"Manusia tercipta karena keserakahan serta ketamakan yang telah mendarah daging. Lantas, imbalan apa yang ku terima bila melepaskan kalian semudah itu?"
— Java dē Eãstern —
Dalam ketegangan tanpa akhir, Zivanka, Java, Hakim, Kayshaka, Veiga, dan Rey masih terjebak di dalam Labirin Poros Semesta. Tak ada jalan keluar yang terlihat, hanya lorong-lorong gelap yang seolah menggiring mereka pada kelelahan total. Suara deru napas mereka memenuhi ruang, membaur bersama aura misterius yang makin pekat seiring berjalannya waktu.
Sambil mencoba menahan lelah, Kayshaka tiba-tiba membangkitkan satu topik yang mengejutkan mereka semua. Ingatannya kembali pada saat beberapa hari lalu, ketika dirinya, Java, Veiga, dan Hakim disekap bersama Xey dan Zey di ruang laboratorium Profesor Himel.
Ada sesuatu yang ganjil terjadi, terukir jelas dalam benaknya. Kala itu, para petinggi Seraphim masuk ke ruangan tersebut, dengan salah satu di antaranya tampil sebagai sosok ketua—yang tak lain adalah paman Java sendiri, Madha dē Eãstern. Kayshaka terus terbungkam di hadapan mereka. Namun, ia tak dapat melupakan raut wajah Madha dan suara tegasnya saat mengeluarkan argumen.
Menyuarakan kecurigaannya, Kayshaka menatap Hakim, "Heh, lo sebenarnya tahu sesuatu, bukan?" ujarnya setengah berbisik namun tetap terdengar jelas di antara mereka.
Kilatan mata Kayshaka tak luput dari perhatian Zivanka dan lainnya. "Gua lihat lo sempat baca sebuah buku di kamar milik yang sempat disediakan oleh Rey. Bukan hanya itu saja, akhir-akhir ini juga, kau terasa sedikit, aneh, Hakim."
Hakim membalas tatapan Kayshaka dengan tajam, menahan emosinya yang mulai membara. "Apa maksudnya, Kay? Lo nuduh gua tanpa alasan yang jelas!" Nada suaranya meninggi, tetapi, ketenangan palsu yang ia ciptakan tak mampu menutupi rasa terguncangnya. Argumen panas pun tak terelakkan, suara mereka semakin keras, mengisi ruang seolah mereka saja yang berada di dalam labirin tersebut.
Di tengah ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba terdengar suara tawa kecil—nada ringan. Namun, penuh makna, seakan menjadi cemoohan di antara perdebatan mereka. Suara itu datang dari Java yang duduk tak jauh dari Veiga.
Seketika suasana menjadi hening, semua menoleh, termasuk Veiga yang tanpa sadar melangkah mundur, waspada pada Java. Tawa Java terus terdengar, meski tak ada satu pun hal lucu yang layak ditertawakan.
Java mendongak, menatap Kayshaka dan Hakim secara bergantian, tertawa lagi sambil menggeleng kepala. Membuat Kayshaka serta Hakim menoleh, menatap dirinya dengan aneh.
Namun, lain hal dengan Rey. Ia berusaha melindungi Veiga yang kini berada di belakang tubuhnya beserta Zivanka yang berada di sampingnya. Rey menatap lekat Java yang masih tertunduk dengan tawa yang terus mengudara tanpa henti.
Tatapan Rey tertuju tajam pada sosok Java. Sesuatu dalam dirinya berubah ketika ia menyadari sebuah tanda lahir di belakang leher Java, yang tertutup oleh rambut panjangnya. Tanpa ragu, Rey menyentak lengan Java, ketika mencoba menarik tangan Veiga. "Java, sebenarnya siapa kau?" tuntut Veiga, yang berdiri di belakang Rey dengan sorot mata penuh ketidakpercayaan. "Ini semua terlalu tak masuk akal, Jav. Beri tahu kita semua, apa maksud lo?!"
Java hanya merespons dengan kekehan samar, hampir tak terdengar. Namun gema tawa itu bergemuruh di ruang tersebut, menyusup bak petir yang memecah keheningan. Dengan seringai lebar, Java menatap satu persatu dari mereka. Tatapan itu kemudian berhenti cukup lama pada Zivanka, matanya yang memicing menampilkan senyum yang mengerikan, di wajah yang bak surga namun menyimpan kengerian.
Zivanka, dengan nyali yang berdebar, menatap balik pada Java, tak bisa menyingkirkan rasa takut yang perlahan menyusupi hatinya. Sementara itu, labirin Poros Semesta di sekitar mereka tetap sunyi, seperti sengaja menjadi saksi bisu dari peristiwa yang akan mengubah segalanya.
