berusaha mengabaikannya, tetapi semakin dicoba, semakin kencang tawa yang keluar saat mengingat ekspresi Nathan yang terpaku sejenak sebelum akhirnya ikut tertawa.

Gika duduk di tepi tempat tidurnya, mengacak-acak rambut yang sudah kusut dari bangun tidur. "Duh, gimana sih bisa kebablasan gitu? Tapi kok lucu juga, ya?" pikirnya sambil senyum-senyum sendiri. Dia bukannya tidak malu, apalagi mengingat Nathan yang jelas-jelas mendengarnya, tetapi rasa malunya seolah kalah dengan rasa geli melihat betapa absurdnya situasi itu. "Ni kayanya gue kualat gara-gara ketawain belahan pantat bapak-bapak."

Partner [Nathan Tjoe A On]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang