Empat Belas: Masih Calon

856 72 15
                                    

Sintya memutuskan ikut main futsal malam itu.

Setelah beberapa jam terakhir memikirkan satu nama paling dramatis di dunia, Ia yakin sesuatu mungkin sudah terjadi. Aries emang bener-bener, deh, rusuh bangettttt, batinnya sambil memasukkan handuk dan botol minum ke dalam tas.

Ia yakin ia tidak gila. Abi yang gila.

Manusia mana yang mau ninggalin mobil dia buat nganter pulang trus dia balik lagi?

Kayanya Abi perlu medical check-up.

Sintya mencoba memikirkan "Kenapa Abi kayak gitu?" di kepalanya.

Ia membatin pelan, "Atau di lingkungan pertemanan dia itu biasa ya? Sebaik-baiknya Tole atau Rama, gua ga yakin mereka mau tuh nganter gua ke Priuk trus balik lagi kemanaa gitu. Rama nganter balik kan yaa karena dia tinggal di Priuk juga."

"Fix sih, rada-rada geser keknya ini si."

"But, it shows how caring he is, isnt he?"

Entahlah, Sintya masih menolak ide bahwa ada sesuatu sedang terjadi. Tapi, jelas Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan fokus dan energinya. 

"Yok, yok, futsal yok." Ia menyemangati dirinya sendiri lalu berjalan ke luar kamar, berpamitan dengan Mamanya. "Futsal dulu ya, Ma."

Mamanya yang sedang main candy crush itu menggumam sekilas, "Ati-ati ya, Neng. Balik jan malem-malem."

***

Irwan menyambutnya dari tengah lapangan dengan seruan keras, "Mantu Ummi Pipik dateng juga akhirnyaaaaa."

Seisi lapangan tertawa mendengarnya. Sedangkan yang disambut itu masih berjalan menuju bench sambil merengut dan menatap tajam. Tapi sedetik kemudian ikut tersenyum juga. "Apaan si lu"

"Ihh Mantu Ummi Pipik cantik banget ini masyaAllah." Maul ikut-ikutan. "Ayang Abi mana Ayang Abi?" Ditambah kedipan mata genit yang membuat Sintya bergidik.

Ia menghardik pelan, "Maul ih!"

"MasyaAllah ukhti kita udah artis makin artis ini. Rame bet lu di Tiktok." Rama ikut nimbrung juga.

Semua orang sepertinya sudah tahu kalau Sintya baru pulang kajian. Dan tidak ada yang mau melewatkan kesempatan untuk membuatnya mati gaya. Selama lebih dari dua tahun men-jomblo ini sebenarnya ia sudah terbiasa dengan gosip atau ceng-ceng-an norak macem ini. Ia tahu pekerjaan dan lingkungan kerjanya rawan sekali, terlalu banyak laki-laki yang bisa di-jodoh-jodohkan dengannya. Jadi ia tidak terlalu terganggu.

Tapi, kali ini, masalahnya menyangkut Abidzar.

Kadang ia mau menyesali keterbukaannya dengan wartawan selama ini. Hanya saja, semua yang ia katakan memang benar, Abidzar memang tipe-nya secara fisik. Tidak tahu bagaimana kalau secara sifat dan sikap, kan?

Cuma siapa yang biasa mencegah ketikkan orang lain. Sepertinya orang-orang begitu menikmati membahas kisah cintanya di media sosial.

Sintya mengabaikan anak-anak berisik itu sambil mulai fokus dan mengganti sendalnya dengan sepatu. "Daripada bacot, mending pemanasan kata gua mah."

"Lah kita mah udah panas, Nta. Luu yang telat." Sahut Maul.

"Eh gua ga telat ya."

Maul tidak mau kalah, "Ya tapi gara-gara lu ini kita mundur se-jem."

"Ya tapi kan kalo gua ga main juga lu kurang orang, Cuk."

"Ya iya si. Yaudah buru dah."

Keduanya sadar tidak ada yang bisa disalahkan. Akhirnya mereka berhenti berdebat mulai bermain.

Lapangan malam itu riuh sekali. Entah perasaannya saja atau semua orang dua kali lebih bersemangat dari biasanya.

***

Pertandingan berakhir dengan skor 5-3 untuk timnya. Sintya berhasil menyumbang satu gol di awal permainan, tapi tidak berhasil menambah poin setelah itu.

Ia terengah-engah di pinggir lapangan, sama seperti yang lain. Meskipun lelah, tapi ia merasa lebih lega. Dia butuh sekali futsal malam ini dan terbukti beberapa waktu terakhir kepalanya lebih jernih. Pikiran-pikiran anehnya mulai lepas satu-per-satu.

"Roetara, yok." Rama berseru dari seberang lapangan dan yang lain menyetujui.

"Mantu Ummi Pipik, apakah engkau akan ke Roetara malam ini? Atau engkau akan kembali ke rumah mertua?" Irwan yang kali ini bertanya sambil berlutut satu kaki.

Sintya tertawa melihat aksi dramatis itu. "Lu jijik banget woy." 

"Gak boleh gitu, Mantu Ummi Pipik." Masih konsisten dengan gaya khas pengawal kerajaannya, Irwan melanjutkan dramanya.

"Diem ah, gue bukan mantu ummi pipik." Sintya geregetan. "Masih calon."

"Jiahhhhh."

Semuanya berseru ramai. Terlihat senang berhasil memancing Sintya untuk ikut bercanda.

Sintya tahu bahwa banyak orang bersenang-senang dengan gosip beredar ini. Ia sendiri pun sebenarnya senang. Menjalani kehidupan yang semakin dekat dengan Abi ini menyenangkan. Tapi, tidak bisa dipungkiri, ia merasa sedikit resah. Layaknya manusia lain dalam kondisi yang sama, ia sedikit mulai mempertanyakan arah semua ini.

Ia masih mengkonklusikan kedekatan mereka ini sebagai bentuk pertemanan. Tapi, kenapa rasanya ia ingin sesuatu yang... lebih?

Perasaan itulah yang menganggunya sejak terakhir bertemu Abi tadi. Juga sejak Abi mengundangnya ikut kajian. Atau respon Abi di semua post atau story-nya di Instagram.

Ia tahu Abi terlihat sangat menyayangi Ibu dan juga keluarganya. Sintya tahu Abi sejak lama. Tapi sejak beberapa waktu terakhir, Sintya ingin tahu lebih dari itu. Ia ingin tahu Abi yang sebenarnya. Bukan hanya tahu wajah, nama motor kesayangan, tinggi badan, atau selera berpakaian.

Ia ingin tahu cara pikir laki-laki itu, apa mimpinya, apa tujuan hidupnya. Ia ingin tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain, yang tidak dikatakan Abi kepada wartawan, yang tidak Abi unggah di media sosial.

Rasa ingin tahunya ini yang membuat Sintya bingung.

Sepertinya rasa kagumnya perlahan berubah menjadi rasa yang lain.

***

BerlayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang