Abidzar replied to your story. "Good play."
Sintya melirik ponselnya dan tersenyum singkat.
"Hahaha thank you, Bro." balasnya.
***
"What the.... who wants to be your bro, girl?!" ia berdesis membaca balasan Sintya.
Disaat ia membiarkan satu bola terakhir bergulir bebas hingga gadis itu bisa mencetak gol, ia tidak membayangkan kalau ia akan jadi "brother".
Pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam lalu. Melihat gadis itu berdiri diantara teman laki-lakinya, sebersit rasa penasaran muncul, apakah ia tidak canggung?
Sintya terlihat baik-baik saja dengan lingkungan super maskulin itu. Sepertinya gadis cantik itu sangat terbiasa bermain dalam lingkungan yang mayoritas laki-laki. Sebenernya Abi tidak kaget, ia sudah sering lihat ini di instagram Sintya. Tidak sekali dua kali ia tahu Sintya pergi touring dengan rombongan laki-laki. Tapi melihat melihatnya langsung membuat sebagian hatinya ingin melakukan sesuatu.
***
Tidak ada balasan.
Sintya melepas mukenanya dan beranjak naik ke kasur. Ia menarik selimut dan pergi ke alam mimpi. Satu hari kembali berlalu, setidaknya banyak hal menyenangkan hari ini.
Ia bangun ketika alarm berdering nyaring. 04:27.
Kepalanya berkutat dengan "Masih ngantuk" tapi hatinya penuh ingin bangun menunaikan kewajiban. Assalatu khairum minan-naum, ingatnya pelan dalam hati.
Konon katanya, otak manusia jauh lebih cerdas dari yang dibayangkan dan tidak pernah berhenti bekerja. Ketika dalam keadaan setengah terbangun, saraf-saraf langsung bisa menjahit memori dan bekerja memproses informasi. Tidak seperti vespa yang perlu dipanasin dulu ketika mau dipakai.
Baru sedetik ia terbangun, tapi otaknya sudah semangat bernegosiasi, antara lanjut tidur atau bergerak bangun mewujudkan resolusinya tahun ini: tidak pernah bolos subuh.
Walaupun badannya kaku dan berat sekali untuk bergerak, Ia menang kali ini. Setelah membuang selimut, ia melangkah terseok ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
***
Ia kembali bangun pukul 7:32. Matahari sudah naik tinggi dan di luar kamar terdengar perempuan kebanggannya sudah terdengar sibuk, Mamski Susi.
Pas sekali pintu dibuka, "Dinda udah nunggu di depan, tuh." Seru mamski dari pintu kamar.
Ia mengernyit, "Kok cepet banget?" Suaranya serak.
"Lah gatau, udah buru mandi."
Dinda, sahabatnya sejak sekolah itu kini merangkap jadi asistennya. Sebelumnya, hampir tiap hari ia main dengan Dinda , kini, praktis tiada hari tanpa Dinda.
Ia membuka ponselnya, mengecek jadwalnya hari ini, barangkali ia salah.
9:00 Berangkat ke Bandara.
Ia tidak salah jadwal dan makin heran Dinda datang sepagi ini. Memutuskan mencari jawaban ia keluar dari kamarnya.
"Pagi banget lo, tumben." Sapanya begitu sampai di meja makan.
"Tadi nganter nyokap dulu ke Reuni SMA di Lapangan Banteng, jadi udah mandi dari pagi banget, bingung mau ngapain yaudah kesini aja." Jawab Dinda panjang, merasa perlu memberikan alasan lengkap kenapa ia datang jauh lebih cepat.
Sintya hanya mengangguk-angguk mendengerkan, "Mandi dulu ya."
"Makan, Din. Belum sarapan kan lu pasti." Mamski bicara lantang dari ruang tamu.
"Iya gampang, Ma."
"Jadi nginep ga sih di Malang?"
"Jadi, semalem aja harusnya, baru lanjut ke Solo."
"Berangkat ke Solo naik apa jadinya?"
"Kereta langsung."
"Trus dari Solo balik Jakarta?"
"Iya, soalnya kan ada photoshoot hijab."
"Ga capek apa tuh si neng."
"Aku udah bilang, kalo Malang-nya capek, paling jadinya langsung ke Jakarta."
"Iya, langsung aja balik. Ngapain juga main di Solo kan udah pernah."
"Gatau Sintya pengen makan soto katanya."
"Yaelah soto ayam mah ada di Gang 8 ituh. Jauh amat ke Solo."
Dinda tergelak.
"Bilang ke Iya, udah langsung Jakarta ya ga usah ke Solo."
"Okeh siap 86!" Dinda mengangkat tangan hormat ke Mamski.
Sebagai sahabat dan asisten Sintya, Dinda sudah terbiasa mengatur jadwal dan rutin berkomunikasi dengan Mamski. Mamski sangat peduli dengan kesehatan Sintya. Kalau saja Mamski lebih muda, mungkin jabatan Dinda tidak seperti sekarang karena Mamski mau langsung turun tangan.
Sejak Kak Kiki menikah, Mamski mencurahkan hampir semua waktunya untuk mengurus anak bungsunya itu. Walaupun tidak hafal secara rinci, tapi Mamski ikut campur dalam berbagai kegiatan, event, atau job yang akan dilakukan Sintya. Belum lagi masalah Iya yang susah makan. Masa sehari cuma 5 sendok, protes Mamski lebay begitu Sintya menyendok nasi dari nasi dari rice cooker. Dinda seringkali pasrah kalau dapat chat dari Mamski untuk mengingatkan Sintya makan setiap mereka sedang pergi ke luar kota.
Si cantik tomboy serba bisa Sintya Marisca itu tetap saja anak bungsu kesayangan di rumahnya.
***
Pesawat baru mendarat di Bandara Abdul Rachman Saleh ketika Sintya selesai mengedit video recap sparing futsal kemarin.
Ia tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah lakunya yang ter-rekam di kamera Rama. Ia ingat ia hanya duduk di bangku saat Abi lewat didepannya. Seingatnya ia hanya berniat menyapa Abi. Tapi kemudian Abi menoleh dan refleks ia berguling-guling di lapangan.
Waktu kejadian itu, ia ingat ia hanya bercanda. Lucu-lucuan aja.
Tapi dilihat lagi seperti ini, ia jadi ragu. Inimah gue salting beneran, batinnya.
Ia memutuskan mengunggah nya di instagram dengan caption "rules: jangan tag orangnya, tq" lalu menyimpan ponselnya di saku kemeja. Ia harus bergegas menuju tempat Acara selanjutnya.
Mungkin ia tidak menyangka bahwa satu unggahan video itu bisa membuat jantung seseorang jungkir balik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlayar
FanfictionCerita fiksi dengan drama romansa dan berbagai highlight kehidupan di Kota Jakarta. Sebagian besar cerita terinspirasi dari kisah kehidupan sehari-hari yang tersedia di media sosial. Tokoh utama cerita terinspirasi dari tokoh asli, namun seluruh alu...