Tiga Puluh Lima: Tantrum

323 64 18
                                    

Pillion malam itu ramai sekali, teman-temannya juga sudah datang sejak jam tujuh. Semuanya ingin memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Yang meskipun semakin berkurang seiring bertambahnya usia -- karena seringnya sudah lelah dengan pekerjaan masing-masing, tapi tetap perlu disempatkan sesekali.

Berkumpul malam-malam begini rasanya jadi kebiasaan yang entah sudah ada dari kapan. Ragam lingkaran pertemanan, berbeda-beda di setiap malam membuat Abi semangat. Ia senang bisa bertukar pikiran dengan banyak orang.

Hanya dengan pesan singkat "Bro malem kosong?", bisa membuat Abi, Ilzam, Bale dan Emil bergegas. Meskipun seharian ini malas mandi, keempatnya kompak bangun dari kasur, langsung siap-siap ketika membacanya.

Apa yang bisa mengalahkan laki-laki dan tongkrongannya?

***

Abi menghidupkan korek, memantik rokok yang sudah diselipkan di bibir. Ia butuh nikotin setelah mematikan live yang menguras emosi itu. Menghisap rokok selalu jadi pilihan terbaik di saat-saat seperti ini.

Ia masih merasakan dadanya tegang, perasaan intens itu menekan detak jantungnya. Bahkan butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa ia benar-benar marah. Perasaan yang tidak ia sangka bisa ia rasakan hanya karena sebuah komentar di live Tiktok. Aneh sekali.

Tidak sekali dua kali ia terusik ketika membaca semua pendapat netizen di media sosial, tapi ia tidak marah. Apalagi se-marah ini.

Dibilang tantrum itu tidak menyenangkan, bahkan lebih terasa seperti dihina. Dan mungkin itu menyentuh ego-nya? Membuat ia merasa sebegitu marah dianggap tidak layak.

***

"Tadi aku marah"

Tiga kata yang muncul di notifikasi pesan dan praktis membuat Sintya mengernyit. Kenapa?

"Kenapa marah?"

"Tadi kepancing aja sih pas live."

"Gara-gara?"

"Ada yang bilang aku tantrum, trus aku ajak live tapi dia nggak mau join."

Gambar tangkapan layar masuk. Sintya melihat komentar yang di-pin Abi, ia mengerutkan dahi, tidak nyaman membacanya. Tapi sebersit ia mengulas senyum.

Beda senyuman beda ketikan, "Parah banget sih ini." balas Sintya. Ia yakin komentar-komentar tidak berguna itu membuat Abi tidak nyaman. Meskipun belum tahu bagaimana reaksi Abi di live tadi, Sintya yakin Abi mungkin saja marah betul. Dan benar saja, lima menit kemudian Sintya masih setia mendengarkan cerita Abi tentang arti kata tantrum yang kini banyak salah penggunaannya.

Tolong ingatkan Sintya, memang boleh ya senyum-senyum saat mendengarkan gerutuan seperti ini? Ia jelas tidak setuju dan tidak suka dengan kata tantrum yang digunakan orang itu untuk mendeskripsikan Abi. Memang sejak kapan Abi tantrum? Dan apa arti kata tantrum yang dimaksud orang itu? Tidak sepantasnya orang asing yang baru bertemu, atau hanya lewat sekenanya, atau bahkan belum bertemu secara fisik, tiba-tiba memberikan label tantrum pada seseorang. Tidak perlu tanya guru budi pekerti pun seharusnya ini jadi common sense. Beberapa netizen memang perlu ambil kelas belajar akhlak untuk paham sopan santun.

Tapi, lepas dari masalah hinaan itu, dari voice note panjang lebar Abi, kenapa Ia merasa yakin ini bukan cuma masalah dibilang tantrum. Ia yakin Abi marah karena hal lain.

"...Seenaknya aja orang bilang tantrum. Kayak ngerti aja tantrum artinya apa. Emang dia pernah liat aku tantrum?! Dia diajak live juga nggak mau, malah bilang nggak usah di pin komennya. Orang-orang kayak gini tuh ngomongnya asal banget. Dia bilang aku tantrum dan aku gak cocok sama Sintya. Ini tuh mungkin bukan cuma dia ya, aku juga baca komen lain yang sebelum dia komen tuh sibuk mention gosip ramasintya ramasintya. Alay banget....."

Sampai disini, Sintya tidak bisa menahan diri. Mungkin sejak tadi ia hanya tersenyum-senyum. Sederhana karena seolah Abi marah ketika orang bilang ia lebih cocok dengan yang lain. Tapi kini, cerita itu jadi lebih jelas.

Sintya menghentikan rekaman sejenak lalu menjerit dan tertawa lepas. Rasa marahnya karena komentar itu sirna sebentar, ia mendadak menemukan hatinya berdesir melihat Abi seperti ini.

Abi yang beberapa hari ini krisis dan rentan sekali kalau dibahas tentang pilihan lain jelas pasti keberatan mendengar kabar Sintya dijodohkan dengan laki-laki selain dirinya. Mungkin kalau Abi sedang baik-baik saja, hal ini tidak akan sampai begini.

Yaaa, walaupun ini memang sangat tidak sopan. Tapi, Abi tidak akan buang-buang waktu untuk marah se-begitunya, kalau saja komentar itu tidak diikuti dengan hal paling sensitif untuk laki-laki itu saat ini.

Ini bukan salah paham, sejak pertama, teman laki-laki Sintya memang banyak, 'kan? Tidak karena Sintya digosipkan dekat dengan Abi maka semua pertemanan itu akan terhapus begitu saja. Abi pun bilang Ia tidak keberatan, selama tidak ada urusan lebih dari teman.

Tapi netizen memang selalu semaunya sendiri dan berisik. Kalau memang mau-nya Sintya dengan Rama, harusnya ya sudah, simpan saja sendiri. Tidak perlu mengomentari itu di media sosial Abi, 'kan?

Lain cerita kalau netizen itu memang mau-nya cari perhatian, yang lalu diberikan Abi, perhatian penuh sampai diajak live bersama.

Sintya berusaha mengenyahkan pikiran gede rasa-nya itu. Mencoba fokus pada masalah utama. Ini masalah Abi dihina netizen, bukan masalah Abi tidak suka ada laki-laki lain.

Kemudian, Ia lanjut mendengarkan rekaman voice note dari Abi sampai selesai. Baru mengetik balasan,

"Sabar yaa, emang netizen aja aja ada. Bikes kalo kata umsus wkwkwk"

Yang dibalas Abi, "Iya hhh netizen nggak jelasss. Kamu lagi dimana?"

Abi sepertinya sudah lebih lega karena tiba-tiba sudah mengalihkan pembicaraan. Akhirnya mereka jadi kegiatan masing-masing sampai rencana kerja Sintya ke lampung beberapa hari lagi.

Sintya tidak mau repot-repot mengkonfirmasi pendapatan dan dugaannya, apalagi meledek masalah pantas-tidak-pantas atau gosip laki-laki-lain. Memperpanjang bahasan 'rama-sintya' hanya akan membuat Abi semakin tidak nyaman. Mereka sebenarnya masih belum selesai dengan keyakinan terhadap satu-sama-lain, repot urusannya kalau masalah terakhir ter-ungkit lagi. Yang kemarin saja syukur bisa berlalu dengan baik.

Sintya hanya kembali tersenyum, merasa... bahagia... sedikit?

Netizen yang mulia itu mungkin tidak bisa tahu banyak tentang mereka. Gosip-gosip yang menganggap Abi tidak layak untuknya memang ramai sekali berseliweran, tidak kalah ramai dengan yang masih mendukung mereka berdua bersama. Dianggap tidak berbalas, dianggap lebih baik bersama yang lain, atau komentar senada tidak menjadi masalah bagi Sintya, tapi ternyata, melihat Abi bersikap begini di depan publik, sedikit mengekspresikan perasaan laki-laki itu membuat Sintya merasa... senang.

Ia senang karena itu menegaskan sesuatu. Dan Ia senang karena ia tidak ingin ada lagi yang meragukan Abi.

Mungkin Abi sendiri lelah dipertanyakan, tapi juga sadar masih belum waktunya. Dan mengingat pembicaraan mereka terakhir, sepertinya Abi jelas sulit terima kalau ia diragukan sebegitunya, apalagi dianggap tidak layak. Abi sebenarnya tidak peduli jika diragukan netizen, tapi momennya memang kebetulan pas saja. Obrolan kemarin, komentar netizen, dianggap tantrum, dianggap tidak layak, semuanya jadi satu malam itu, seolah-olah malah jadi mengonfirmasi ketakutannya soal Sintya yang masih ragu dengannya.

Sintya tahu Abi tidak merasa kalah dengan laki-laki lain yang ada disekitarnya. Hanya saja, laki-laki itu iri dengan apa yang tidak bisa ia miliki saat ini. Sintya ingat, Laki-laki itu merengut lama ketika mereka membahas Rama yang mengantar Sintya pulang malam-malam naik vespa. Tidak cemburu, tidak marah pada Rama, hanya saja Abi berharap ia yang bisa melakukan itu untuk Sintya.

Laki-laki dan keposesifan-nya ini memang kadang-kadang bahaya ya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 9 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang