Chapter 24

411 58 28
                                    

###

Saat Kanin maju beberapa langkah dan mendorongnya masuk, Nathan hampir tak sempat bereaksi. Pintu tertutup di belakang mereka, dan tiba-tiba Kanin berhambur memeluknya. Nathan terdiam, merasa tubuh Kanin yang hangat dan dekat, begitu akrab namun juga penuh dengan beban emosional. Ia memeluk balik, tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di kepalanya, wajah Gika masih terbayang, bersama perhatian yang ia tunjukkan tadi.

Nathan merasa jantungnya berdebar, bukan hanya karena rindu pada Kanin, tapi juga karena rasa bersalah yang semakin menghimpitnya. Bagaimana bisa ia memeluk Kanin seperti ini, ketika hatinya mulai berpaling? Meski ia tak bisa menolak kenyamanan yang ia rasakan dalam pelukan ini, Nathan tak bisa mengusir bayangan Gika yang terus muncul di benaknya.

"I miss you so damn much, really missing you, Nath."

Kanin memeluknya dengan begitu erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Nathan bisa merasakan getaran halus dari tubuh Kanin, seakan gadis itu juga menyimpan rasa takut yang sama---takut kehilangan, takut akan perubahan yang datang tanpa mereka sadari. Tapi bagi Nathan, pelukan ini tidak lagi sederhana. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Kanin telah berubah, dan bukan hanya karena jarak yang baru-baru ini tercipta, tetapi karena hati mereka yang mulai bergerak ke arah yang berbeda.

Dengan pelukan Kanin yang semakin erat, Nathan menutup matanya sejenak, berusaha mengabaikan suara hatinya yang saling bertentangan. Namun, bayangan Gika tak mau hilang. Setiap detik yang berlalu dalam pelukan ini semakin mengingatkan Nathan akan kebingungannya. Ia rindu pada Kanin, tapi tidak bisa menipu dirinya sendiri---perasaannya terhadap Gika tumbuh semakin dalam, dan itu membuat pelukan ini terasa seperti sebuah pengkhianatan, baik bagi Kanin maupun Gika.

Nathan akhirnya melepaskan pelukan itu perlahan, masih memandang Kanin dengan tatapan yang penuh perasaan. "Kanin..." suaranya hampir berbisik, penuh keraguan dan rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. "Kita perlu bicara."

Kanin mengangkat wajahnya, menatap Nathan dengan mata penuh harapan. Ketegangan di udara terasa begitu tebal, dan Kanin tahu bahwa percakapan ini akan memunculkan banyak emosi. Namun, dia sudah memutuskan---ia tidak ingin membahas hubungan mereka atau perasaan Nathan terhadap Gika. Topik itu hanya akan semakin memperjelas sakit hatinya, dan Kanin merasa belum siap untuk itu.

Dengan cepat, Kanin berusaha mengalihkan perhatian Nathan dari topik yang menyakitkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba terdengar ceria dan tenang. "Aku kangen banget ke sini. Tiga hari deh kayanya aku nggak mampir. Ya nggak sih, Nath?" kata Kanin sambil berjalan ke ruang tamu, matanya berhenti saat melihat beberapa kotak bekal terbuka di atas meja, dengan berbagai macam isi yang tampaknya sudah disentuh.

Nathan mengikuti Kanin, kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya. Dia tahu arah pandang Kanin sekarang tertuju ke mana dan mungkin ini adalah momen yang tepat untuk mulai membahas topik tersebut.

"Itu, tadi Gi---" Nathan mulai berkata.

"Oh, kamu lagi makan, Nath, atau udah selesai?" sela Kanin cepat sambil menaruh handbagnya di atas meja. Dia sengaja mengabaikan pertanyaan tentang bekal tersebut, tidak ingin Nathan melanjutkan ucapannya.

Nathan menurunkan tubuhnya di sebelah Kanin yang baru saja duduk, terlihat jelas bahwa dia ingin membahas sesuatu. "Nin, aku mau kita bicara."

"Muka kamu keliatan pucet? Kamu lagi sakit?" Kanin kembali mengalihkan perhatian, pertanyaan ini tulus keluar dari mulutnya saat dia baru menyadari betapa sayunya Nathan, tidak seperti biasanya.

"Astaga, sahabat macam apa sih aku. Kamu kenapa nggak ngabarin aku kalau sakit?" Kanin bertanya dengan khawatir, merasa bersalah karena tidak menyadari kondisi Nathan lebih awal.

Partner [Nathan Tjoe A On]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang