HTS

57 12 0
                                    


Malam itu, di sebuah kafe tempat mereka sering bertemu, Oline duduk di depan Erine, menatap cangkir kopinya yang mulai mendingin. Mereka sudah semakin dekat dalam beberapa bulan terakhir, selalu ada untuk satu sama lain, berbagi tawa, cerita, bahkan keluhan tentang kehidupan. Namun, ada satu hal yang tak pernah diucapkan—status hubungan mereka.

Erine memainkan sedotan dalam minumannya, berpura-pura tak peduli, meskipun dalam hatinya, kegelisahan semakin menjadi-jadi. Ia merasakan perhatian Oline, merasa nyaman berada di dekatnya, tapi semua itu menggantung tanpa kejelasan.

“Kita udah lama sering bareng,” Erine membuka percakapan dengan nada ringan, namun nadanya sarat dengan makna. “Tapi, aku nggak pernah tahu... kamu pernah kepikiran nggak tentang hubungan kita?”

Oline mendengar pertanyaan itu dengan hati yang sedikit tersentak. Sebenarnya, ia sering memikirkannya. Sejak pertemuan pertama dengan Erine, ada rasa yang berkembang perlahan-lahan, tapi setiap kali perasaan itu muncul, Oline selalu menahannya. Ada ketakutan dalam dirinya—ketakutan untuk kembali jatuh cinta, hanya untuk terluka lagi. Hubungan terakhirnya membuatnya begitu terluka hingga ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak terburu-buru.

“Aku pernah kepikiran, tentu,” jawab Oline dengan nada tenang. “Tapi, jujur aja, aku masih takut untuk memberikan label ke apa yang kita punya.”

Erine tersenyum pahit. “Jadi, kita ini HTS? Hubungan tanpa status?”

Oline terdiam sejenak. Ia benci istilah itu. Bukan karena dia tak menyukai Erine, tapi karena kata-kata itu seolah menyiratkan bahwa ia tidak serius. Padahal, jauh di dalam hatinya, perasaan untuk Erine tumbuh lebih kuat dari sekadar pertemanan. Namun, luka lama membuatnya terus ragu-ragu.

“Aku nggak mau kita sekadar HTS,” Oline akhirnya berkata. “Tapi aku juga takut untuk melangkah lebih jauh, karena aku belum sepenuhnya sembuh dari masa lalu. Rasanya seperti ada sisa cinta yang belum selesai.”

Erine menatapnya, bingung dan sedikit terluka. “Jadi, sisa cinta itu... bukan untukku?”

Oline menggeleng pelan. “Bukan itu maksudku. Maksudku, mungkin... sisa cintaku sekarang, yang ada di hatiku... hanya untukmu. Tapi, aku nggak mau kamu terluka karena aku belum siap.”

Erine terdiam, merenungi kata-kata Oline. Ia tahu Oline masih berjuang dengan luka masa lalunya, dan dalam hatinya, ia bisa mengerti perasaan itu. Namun, Erine juga tidak bisa menunggu selamanya dalam ketidakpastian. Ia ingin lebih dari sekadar hubungan tanpa status, lebih dari sekadar teman yang saling nyaman.

“Aku nggak minta kamu buru-buru,” kata Erine dengan suara lembut, “Tapi aku juga nggak bisa terus begini, Oline. Aku butuh kepastian. Kalau memang kamu masih butuh waktu, aku bisa mengerti. Tapi aku harap, kamu bisa segera memutuskan apa yang sebenarnya kamu inginkan.”

Oline menatapnya, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. Ia tahu Erine benar. Perasaan ini harus dijelaskan, diakui, atau dilepaskan. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa Erine adalah orang yang istimewa, seseorang yang mungkin bisa membantunya sembuh dari masa lalu.

“Aku nggak ingin kehilanganmu, Erine,” kata Oline akhirnya. “Aku hanya butuh waktu untuk menyusun semuanya. Tapi, percayalah, sisa cintaku sekarang ini memang untukmu.”

Erine tersenyum lemah, masih ada keraguan di dalam dirinya, tapi ia merasa ada harapan. “Aku akan menunggu, tapi jangan terlalu lama, Oline. Aku juga punya perasaan.”

Dan dengan kata-kata itu, hubungan mereka tetap di titik yang sama—menggantung di antara persahabatan dan cinta, antara ketakutan dan harapan. Tapi satu hal yang pasti, dalam hati Oline, ia tahu bahwa perlahan-lahan, ia mulai siap memberikan sisa cintanya hanya untuk Erine.

!! Bersambung !!

SISA CINTAKU UNTUKMU (ORINE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang