"Siapa yang akan mati kali ini?"
SMANSA, sekolah ternama di kota ini telah membuat heboh Indonesia dengan berita kematian murid-muridnya. Kasus bunuh diri yang belum diketahui aparat penyebab utamanya terus terjadi dan menghiasi seluruh laman pember...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari kedua setelah kejadian terjunnya teman sekelas Aji dari rooftop gedung baru. Seperti biasa, sekolah seolah menutup mata. Tidak ada yang berani mengangkat topik itu, menyinggung sosok itu, atau sekadar membahas bunga kamboja yang tumbuh tepat di tempat kejadian. Semua yang berhubungan dengan kemarin seolah dianggap tak pernah terjadi. Mereka patuh dengan arahan kepala sekolah, semua membungkam rapat-rapat mulutnya sampai sekolah berhasil menguak kejadian ini. Berita boleh menyiarkan apa yang mereka mau, tapi jangan harap anak SMANSA akan bersedia diwawancarai pun menceritakan apa yang mereka lihat.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku pada dua orang ini. Mereka duduk di kantin paling ujung, mendiskusikan semuanya sambil sesekali menyuap nasi ke dalam mulut.
"Motifnya apa, ya?Maksud gue gini. Kata lo waktu nyelametin gue dulu, kunti itu penunggu asli yang berarti emang dari dulu ada di sini, dan nggak ada niat buat ganggu kita. Tapi kenapa sekarang ...." Aji kehilangan kata, tak tahu apa yang paling tepat untuk mendeskripsikan kekacauan ini.
"Itu yang harus kita cari tahu, Ji. Tapi sebelum itu, gimana cara biar tragedi kunang-kunang ini bisa dihentikan sementara? Mau ngalahin Miss K jelas enggak bisa karena kita tahu sendiri, dia suka main petak umpet sama kita." Abrita menopang dagu, alisnya menukik tajam dan sekarang ia terlihat amat sangat kusut. "Dan yang bikin lebih nyebelin lagi, dia sekarang punya temen baru.
Aji mencebik. "PR kita banyak. Ciri korban kunang-kunang selanjutnya juga kita belum tahu."
Abrita mengangguk setuju. Ada banyak hal yang harus dikerjakan, tapi mereka tidak tahu harus dimulai dari mana.
"Andai aja ada orang yang bisa bantuin kita ...," celetuk Aji
"Si kunti itu ngerekrut hantu baru, apa kita gitu juga ya, Ta?" Aji menjentikkan jari. Wajahnya berbinar, pasti bocah itu sedang berbangga diri dengan ide yang baru saja ia cetuskan.
Abrita tidak menjawab dengan kata, tapi matanya seolah berkata, kalo ngide yang masuk akal dikit!
"Ji." Sapa seseorang setelah menepuk pelan bahu Aji.
Aji terlonjak. Alisnya menukik tajam tanda kalau ia tidak suka dibuat terkejut. Namun, ketika mendapati Septihan yang memanggilnya, senyum cowok itu terbit. "Eh, Bang Sep. Tumben nongol di kantin."
"Baru selesai praktik kimia."Septihan mengusak rambut Aji pelan, kemudian netranya tak sengaja bersitatap dengan Abrita.
Abrita membalas dengan senyum tipis. Tidak tahu harus bereaksi apa, karena Septihan pun sepertinya tidak mau repot menyapanya dengan benar. Jadi senyum tipis—yang tidak diacuhkan—itu sudah cukup sebagai formalitas junior kepada senior. Begitu pikirnya, tapi Septihan sepertinya masih betah menatapnya atau ... cowok berlesung pipi ini sedang menilainya? Entah. Abrita tidak paham sama sekali kenapa Septihan melakukan itu dan ia juga mempertanyakan kenapa Aca bisa melabuhkan hati pada orang seperti ini.