Java melangkah mendekat, ke arah Kayshaka dan Hakim seraya memisahkan keduanya agar tidak terlalu dekat. Seringai lebar kembali tercetak dalam wajahnya yang rupawan–mampu memikat siapa saja yang melihatnya.
Java membuka suaranya. "Ternyata selama ini yang ku pelajari adalah fakta. Di mana, jika seseorang merasa terganggu, maka ia akan mempertahankan logikanya dan bersikap acuh pada rasa empatinya. Wow, expensive!"
Mendengar pernyataan tersebut, membuat Zivanka reflek menggenggam jas yang digunakan oleh Rey dengan begitu erat hingga sang empu menoleh, menatapnya dengan raut tak terbaca. Rey menatap Java dengan sorot tatapan tajam tetapi, diacuhkan olehnya.
"Siapa kau? Jujur! Aku yakin, kau bukan Java yang sebenarnya!" Mendengar sentakan tak terima tersebut, membuat Java berbalik, menatap Rey yang kini tengah menatapnya juga.
"Wow! Ada pahlawan kesiangan ternyata, hm? Kau ... Kau tadi bilang kalau aku bukanlah Java yang sesungguhnya, bukan? Kau salah besar Tuan, karena aku adalah Java. Java yang tak dikenal oleh makhluk manapun, Java yang selalu melindungi diri dengan sifatnya yang lain. Apakah kau sama terkejutnya dengan mereka?" lontar Java yang kembali terkekeh ketika melihat wajah pucat pasi Veiga.
Java berjalan mengitari ruangan Labirin—tempat di mana mereka tengah terjebak tersebut, menatap dinding labirin itu yang begitu dingin hingga menusuk kulit manusia tanpa alas. Kayshaka serta Hakim, entah kenapa kini, menatapnya penuh amarah yang menjalar sampai ke ubun-ubun kepala.
Tiba-tiba saja, Java bertepuk tangan, seolah dirinya memanggil sesuatu agar datang ke hadapannya dan benar saja. Sepuluh menit kemudian, datanglah lima orang berbadan kekar, berdiri di samping Java yang tengah menyilangkan kedua tangannya dengan raut angkuh, menatap seluruh teman-temannya.
"Cih, teman?! Kerasukan apa aku bisa memiliki teman bau kencur seperti mereka. Tidak berarti sama sekali bagiku," bisikan penuh penekanan tersebut terdengar begitu jelas dalam ruangan hening nan sepi itu.
Veiga dalam tunduknya terdiam, tertegun sejenak ketika mendengar kalimat menyakitkan keluar dari mulut seseorang yang selama ini telah ia percayai. Namun, entah apa yang membuatnya hingga seperti itu. Sungguh! Ia tak sanggup, ia hanya ingin segera keluar tanpa ada masalah apapun lagi tapi, tiba-tiba saja masalah mulai berdatangan lagi.
Setelah kedatangan lima orang kekar tersebut, gas asap tersebar ke seluruh ruangan Labirin Poros Semesta ini, setiap sudut, gas asap ini menyebar begitu cepat bahkan membuat mereka terbatuk-batuk hingga membuat badan menjadi lemas dan berakhir pingsan, kecuali Java.
Java menutup hidungnya menggunakan alat yang menyerupai masker agar tak tercium bau gas asap tersebut. Ia menyuruh lima orang suruhannya untuk membawa orang-orang tersebut ke ruangan lain.
Ruangan yang di mana, nantinya akan menjadi saksi biksu dari sebuah institut Pengadilan Tak Berfaedah karena tak bisa menentukan mana yang salah dan benar. Bahkan, orang salah saja mereka dapat sebut dengan orang benar, karena selama ada jabatan, semuanya akan terasa lebih mudah.
"Pindahkan mereka ke ruangan yang sama seperti Xey dan Zey! Kita akan melakukan rapat akhir besok dan memutuskannya. Jangan sampai ada yang telat apalagi lelet. Paham?!" perintah yang tak dapat diganggu-gugat tersebut membuat lima orang tersebut mengangguk tegas lalu, Java berjalan keluar Labirin Poros Semesta tersebut lebih dahulu baru setelah itu, disusul oleh pengawalnya.
Senin 11 November 2024
Tertanda: Khumachan
KAMU SEDANG MEMBACA
Fivers Eternity
Fantasy- Diikut sertakan dalam Event Writing Cakra Media Publisher Batch 07 ✨ - "Kami ada di antara temaramnya kilau ribuan bintang. Tampak megah tetapi, berubah tak menentu arah. Poros dunia selalu mengawasi di akhir bayangan mentari mulai memudar." Kisah...