Dua Puluh Tujuh: Anak Perempuan Kesayangan

1.4K 101 54
                                    

Ummi menggenggam tangannya dengan erat ketika berjalan ke parkiran mobil. Abi tidak pulang bersama mereka, Ia akan pulang bersama Kak Fitri. Jadilah Sintya hanya berdua dengan Ummi.

Setelah berdebat siapa yang akan menyetir, Sintya menang dan menenteng kunci mobil dengan cengiran lebar di wajahnya. Ummi berkeras bahwa Ia sudah merepotkan Sintya jauh-jauh ke Cibubur, Sintya berkeras sudah selayaknya Ia yang menyetir. Lima menit lalu, keduanya sudah seperti teman sebaya berebut kunci. Dan keduanya lama tidak ada yang mau mengalah.

Sejak beberapa jam terakhir bersama, Sintya menyimpulkan bahwa mudah sekali menyukai Ummi Pipik. Dengan segala impresi yang Ia pikirkan sebelumnya, dengan fakta bahwa Ummi adalah seorang pendakwah, Sintya harus mengoreksi pandangannya. Tidak ada sekalipun Sintya merasa dinilai, dididik, atau dibenahi. Ia merasa sangat aman dan nyaman bercerita apapun. Justru, berbeda dengan saat berangkat tadi, keberadaan Abi malah membuatnya lebih tidak nyaman. Sekarang, Ia bisa dengan bebas bercengkrama dengan Ummi tanpa merasa canggung.

Baginya, ini adalah perkenalan episode pertama. Walaupun ini bukan pertama kalinya bertemu, tapi baru kali ini Ia dengan bebas bertanya tentang apapun. Bahkan seringnya, tanpa ditanya pun Ummi sudah dengan senang hati menceritakan banyak hal, terutama soal Abi.

Mulai dari masa kecil Abi, kebiasaan bangun Abi, suhu kamar, hubungannya dengan Bilal dan Ayla -- semuanya terbahas tanpa rencana, mengalir begitu saja.

Misalnya, ketika Ummi bertanya kegiatan Sintya tadi pagi, pembahasannya dengan cepat bergerak menjadi cerita tentang Abi yang sehabis subuh seringnya tidur lagi. "Trus pas bangun lagi udah tuh pasti kelaperan." Cerita Ummi sambil tertawa.

Atau saat bioskop tiba-tiba terasa sangat dingin, Ummi berkomentar, "Dingin banget ya. Kamu tahan dingin gak, Sin?"

Sintya mengangguk, "Lumayan, Um, kalo segini masih aman."

Lalu, Ummi malah lanjut bercerita, "Abi tuh kamarnya dingin banget. Ummi kalo pagi-pagi mau masuk kamarnya itu udah kayak masuk kulkas. Hihh." Ummi bergidik.

Informasi-informasi kecil yang ternyata menarik, yang tanpa Ia sadari, Ia mulai ketagihan mendengarkan semuanya.

Walaupun kadang, atau bahkan seringnya, Ummi meledek atau memberengut sendiri saat membahas keburukan anaknya. Yah, sebenarnya bukan hal yang buruk-buruk amat, tapi ada saja yang membuat Ummi jengkel.

Seperti, "Suka banget dia tuh ngagetin Ummi, ngisengin Ummi. Gak inget Umminya udah tua." protes Ummi.

Tapi dengan santai direspon Sintya, "Ummi kan belum tua, masih cantik gini." Ia tersenyum iseng dan menaik-naikkan alis, menggoda Ummi. Yang membuat Ummi Pipik jadi tersipu tapi tetap mengelak pujian itu.

Mobil mereka sudah masuk ke jalan raya, siap membelah kemacetan Kuningan.

Karena Sintya lebih banyak fokus menyetir, gantian Ummi yang banyak bertanya, "Jadi almarhum Papa orang Gorontalo ya, Sin?"

"Loh kok Ummi tau?"

"Ummi kan sering liat Tiktok tentang kamu." Walaupun tidak terlihat, dari suaranya Sintya tahu Ummi nyengir. "Kamu tuh lewat terus di FYP Ummi."

"Wah emang bener-bener nih Tiktok. Yang lewat konten-konten apa aja itu, Um?" Lampu merah, Sintya menggeser persneling ke N.

"Yaa banyak. Yang kamu nonton konser, kamu di podcast, kamu joget ambyar, kamu motoran, banyak lah." Jawab Ummi, "tapi masih paling sering ya video 'Cantik' sama 'Inikah Cinta' itu." Ummi tertawa.

Sedangkan Sintya sudah tersapu habis. Malu.

"Kalian tuh gemes banget berdua."

"Um udah Ummm." potong Sintya cepat. Ia manyun tapi wajahnya merah, menolak dibahas lebih lanjut.

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang