"Siapa yang akan mati kali ini?"
SMANSA, sekolah ternama di kota ini telah membuat heboh Indonesia dengan berita kematian murid-muridnya. Kasus bunuh diri yang belum diketahui aparat penyebab utamanya terus terjadi dan menghiasi seluruh laman pember...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hi! Kembali mengingatkan walaupun sedikit, di episode ini juga ada gore-gorenya, ya.
Napas Septihan terengah-engah karena terus berlari ke sana kemari tanpa henti. Namun, hal tersebut bukanlah hal yang akan Septihan pikirkan saat ini. Rasa lelahnya tidak tidak berarti sedikit pun sebab di pikirannya saat ini hanya diisi oleh Aca.
Septihan berkacak pinggang seraya mengembuskan napas cepat. Di sinilah tetesan darah itu membawanya. Sumur belakang sekolah. Tempat gelap di kelilingi pohon bambu dan pohon-pohon lain bak sebuah hutan dan pohon beringin besar berusia puluhan tahun yang melingkupi sumur itu membuatnya yakin, orang lain pasti akan merinding jika harus berdiam di sini lima menit saja. Septihan kembali melangkah, gelapnya tempat ini membuat Septihan mengeluarkan ponselnya dan menyalakan fitur senter untuk menerangi jalan.
"Respons kalau lo denger suara gua di sini, Ca!" teriaknya dan tanpa henti terus memanggil nama Aca.
Bukan bermaksud untuk berpikiran buruk, tapi ia merasa harus memeriksa sumur terbengkalai itu. Dan ketika sumur itu sudah berada di depannya, Septihan mengarahkan ponselnya ke bawah, tubuhnya pun ikut menengok ke dalam sumur. Akan tetapi, ia tidak menemukan apa pun. Hanya ada tumbuhan liar dan sedikit air keruh di bawah sana.
Hati Septihan merasa janggal. Entah kenapa firasatnya mengatakan ada petunjuk besar di sini, sehingga ia tidak secepat itu menyerah. Masih meneliti sumur itu dengan bantuan ponselnya, Septihan dikejutkan dengan tiba-tiba ada sebuah air yang menetes ke jemarinya yang sedang memegang ponsel. Ia hendak mengabaikan hal itu, tetapi warna merah bak darah itu membuat matanya membeliak sesaat.
Septihan menelan ludah kasar. Pelan-pelan kepalanya terangkat untuk melihat asal muasal cairah merah itu.
"A-Aca...." Septihan tidak dapat menyembunyikan lagi suara bergetar yang sedari tadi ia tahan. Karena sekarang ia sedang melihat Aca yang pingsan berada di atas sana dengan kondisi duduk dan tanganya terikat pada pohon beringin itu. Dan darah tidak berhenti menetes dari belakang punggungnya.
Dan Aji dan Abrita datang di waktu yang tepat. "Aca udah ketemu, Kak?!" tanya Abrita dengan tergesa.
Kemudian gadis itu dibuat bingung melihat Septihan tidak bergeming sedikit pun dan menghadap ke atas dan saat itulah teriakan serta tangisnya tak lagi terbendung. Melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu membuat hatinya bukan kepalang sakit.
"A-Aca bisa jatuh kapan saja. Gua cari tangga dulu, kita harus turunin Aca segera!" jelas Aji dan Septihan ikut mengajukan diri agar dapat menemukan tangga lebih cepat.
Abrita mengangguk mengerti. "Gu-Gua jaga di sini."
Hening. Tidak ada suara sama sekali, serangga kecil yang biasanya menyukai tempat seperti ini pun tidak menampakkan diri. Kaki Abrita terasa lemas, ia tidak mengira akan melihat teman baiknya berada di kondisi seperti ini.
"Aca selesai ini semua kita balik main seperti biasa, ya?" pinta Abrita dengan suara lirih. "Maaf, kalau aja gua bisa nolong lo lebih cepat, bisa nyelesain kunang-kunang itu lebih cepat. Maaf ... ini semua karena gua, Ca."