~Chereal 20 ~

529 23 2
                                    

Alvian menurunkanku tepat di depan rumah dan aku langsung berbalik menuju rumah setelah kuucapkan terima kasih. Namun, dia menghentikan langkahku dengan memegang tanganku. Dia sudah turun dari motornya dan berdiri tepat dihadapanku. Aku melepaskan pegangan tangannya dengan cepat setelah kusadari tangannya masih memegang tanganku.

"Aku boleh mampir dulu kan?" Tanyanya dengan penuh harap.

"Maaf vian...aku capek juga pusing. Aku mau langsung istirahat dan tidur"

"Huft...Baiklah. Kalau gitu selamat istirahat ya" Alvian menepuk puncak kepalaku pelan dan memajukan wajahnya ke arah wajahku. Tentu saja aku langsung mundur menghindari apa yang akan dia lakukan padaku.

"Aku masuk vian."

Aku meninggalkannya begitu saja yang masih berdiri di tempat yang sama. Aku membuka pintu rumah dengan perlahan dan berjalan dengan malas. Sungguh dua hari ini adalah hari yang sangat menguras hati dan pikiranku. Melakukan apa yang tak ingin kita lakukan terlebih dengan orang yang menjadi penyebab orang yang kita sayang menderita rasanya sangat melelahkan.

"Assalamu'alaikum. Bun. Aku pulang." Tak kudengar sahutan bunda akan salamku. Saat aku mau menaiki tangga menuju kamarku, aku berpapasan dengan bunda yang baru keluar dari kamarnya.
"Eh..Anak bunda udah pulang. Tapi kok gak ucap salam sih?"

"Ucap salam kok bun. Bunda aja kali yang gak denger." Aku berusaha menampilkan senyumku.

"Lagi capek banget ya kayaknya. Lemas banget gitu". Aku mengangguk.

"Aku ke atas ya bun mau langsung istirahat."

Aku langsung ke atas menuju kamarku dan betapa terkejutnya aku setelah kubuka pintu kamarku. Cheryl sedang berdiri di pintu balkon kamarku. Dia sedang melihat ke arahku dengan senyuman terukir di wajahnya. Tapi senyum itu adalah senyum perih dan getir. Senyum penuh rasa kekecewaan?, bukan senyum bahagia seperti yang ku harapkan darinya.

Aku berlari ke arahnya dan langsung memeluknya. Kutumpahkan segala perasaanku dalam pelukannya sekarang. Rasa rinduku, bahagiaku, dan rasa khawatirku yang selama ini menggelayut dalam hatiku. Aku cium pipinya yang basah oleh air mata yang mengalir disana yang kini air mata itu sudah menyatu dengan air mataku. Belum ada kata yang keluar dari mulut kami. Hanya rasa yang keluar dengan begitu menggebu, yang kupastikan rasa yang sama antara aku dan dia. Setelah merasa puas kami melepas pelukan kami. Aku menyeka air mata yang keluar dari matanya begitupun Cheryl, dia melakukan hal yang sama terhadapku.

"Aku sangat bahagia melihatmu disini, Cher." Kataku masih dalam tangis kecil bahagiaku tanpa melepas kedua telapak tanganku yang menangkup kedua pipinya.

"Aku juga sangat bahagia. Kamu apa kabar?"

"Aku baik dan sekarang aku sangat baik."

"Ya tentu saja."

Katanya dengan suara yang lemah sambil melepas kedua tanganku dari wajahnya. Wajah tidak bahagia yang tadi sempat aku lihat bertambah menjadi sangat muram. Dia berjalan menuju sofa dan duduk dengan malas dengan helaan nafasnya yang panjang.

"Kenapa? Ada apa?" Tanyaku dengan lembut.

Aku mengikutinya duduk dan menggenggam kedua tangannya. Dia masih saja diam dengan wajahnya yang tertunduk. Ku tarik degunya pelan dengan sebelah tanganku agar dia melihatku sedangkan satu tanganku masih dengan erat menggenggam tangannya.

"Aku...melihatmu dengan Alvian tadi. Apa sekarang kalian bersama?" tanyanya dengan hati-hati.

"Tidak"

Jawabku dengan lemah sambil melepas kedua tanganku darinya dan kusandarkan tubuhku ke sofa dengan helaan nafas.

"Lalu dimana Adam? Kenapa Alvian yang antar kamu pulang?"

"Aku sedang tidak ingin membahas itu Cher, Tapi tolong jangan salah paham juga terhadapku. Aku mau mandi dulu."

Aku berdiri meninggalkannya ke kamar mandi. Huft...seperti makanan yang sama sekali kita tidak suka dihidangkan didepan kita. Meskipun masih hangat dan akan enak kalau langsung dimakan tapi kita tak ingin menyentuhnya sama sekali. Tak selera. Begitupun dengan permasalahan antara aku, Adam, dan Alvian meskipun harus segera diselesaikan karena cukup membebani hati dan perasaanku tapi dengan membahasnya saja masih membuat moodku berantakan. Sehingga aku menolak untuk membahasnya bersama Cheryl. Setidaknya untuk saat ini. Aku hanya menikmati kebersamaanku bersamanya. Kebersamaan dengan penuh kebahagiaan dan keceriaan seperti dulu yang sempat hilang. Aku ingin menebusnya sekarang dan untuk seterusnya.

***

Kami akan makan bersama sekarang untuk mensyukuri kebebasan Cheryl. Aku, Cheryl, Bunda dan tentu saja keempat sahabat kami, Gia, Gita, Joana dan juga Amel. Aku sengaja menelpon mereka agar kami bisa menikmati waktu bersama. Akan sangat menyenangkan rasanya kalau kami melakukan hal-hal yang biasa kami lakukan dulu.

Kami tidak duduk di meja makan melainkan lesehan di karpet ruang tengah. Ya bagaimana tidak meja makan dirumahku ini hanya enam kursi karena kami keluarga kecil. Apalagi malam ini akan ada tambahan orang selain kami bertujuh, yaitu Nevlin dan bi Sari. Kami memaksa bi Sari agar mau makan malam bersama.

Makanan sudah tersedia di depan kami. Aku duduk di bawah bersandar ke sofa dengan kepalaku ku senderkan ke bahu Cheryl sambil memainkan ponselku bersama Cheryl. Bunda duduk di atas sofa single sambil nonton berita bersama Gita yang duduk di bawah kaki bunda. Gia dan bi Sari masih di dapur untuk meyiapkan minuman untuk kami semua. Sedangkan Joana rebahan di punggung Amel yang tiduran tengkurap di sisi lain karpet yang masih kosong.

"Ih lama banget sih temen lo datengnya Cher. Dah laper banget tahu." Gerutu Joana karena Nevlin belum juga datang. Bunda yang mendengar itu hanya meliriknya sekilas sambil tersenyum.

"Sabar napa. Bentar lagi juga pasti dateng" jawab Cheryl tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

Suara bel berbunyi, itu pasti Nevlin. Aku berdiri untuk membukakan pintu.

"Hei"

"Hei. Maaf ya gue telat"

"Iya. Gapapa. Yuk masuk"

Kami memulai makan malam kami ini karena semuanya sudah berkumpul. Hidangan sederhana namun terasa sangat istimewa karena berkumpul bersama orang-orang yang kita sayang. Suasana malam ini sangat berbeda, ramai dan hangat. Obrolan-obrolan kecil mengalir begitu saja.

"Cheryl". Bunda

"Iya bun?"

"Kamu mau kan tinggal disini bersama bunda dan Real?"

Aku cukup terkejut dengan tawaran bunda, soalnya bunda tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Tapi tentu saja aku sangat senang mendengarnya dan aku berharap kalau Cheryl mau menerimanya.

"Terima kasih bunda atas tawarannya. Tapi maaf aku gak bisa. Aku berencana akan tinggal sama Nevlin karena kedua orang tua Nevlin pindah ke luar kota. Aku ingin menemani Nevlin yang gak mau ikut pindah dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di kota ini. dan rencananya besok aku akan beres-beres untuk mengosongkan Kostan, meskipun sebenarnya tante Irna juga keberatan."

Bunda mengangguk mengerti. Aku menatap Cheryl yang duduk disampingku tak lama. Aku sedih dan kecewa dengan penolakannya. Tapi aku bisa apa. Aku tak bisa memaksanya. Aku mengerti karena Nevlin juga adalah temannya, teman dekat jauh sebelum aku mengenal Cheryl.

Waktu sudah menunjukan jam 9 malam ini. Gia, Gita, Joana dan Amel sudah pulang. Nevlin dan Cheryl juga siap-siap untuk pulang ke kostan bersama Nevlin yang akan menginap disana. Aku pikir aku akan bisa menyembunyikan rasa kecewaku, tapi sepertinya itu sangat sulit mengingat besarnya keinginanku dan harapanku akan Cheryl. Aku ingin bersamanya, aku ingin selalu bisa menghabiskan waktu bersamanya. Dan meskipun aku mengerti namun nyatanya aku merasa cemburu Cheryl lebih memilih bersama Nevlin. Apakah ini berarti perasaanku sama Cheryl juga adalah perasaan yang lain? Apakah ini berarti juga kalau aku memiliki perasaan yang sama dengan Cheryl rasakan?. Sepertinya iya dan aku meyakininya sekarang.

Sepulangnya Cheryl aku berlari ke kamar dan menjatuhkan diriku sendiri ke atas tempat tidurku dan menangis. Kenapa saat aku menyadari perasaanku disaat yang sama juga aku merasa akan kehilangannya.


To Be Continued

Next to You (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang