BAB 35: Keputusan Retta

15 6 7
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)

TERIMA KASIH HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA

---

Setelah hari yang melelahkan di pengadilan, Retta, Ibu Dea, dan Naya akhirnya tiba di rumah Retta. Suasana rumah terasa tenang, menjadi pelarian nyaman setelah semua ketegangan. Retta mengajak mereka masuk ke ruang keluarga, tempat mereka akhirnya bisa bersantai.

Naya duduk di sofa, memeluk bantal kecil. “Akhirnya bisa istirahat juga. Kak Retta, hari ini capek banget,” katanya sambil meregangkan tubuh.

Retta tersenyum kecil, lalu duduk di sebelahnya. “Iya, Nay. Tapi kita harus terus semangat. Semua ini buat kebaikan kita.”

Ibu Dea datang membawa nampan berisi teh hangat. Ia meletakkannya di meja, lalu duduk di kursi seberang Retta. “Hari ini memang berat, tapi kita sudah berusaha sebaik mungkin. Sekarang waktunya kita pikirkan langkah ke depan.”

Retta mengangguk, menatap teh di tangannya sambil memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat hening, ia membuka pembicaraan.

“Ibu, Naya,” panggil Retta sambil menatap mereka berdua. “Aku udah mikirin ini lama banget. Aku mau kembali tinggal di Jakarta.”

Ucapan itu langsung membuat Naya menoleh kaget. “Tinggal di Jakarta? Maksudnya Kakak mau tinggal di sini lagi?”

Retta mengangguk. “Iya. Aku mau mulai lagi karierku di dunia hiburan. Aku tahu ini keputusan besar, tapi aku rasa sekarang waktu yang tepat.”

Ibu Dea memandang Retta dengan sorot mata penasaran. “Kamu yakin, Retta? Setelah semua yang kamu lewati, kamu nggak takut bakal berat lagi?”

Retta tersenyum tipis. “Aku memang takut, Bu. Tapi aku nggak mau terus-terusan sembunyi. Aku harus bangkit dan ngadepin semuanya.”

Naya terlihat ragu. “Kalau Kakak di sini, aku gimana?”

Retta meraih tangan adiknya. “Kakak justru mau Naya ikut sama aku di Jakarta. Aku mau kamu lanjutin sekolah di sini. Di Jakarta, banyak peluang buat kamu berkembang.”

Naya terdiam sejenak, memikirkan ucapan kakaknya. “Tapi gimana sama teman-temanku di desa?”

“Kamu bisa tetap kontak mereka, Nay. Lagian, ini kesempatan buat kamu mulai sesuatu yang baru juga. Aku yakin kamu bakal suka,” ujar Retta meyakinkan.

Setelah beberapa saat, Naya mengangguk pelan. “Kalau itu yang terbaik, aku ikut aja, Kak.”

Retta tersenyum lega. Ia kemudian beralih pada ibunya. “Bu, aku juga mau Ibu ikut sama aku di Jakarta. Kita semua tinggal bareng di sana.”

Ibu Dea mengernyitkan dahi. “Retta, Ibu nggak yakin ini keputusan yang tepat buat Ibu. Hidup di Jakarta nggak gampang. Ibu udah nyaman di desa.”

“Tapi aku butuh Ibu di sini. Aku nggak bisa jalanin ini sendirian. Lagi pula, di Jakarta kita bisa mulai kehidupan yang lebih baik bareng-bareng,” ujar Retta dengan nada penuh harap.

Ibu Dea menghela napas panjang. “Ibu pikir-pikir dulu, ya, Retta. Ini keputusan besar.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika Naya akhirnya tertidur di sofa. Wajahnya terlihat damai, meski hari itu pasti melelahkan baginya. Retta menyelimuti adiknya dengan lembut, lalu duduk kembali.

Namun, Ibu Dea tampak masih memikirkan sesuatu. Ia menatap Retta dengan penuh perhatian, lalu membuka suara.

“Retta,” panggilnya pelan.

Retta menoleh. “Iya, Bu?”

“Ibu mau tanya sesuatu. Keputusan kamu ini... sebenarnya murni karena kamu mau bangkit lagi, atau ada alasan lain?”

Retta mengernyitkan dahi. “Maksud Ibu?”

Ibu Dea menatap tajam. “Apa ini soal Aksa?”

Retta terdiam. Nama itu membuat dadanya terasa berat. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugupnya, tapi tatapan ibunya terlalu sulit dihindari.

“Ibu ngerasa kamu nggak cerita semuanya. Hubungan kalian belakangan ini renggang, dan tiba-tiba kamu mau pindah ke sini lagi. Ibu cuma pengen tahu, apa kamu menjauh dari dia?”

Retta meletakkan cangkirnya di meja, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Aku nggak mau bahas dia, Bu.”

“Tapi itu artinya dia alasan kamu pergi, kan?” desak Ibu Dea.

Retta menarik napas panjang. Ia tahu ibunya benar, tapi mengakuinya terasa terlalu sulit. “Aku cuma... capek, Bu. Aku udah nyoba jaga hubungan sama Aksa, tapi semuanya makin rumit. Aku rasa lebih baik aku menjauh, ngasih ruang buat dia dan buat diri aku sendiri.”

Ibu Dea mengangguk pelan, menatap putrinya dengan penuh kasih. “Retta, Ibu ngerti kamu capek. Tapi lari dari masalah nggak akan bikin semuanya lebih baik. Kamu yakin ini jalan yang benar?”

Retta mengangkat bahu, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma tahu kalau aku di desa terus, aku nggak akan bisa lupain semua yang terjadi. Di Jakarta, aku bisa mulai lagi dari awal, fokus sama karier aku, sama Naya, sama Ibu. Itu yang penting sekarang.”

Ibu Dea menggenggam tangan Retta erat. “Kalau itu keputusan kamu, Ibu akan dukung. Tapi Ibu juga mau kamu tahu, kamu nggak harus nahan semua ini sendirian. Kalau kamu butuh cerita, Ibu selalu ada.”

Retta tersenyum kecil, meski air mata akhirnya menetes di pipinya. “Makasih, Bu. Aku bersyukur banget punya Ibu di hidup aku.”

---

Malam itu, suasana rumah terasa hening dan damai. Retta, Ibu Dea, dan Naya akhirnya terlelap setelah pembicaraan yang cukup berat. Lampu-lampu rumah sudah dipadamkan, hanya cahaya rembulan yang masuk melalui tirai jendela.

Retta terbangun lebih dulu, merasakan keheningan yang memeluk seluruh rumah. Ia menatap sejenak wajah ibunya yang tertidur di kamar. Lalu matanya beralih ke Naya yang terlelap di sofa, pelukan erat pada bantal kecilnya.

Dengan hati-hati, Retta berjalan menuju Naya. Ia menepuk pelan bahu adiknya, membangunkannya dengan lembut. “Nay, ayo, waktunya tidur di kamar,” kata Retta, suaranya pelan agar tidak membangunkan Ibu Dea.

Naya mengerjapkan matanya, tampak bingung sesaat. “Hah? Kakak? Oh, iya, aku ngantuk banget.”

Retta tersenyum sambil membantu Naya berdiri. “Yuk, aku antar ke kamar.”

Setelah memastikan Naya nyaman tidur di tempat tidurnya, Retta kembali ke ruang keluarga. Ia duduk sebentar, mengingat pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Hati Retta masih terasa campur aduk, tapi dia tahu, dia sudah mengambil langkah yang benar.

Pagi harinya, matahari sudah tinggi ketika mereka bertiga mulai bersiap-siap. Ibu Dea sudah menyiapkan sarapan sederhana, sementara Naya terlihat lebih ceria setelah tidur cukup. Setelah makan pagi, mereka bersiap untuk berangkat kembali ke desa.

Retta memandang sekeliling rumah, merasakan perasaan campur aduk. Sejak kemarin, rumah ini terasa berbeda. Banyak kenangan yang kembali muncul, tapi Retta tahu, keputusan untuk kembali tinggal di Jakarta adalah langkah yang harus dia ambil.

“Kami siap, Bu,” kata Retta sambil mengenakan tas.

Ibu Dea menatapnya dengan penuh perhatian. “Kita kembali ke desa dulu, kan? Ada beberapa hal yang perlu diselesaikan.”

Retta mengangguk. “Iya, Bu. Aku butuh waktu sebentar untuk beres-beres dulu di sana. Nanti kita bisa langsung balik ke Jakarta setelah semuanya beres.”

Naya menatap kakaknya dengan senyum kecil. “Aku sudah siap. Ayo, let's go!”

Mereka bertiga pun berangkat menuju desa, tempat segala kisah dan kenangan mulai terasa kabur, namun tetap ada bagian yang harus dituntaskan. Retta merasa lega bisa kembali ke tempat asalnya, namun hatinya juga penuh dengan harapan dan ketidakpastian tentang apa yang akan datang setelahnya.

Perjalanan itu membawa mereka ke desa yang dulu pernah menjadi rumah mereka. Namun kali ini, jalan menuju masa depan mereka terasa lebih terbuka lebar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Welcome to Hometown (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang