"Bagaimana? Apakah kalian tetap akan melanjutkan kegiatan ini?"
Di sebuah ruangan sunyi dengan dibekali cahaya remang-remang yang tersorot dari lampu neon berwarna kuning tengah berdiri beberapa orang membentuk lingkaran. Ruangan yang sengaja di desain kedap suara tersebut, tak akan terdengar oleh siapapun yang melewati ruangan tersebut.
"Mau bagaimana lagi? Lagipula mereka hanya sebatas murid yang pikirannya masih labil, mungkin jika kita kasih hadiah, mereka akan bungkam," cetus lainnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Hey! Jangan kalian kira mereka hanya murid, kita dapat seenaknya melepaskan mereka. Justru jika mereka murid, itu yang akan berdampak besar terhadap kita. Apalagi mereka murid yang pemikirannya melampaui murid lain, apakah kalian tidak tahu?" ujar salah seorang yang mengenakan pakaian putih dengan topi tinggi di kepalanya atau biasa dikenal kepala koki.
Langit pun semakin gelap, dan cahaya bulan perlahan-lahan naik mulai mengeluarkan cahayanya. Namun, sekelompok orang dalam ruangan tersebut masih enggan meninggalkan ruangan itu. Mereka mencoba memikirkan segala cara, agar kegiatan mereka tak terbongkar hanya bocah bau kencur.
"Kita tidak memiliki cara lain, satu-satunya jalan kita yaitu hanya memantau dari jauh. Jika mereka kekeh melaporkan kita, baru di situ kita bertindak. Untuk sekarang, jangan terlalu gegabah, entah kenapa perasaan ku mengatakan bahwa mereka bukan bocah biasa." Seseorang berbadan kekar dengan jas kantor yang melekat di tubuhnya tersebut berbicara dengan pelan penuh ketegasan.
Mereka semua pun lantas mengangguk mendengar perintah yang keluar dari atasan mereka tersebut.
Di sisi lain gedung, lebih tepatnya gedung asrama putra. Java dan Hakim kini sedang duduk bersantai, menikmati malam yang indah—bertaburan bintang-bintang gemerlap menyusun formasi yang begitu memukau.
Hakim dengan tablet kesayangannya kini sedang berfokus mengerjakan gambar-gambar yang akan menjadi dekorasi untuk stan bazar mereka nantinya, sedangkan di sisi lain, Java tengah bersandar di ayunan balkon kamar asrama mereka dengan sebuah buku novel fantasi yang ia baca.
Ditemani secangkir teh hangat, Java telah larut dalam bacaannya dan pikirannya mulai masuk ke dunia buku novel yang ia baca. Namun, beberapa menit kemudian, sebuah suara nyaring nan keras seperti ledakan terdengar begitu jelas, membuat Java reflek menutup bukunya lalu, melihat ke arah balkon bawah.
Sama halnya seperti Java, kini, Hakim juga yang semula tengah fokus seketika buyar dan langsung berjalan menuju balkon.
"Bunyi apa, Jav? Asalnya dari mana?" Pertanyaan bertubi-tubi yang Hakim layangkan justru membuat Java memukul bahunya cukup keras hingga membuat Hakim meringis, menahan sedikit perih.
Java melirik ke arah Hakim yang sedang meringis perih tersebut. "Kalau tanya satu-satu, bjir! Gak usah kek wartawan, sekali nanya banyak banget mana ngerentet pula gak ada jedanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fivers Eternity
Fantasy- Diikut sertakan dalam Event Writing Cakra Media Publisher Batch 07 ✨ - "Kami ada di antara temaramnya kilau ribuan bintang. Tampak megah tetapi, berubah tak menentu arah. Poros dunia selalu mengawasi di akhir bayangan mentari mulai memudar." Kisah...