Dua belas: Pilihan Anaknya

1.1K 88 14
                                    


Sintya mematut dirinya di depan cermin. Abaya set abu-abu dengan dengan cadar itu terlihat cukup dan layak untuk acara hari ini. Baru kali ini ia bersyukur se-begininya menemukan barang endorse di lemari. Dari semua pakaian lengan panjang yang ia miliki, tidak ada yang sesuai dengan harapannya. Ada yang terlalu bermotif, ada yang warnanya terlalu terang, atau juga ada yang bahannya terasa gerah. Akhirnya, abaya ini jadi pilihan terbaiknya. Sederhana, nyaman dan tetap cantik.

Ia gugup luar biasa.

Bagaimanapun, ini kajian pertamanya. Ia mencoba tidak membangun ekspektasi untuk acara hari ini atau bahkan untuk dirinya sendiri. Ada kekhawatiran-kekhawatiran tak berdasar yang muncul bergantian. Tapi disisi lain, ia coba memahami bahwa apapun yang jadi kali pertama, sudah sewajarnya membuat tidak nyaman. Apalagi ini, selain masalah kajiannya, tentu saja masalah orang yang mengundangnya. Seratus persen gugup.

Adiba sudah mengiriminya pesan sejak pagi, memastikan ia bisa hadir dan mengabari kapan perempuan itu akan berangkat. Mereka praktis janjian demi memastikan Sintya tidak nyasar di gedung acara nanti. Yah, sebenarnya lebih karena Sintya takut merasa out-of-place.

Secara terknis, Sintya akan benar-benar sendirian di acara hari ini. Tole jelas tidak ikut, Dinda libur, dan Mamski menolak menemaninya. Segigih apapun Ia mencoba meyakinkan bahwa Ia boleh membawa satu orang lagi, Mamanya berkeras tidak mau ikut. Malu katanya. Akhirnya ia menyerah, pasrah datang ke acara besar--yang katanya akan banyak artis-artis itu--seorang diri.

Kemarin rasanya tidak masalah pergi sendiri, tapi ketika sudah duduk di mobil dan memegang kemudi, Sintya ragu sedikit. "Nanti disana gimana ya", batinnya sambil mulai memanuver mobil untuk keluar ke jalan raya.

Walau masih 13 kilometer dari tujuan, ia sudah bisa membayangkan ia pasti akan terlihat seperti anak hilang di acara nanti.

***

"WOW!"

Abidzar yang sedang rebahan santai menunggu Pak Min mencuci AC kamarnya tiba-tiba loncat bangun berdiri. Adiba mengirimkan foto kegiatan hari ini dan di salah satu foto terlihat Sintya berdiri tepat di sebelah Ummi!

Pak Min yang juga ikutan kaget itu melirik-lirik, memastikan bosnya baik-baik saja. Wong dari tiduran langsung bangun dan loncat, yakin otot kaki Abi juga akan protes kalo bisa teriak.

Tapi yaa, mau gimana lagi. Sudah tiga jam ia menunggu dengan sabar sambil memikirkan bagaimana pertemuan Sintya dan Ummi hari ini.

Ia sangat menyesal sebenarnya.

"KENAPA GUE GA KEPIKIRAN KALO INI BAKAL JADI PERTEMUAN PERTAMA?!!!!!!!! Harusnya gue ngenalin langsung ga si?!"

Ditambah fakta acara hari ini kajian muslimah, jelas-jelas ia tidak bisa hadir untuk alasan apapun. Mau alasan menemani Ummi juga tidak mungkin dan Ummi sudah pergi dari pagi buta. Sebagai penyelenggara acara, jelas banyak yang harus ummi lakukan. Adiba pun berangkat dari rumahnya sendiri.

Sebenarnya Ia bisa saja menggeret Ayla untuk datang kesana dan ia jadikan alasan. Tapi untuk apa? Paling ia hanya bisa sampai lobi atau parkiran. Tidak mungkin masuk ke dalam ruangan.

Akhirnya, ia pasrah.

Tapi, sebenarnya, apa sih hal buruk yang bisa terjadi ketika Ummi bertemu Sintya? Tidak ada kan? Lalu mengapa harus khawatir?

Ya, tidak tahu juga. Masalahnya Abi sendiri tidak paham isi kepalanya.

Ia lanjut meneliti foto-foto yang dikirim Adiba, beberapa diantaranya blurred, sebagian lagi jelas, namun terlihat... berbeda.

Gadis itu terlihat tersenyum tipis, tidak lepas seperti biasanya. Walaupun ada foto dimana gadis itu tertawa, matanya terlihat sedikit datar. Membuat ia penasaran, apa yang terjadi?

***

Adiba mengulurkan tisu lagi ke Sintya. Gadis itu butuh lebih banyak dari yang ia kira.

Ia terharu melihat Sintya yang menangis sesenggukan seperti ini. Walau Ia sendiri menangis karena sangat tersentuh, sebersit Ia tidak menyangka ada sisi ini dalam diri Sintya. Sepertinya ia mengenali sesuatu yang baru dari gadis yang spesial untuk adiknya itu.

Sebenarnya, tanpa diminta Abi pun, ia akan dengan senang hati duduk di sebelah Sintya. Rasanya Ia jadi seperti punya teman sebaya di acara yang hampir seluruh pesertanya jauh lebih senior dari mereka berdua.

Selama kajian berlangsung, mereka fokus mendengarkan dan sibuk saling mencatat. Bahkan, Sintya mengajukan diri untuk bertanya. Adiba pun menyukai pertanyaan Sintya. Ia mencatat jawaban Hubabah karena Sintya terlihat masih gemetar setelah berdiri mengajukan pertanyaan.

Adiba melihat dengan jelas kalau Sintya gugup sejak awal masuk ke ruangan ini.

Kajian hari ini memang bukan acara biasa. Sungguh jadi rezeki yang luar biasa bisa bertemu dengan Hubabah. Dan karena ini pertama kali bagi gadis itu, sudah sewajarnya ia gugup.

Tapi selain itu, Sintya punya alasan lain untuk merasa se-gugup ini. Karena sejak awal, semua orang ekstra perhatian kepadanya.

"Tamu Abidzar", begitu yang ia dengar ketika seseorang melirik ke arah Sintya. Adiba yakin Sintya pun mendengarnya. Ia yakin Sintya kaget dan mungkin tidak nyaman, tapi mereka berdua tidak ada yang membahasnya.

Adiba heran, entah dari mana orang-orang tahu kalau Abidzar yang mengundang Sintya. Atau sebenarnya orang-orang tidak tahu? tapi karena berita Abi-Sintya yang belakangan ramai, mereka semua langsung menyimpulkan bahwa Sintya adalah tamu adiknya?

Entahlah. Adiba sendiri tidak keberatan dengan label yang diberikan, toh memang benar, pikirnya.

Ditambah, kalau ia tidak salah lihat, Umminya terlihat berbinar saat tadi ia memperkenalkan Sintya kepadanya. Sintya aman, Ummi juga aman. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

***

Ummi Pipik menoleh ketika Intan memanggilnya,

"Um,"

"Ya?"

"Itu yang disebelah Adiba siapa? Kayak belum pernah liat."

"Oh itu Sintya, Tamunya Abidzar." Ummi Pipik menjawabnya sambil tersenyum, yang disambut anggukan paham Sarah dan beberapa peserta kajian lain di sekitar mereka.

Ummi Pipik lalu memperhatikan Adiba dan Sintya yang terlihat asik membahas sesuatu dari kejauhan, namun tidak terdengar apa yang mereka bicarakan.

Melihat Sintya, Ia merasa bersyukur atas apa yang terjadi hari ini.

Bukan karena ini pertama kali gadis itu mencoba ikut kajian. Juga bukan karena ini pertama kali ia melihat Sintya dengan hijab.

Tapi,

karena ini pertama kali Ia bisa mengenal langsung perempuan pilihan anak laki-lakinya itu.

***

Notes:

Jujur aku writer's block dikit, bingung mau nulis apa :"

Ini sedikit yang berhasil ditulis, selamat berlayar!

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang