Suasana kamar asrama Zivanka malam itu begitu hening. Lampu temaram di sudut kamar hanya menerangi sebagian ruangan, sementara bayangan dari jendela berkedip-kedip mengikuti hembusan angin malam. Veiga sudah lama tertidur di ranjangnya, napasnya teratur seperti irama yang menenangkan. Namun Zivanka masih belum bisa tidur juga.
Jam menunjukkan pukul 2 pagi, dan Zivanka terbaring di atas kasurnya, matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran yang berputar-putar tanpa henti.
Persiapan bazar sains minggu depan, persaingan di klub, dan hubungan sosial di sekolah membuatnya semakin gelisah. Di tengah ketidaknyamanannya, telepon genggamnya bergetar di meja samping tempat tidur. Nama yang tertera di layar: Ayah.
Zivanka terkejut sejenak. Mengangkat telepon dini hari seperti ini jarang sekali terjadi, terutama dari orang tuanya. Ia ragu untuk mengangkatnya, tapi, rasa penasaran lebih kuat. Mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh ayahnya. Ia dengan cepat mengambil telepon dan menekan tombol hijau.
"Zivanka?" Suara ayahnya terdengar dari ujung telepon, terdengar tenang tapi, ada sedikit ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
"Ya, Ayah. Ada apa? Kok telepon jam segini? Tumben sekali." Zivanka menanggapi dengan suara pelan, berusaha agar tidak membangunkan Veiga.
"Kamu belum tidur?" tanya ayahnya tanpa menjawab pertanyaan.
Zivanka menghela napas panjang. "Belum, yah. Ada banyak yang kupikirkan."
Di ujung telepon, ada jeda sejenak sebelum ayahnya berbicara lagi. "Ayah mau bicara sesuatu yang penting. Tentang sekolah, tentang bagaimana kamu menjalani semuanya di sana."
Zivanka langsung merasa ada sesuatu yang serius. "Apa maksud Ayah?" tanyanya dengan hati-hati.
"Kamu ingat apa yang selalu Ayah katakan sebelum kamu berangkat memilih sekolah itu, kan?" Suara ayahnya kini terdengar lebih tegas. "Di dunia pendidikan, tidak ada yang namanya teman. Semua orang pada akhirnya bersaing satu sama lain. Jangan terlalu percaya pada orang lain di sekitarmu, bahkan teman-temanmu sendiri."
Zivanka terdiam sejenak. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar kalimat semacam itu dari ayahnya. Sejak kecil, Zivanka tumbuh dengan ajaran bahwa keberhasilan akademik adalah segalanya, dan bahwa dunia pendidikan adalah tempat yang penuh persaingan ketat. Namun, semakin dewasa, ia merasa sulit menerima pandangan itu sepenuhnya.
"Ayah, aku tahu apa yang Ayah maksud," jawab Zivanka dengan pelan namun, tegas, "tapi, aku tidak bisa setuju sepenuhnya. Di sini, aku punya teman-teman yang bisa diandalkan. Kami saling mendukung, saling membantu dalam setiap kesulitan. Itu bukan hanya tentang persaingan."
Ayahnya menghela napas jengah. "Ziv, kamu terlalu idealis. Pendidikan bukan tempat untuk berleha-leha dan percaya begitu saja pada orang lain. Kamu harus lebih waspada. Tidak semua orang di sekitarmu benar-benar peduli. Ketika tiba waktunya, mereka akan mendahulukan diri mereka sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fivers Eternity
Fantasy- Diikut sertakan dalam Event Writing Cakra Media Publisher Batch 07 ✨ - "Kami ada di antara temaramnya kilau ribuan bintang. Tampak megah tetapi, berubah tak menentu arah. Poros dunia selalu mengawasi di akhir bayangan mentari mulai memudar." Kisah...