Dua Puluh Lima: Kontemplasi

932 79 21
                                    


Sintya menekan icon tanda hati pada post Instagram itu:

I dont know if i like you, or love you.

I adore you since day one,

but I don't know, if you are the one.


Lalu Ia kembali menggulir layar, menemukan post lainnya.

Just because you fail once,

doesn't mean you'll fail twice.

Let yourself be in love again.


Ia mengetuk layar dua kali.

Post selanjutnya bukan lagi prosa, tapi sebuah video sepasang laki-laki dan perempuan. Keduanya tengah duduk di atas kap mobil dan melihat langit. Video itu disorot dari belakang sehingga bintang-bintang tampak jelas. Memperlihatkan cantiknya langit malam dan diiringi background song Taylor Swift, Everything Has Changed.


All I knew
This morning when I woke
Is I know something now
Know something now I didn't before
And all I've seen
Since eighteen hours ago
Is green eyes and freckles and your smile
In the back of my mind making me feel like
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you, know you, know you


Lagi. Ia mengetuk layar dua kali.

Sintya melamun. Memikirkan perasaannya yang terasa serius.

Ia mulai menerka-nerka apakah Ia jatuh hati? Atau ini hanya episode baru dari jenis kagum yang sebelumnya?

Rasanya, jauh sekali menamai perasaannya 'Jatuh Hati', karena Ia sebenarnya tidak tahu apapun tentang laki-laki itu. Mau jatuh hati karena apa? Ia tidak punya alasan untuk jatuh sejauh itu. Ia tidak tahu kebiasaannya, kesukaannya, ketidaksukaannya, mimpinya, cita-citanya. Ia bahkan tidak bisa tahu apakah laki-laki itu bicara sungguh-sungguh semalam?

Teringat lagi,

"...aku tertarik sama kamu dan aku ngedeketin kamu..."

Sintya mengusap-usap wajahanya, frustasi karena benar-benar merasa tidak mengenal Abi. Apakah Abi serius atau bercanda? Apakah Abi bermain... atau tidak?

Entah untuk ke-berapakali-nya, Ia menghela napas panjang,

Aroma kopi panas yang ada didepannya memenuhi indra penciumannya. Roetara ramai sekali malam ini. Ia duduk di mezanine tersembunyi di dekat dapur, sengaja mengasingkan diri. Ia butuh ketenangan karena percakapan semalam masih terus berputar-putar di kepalanya.

Apalagi, bagian ketika Abi mengantarnya kembali ke Roetara.

"Kapan-kapan aku boleh turun, ya."

Ia tahu itu permintaan sederhana. Semua orang jelas boleh datang, toh Roetara hanya cafe. Bukan rumahnya. Abi tidak perlu minta izin.

Tapi, kemarin jawabannya tidak begitu.

"Liat nanti ya, Bi. Masih belum kondusif." 

Abi terlihat menerima karena sudut bibirnya terangkat sedikit, tapi udara di sekitar mereka terasa pengap tiba-tiba.

Laki-laki itu mengangkat tangan kanan, mengajak tos. Sintya balas tersenyum dan juga membalas tos itu, kemudian segera turun dari mobil. Ia tidak menengok lagi dan bergegas masuk ke Roetara sambil berusaha bersikap biasa saja didepan orang-orang.

Semalam berakhir dengan sangat canggung. Pertanyaan se-sederhana itu saja terasa tidak biasa, apalagi kalimat-kalimat lainnya.

Ia tahu Ia terkesan menolak Abi, tapi, Ia tidak merasa bersalah melakukannya. Bahkan sampai saat ini, Ia merasa itu jawaban yang tepat. Rasanya masih banyak sekali yang perlu dipikirkan sebelum boleh melakukan hal-hal yang berkaitan dengan Abi.

Mengingat semua yang Abi utarakan semalam membuat Sintya merasa badannya tidak enak. Seperti tidak ada yang benar. Atau lebih tepatnya, ia resah. Ke-tidak-yakin-an ini membuat Ia gelisah.

Apakah ini jalan yang benar? Haruskah Ia melangkah? 

Ragu, resah, dan gelisah tergulung jadi satu. Belum lagi kalimat Abi, 

"...Lain kali aku yang pilih tempat, ya. Sekalian bareng sama Ummi.".

Bukan salah tingkah, bukan malu, bukan bahagia. Ia takut. Abi terdengar serius, dan Sintya tahu arti keseriusan itu mengarah ke arah mana. Dan itu semakin membuatnya bertanya-tanya,

"Apakah Abi orangnya?"

***

Sintya melirik Mamanya yang sudah tertidur pulas. Saat pulang dari Roetara tadi, ingin rasanya Ia bicara langsung dengan Mamski. Tapi, Ia ragu. Ia takut Mamanya akan bertanya bagaimana perasaannya atau apa yang Ia inginkan.

Seperti diskusi mereka soal semua masalah yang dia hadapi selama ini, Ia yakin dua hal itu akan ditanyakan kepadanya. Sedangkan, Ia tahu bahwa Ia tidak tahu jawabannya. Makanya ia mengurungkan niatnya, mungkin nanti dulu.

Ia bangkit dan memutuskan ingin mengambil wudhu. Dengan semua keresahan ini, Ia tahu ia perlu menemui Sang Pemilik Malam. Walaupun tidak sedih, rasanya Ia ingin menangis dan mengadukan semuanya; semua yang membuat hatinya resah dan berat.

***

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang