Tiga Puluh Dua: Tanggal-nya

1.4K 103 79
                                    


"Aku nggak sedih kayanya, capek aja." Jawab Sintya. "Kamu nih nanya karena comment-comment di ig ya?

Abi mengangguk. Sadar Sintya tidak bisa melihatnya, Ia menggumam. "Iya."

"Rame ya?"

"Banget."

"Aman gak?"

"Hmm, i dont know. Kayanya nggak."

"Sorry ya.." Sintya melirih pelan.

Gusar mendengarnya, Abi mengoreksi,

"Hey!" Ia memanggil pelan. "Bukan salah kamu. Merekanya aja yang nggak jelas."

"Tetep aja aku ngerasa... ada karena aku. Dan sekarang makin rame, semua orang nyalahin kamu."

"Kenapa gitu, sih? Kenapa karena kamu?"

"Yaaa, dari awal kan semua aku yang bikin rame."

Ia benar-benar merasa perlu meluruskan.

"Sin, ini bukan pertama kalinya kita bahas ini, dan aku rasa kita perlu deal soal ini." Suara Abi berubah lebih berat. "Aku nggak setuju kalau kamu selalu merasa bersalah atau jadi penyebab kalo ada apa-apa yang kayak gini. Yang kamu lakuin nggak ada yang salah, respon orang-orang aja yang lebay."

Sintya diam.

"Kamu selalu bilang di depan mereka, 'aku nggak mau Abi risih', buat aku, aku berterima kasih dan bersyukur banget kamu mikirin aku. Atau ya karena kamu emang selalu mikirin orang lain duluan. Tapi, please, jangan apa-apa buat aku. I thank you for that, but I don't want you to be responsible for me."

Abi keberatan dengan ide bahwa Sintya yang menyebabkan semua ini. Awalnya, ketika melihat video-video wawancara Sintya yang beredar, Abi terusik, tapi masih diam saja. Mendengar 'Aku risih kalo Abi risih', itu membuat perasaannya bercampur. Sebagian merasa tersentuh bagaimana gadis itu sangat memikirkannya, tapi sebagian juga tidak terima kalau seolah-olah gadis itu hanya mementingkannya.

"Aku mau kita sama-sama, Sin, bareng-bareng. Kalo kamu risih, aku juga pasti risih. Bukan cuma kalo aku risih, baru kamu risih. Aku mungkin nggak bilang ini di depan kamera, but i need you to know that."

Seolah sama saja, tapi Abi ingin gadis itu memahaminya.

"Dan kalo mereka ngomong macem-macem tentang aku, aku akan diem aja. Kalo kelewatan, aku akan jawab ke mereka langsung. Dan semua itu nggak ada hubungannya sama kamu. Itu antara aku dan mereka."

"Jangan bilang maaf lagi, ya." ucapnya pelan diakhir.

Sintya merasa kepalanya penuh sekali mendengarkan itu. Matanya terasa basah. Ia tidak sedih. Ia tidak marah. Hanya saja Ia ingin menangis.

Dan belum selesai, Abi melanjutkan,

"Kemaren, hari ini, atau besok, mungkin aku gabisa selalu nunjukkin perasaan aku di media. Tapi, semoga ini nggak bikin jarak di kita ya, kamu tau semua ini cuma karena kerjaan."

Abi mulai frustasi menjelaskan semua ini. Ia sendiri merasa ini berat. Tapi harus dilakukan, jadi Ia melanjutkan, 

"Kalau nyanyi aja sebesar ini dampaknya, aku rasa lebih baik kita jaga sampai tanggal-nya nanti, ya?"

Sintya mendengar kalimat Abi sebagai pertanyaan. Ia tahu ia perlu menjawabnya. Tapi, ia belum terbiasa dengan istilah itu. Sejak bertemu Ummi terakhir, sensitif sekali rasanya mendengar kata tanggal-nya.

"Nggak apa-apa, ya?" suara Abi semakin pelan.

Air mata Sintya jatuh satu.

Ia tidak sedih, ia tidak marah, ia hanya ingin menangis.

"Sin?"

"Iya Bi, nggak apa-apa." Jawab Sintya.

"Makasih ya." Balas Abi. "Kamu jangan nangis."

Abi ingin rasanya terbang sekarang juga ke Priuk. Ia tahu pasti diujung sana Sintya menangis.

"Kok kamu tahu aku nangis? Kan nggak ada suaranya."

"Gak tau. Tau aja, kan udah makin kenal." Abi tersenyum.

Sintya berdecak. "Ngeledek terusss."

Abi jadi tertawa, memang sengaja mengulang kalimat itu untuk membuat gadis itu sebal.

***


BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang